O4 - Perintah

57 14 7
                                    

Erika menghisap rokoknya dengan khidmat di area balkon apartemen Rafael menghadap ke pemandangan jalanan yang sudah padat meskipun masih masuk kategori pagi, dan gedung-gedung mewah yang menjulang di hadapannya. Yah,  dibandingkan dia meratapi nasibnya yang tidak bisa memasak atau mengisi perutnya yang keroncongan, memang lebih baik dia merokok. Siapa tahu asap yang dia hirup akan secara tiba-tiba membuatnya merasa kenyang. Meskipun mustahil, tapi mau bagaimana lagi, hanya itu yang Erika miliki sekarang.

Ngomong-ngomong Erika mendapatkan rokok ini dari salah satu laci meja di area ruang utama di apartemen Rafael. Entah ini rokok milik dari Rafael atau siapapun itu, yang jelas Erika rasa dia berhak-berhak saja untuk mengambilnya. Salahkan saja Rafael yang terlalu pelit untuk seukuran atasan yang memperkerjakan Erika dengan jam kerja tidak normal.

Sret!

Erika membulatkan matanya terkejut bukan main saat tiba-tiba rokok dalam genggamannya direbut oleh seseorang kemudian diinjak dengan seenak jidat di depan matanya. Padahal puntung rokok itu masih tersisa setengahnya. Erika pun mendongakkan kepalanya dalam tempo cepat lantas menemukan Rafael yang tiba-tiba sudah berdiri di sana dengan tatapan datarnya.

Baiklah, sepertinya Erika akan diamuk oleh pria menyebalkan itu.

"Sejak kapan?"

Erika mengerutkan keningnya dalam-dalam saat mendengar pertanyaan singkat dari Rafael yang menurutnya sangat tidak penting sekali. Ayolah, alih-alih memarahinya karena merokok di area balkon apartemennya atau lantaran telah mencuri rokoknya, dia malah mengajukan pertanyaan seperti itu. Erika pun memilih untuk mengendikan bahunya dengan acuh tidak berminat menjawab pertanyaan Rafael. Lalu Erika melangkahkan kakinya masuk ke dalam berniat mengambil batang rokok baru yang seingatnya dia letakkan di atas meja makan.

Sret!

Sialnya sebelum itu terjadi Rafael sudah lebih dulu menarik tangannya kuat-kuat kemudian menghempaskan tubuh Erika ke depan sampai punggung Erika menubruk teralis pembatas balkon.

"Akh" rintih Erika.

Sialan! Setelah Rafael membuat perutnya sakit karena tidak diberi jatah makan dengan baik, sekarang Rafael ingin punggungnya memar atau bagaimana?

Erika pun menolehkan kepalanya ke depan berniat melontarkan ribuan umpatan dan protesannya pada Rafael. Persetan sekalipun dia atasannya, karyawan juga butuh keadilan dan perlakuan baik dari atasannya.

Gagal total.

Bibir Erika malah terkatup rapat-rapat, tidak mampu untuk sekedar bergerak barang 0,01 centimeter saja saat dia dihadapkan oleh wajah Rafael yang begitu dekat dengan wajahnya. Hanya berjarak sejengkal saja.

Sekilas pahatan wajah itu tampak berbeda. Erika tahu bahwa Rafael telah berubah, tapi jika dilihat dalam jarak sedekat ini dan berbekal ingatan akan sosok Rafael dahulu, ada beberapa titik di wajah Rafael yang masih sama seperti dulu. Rafael masih memiliki sisa pipi chubby di bagian tulang pipinya, kedua mata sipitnya dengan manik hitam yang menambah kesan tegas, lalu hidungnya dan bibirnya. Semuanya masih sama. Yang berbeda hanyalah garis rahangnya yang semakin tegas serta tatapannya yang kini berubah mengintimidatif dan tajam. Tidak, Erika tidak sedang mengagumi wajah Rafael, sumpah! Erika justru sedang sibuk menikmati tamparan dari kenyataan yang ada bahwa Rafael yang berdiri dihadapannya ini adalah sosok yang sama dengan Rafael yang ada di masa lalunya.

Dalam beberapa alasan alam bawah sadar Erika menyanggah segala kenyataan bahwa Rafael yang ini adalah Rafael yang sama dengan yang ada di masa lalu. Tapi bersamaan dengan itu Erika selalu ditampar dengan kenyataan bahwa sanggahannya hanya sebatas alasan dari Erika yang enggan dipertemukan dengan Rafael dalam keadaannya yang seperti ini.

The Difference (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang