O7 - Cinta Terakhir (End)

92 16 5
                                    

Dengan rambut pirangnya yang dikepang dua jatuh ke depan, Erika tampak sibuk berjalan menuju ke ruang makan sembari membawa mangkuk berukuran sedang yang diisi dengan nasi goreng.

Ya, hari ini Erika kembali belajar memasak dengan mengikuti tutorial dari acara memasak yang tayang di televisi. Kali ini benar-benar mudah dan bisa diikuti oleh Erika dengan baik. Meskipun untuk urusan rasa sih Erika tidak bisa memastikan akan se-perfect buatan chef betulan atau tidak.

Kalau ditanya alasannya apa, Erika akan menjawab bahwa dia ingin menghapus kesan buruknya dihadapan Rafael setelah dia gagal memasak tadi malam. Ya, memang sih Rafael kelihatan tidak begitu perduli, tapi tetap saja Erika akan terus dihantui oleh rasa malunya dan juga rasa bersalahnya jika dia tidak rela bangun lebih awal dan membuatkan menu sarapan untuk mantan korban bullying-nya itu, mengingat sebelumnya juga tujuan dia memasakkan makanan untuk Rafael adalah sebagai bentuk dari rasa bersalahnya.

Duk!

Erika menaruh mangkuk tadi ke atas meja makan kemudian dia berkacak pinggang di sana menatap hasil karyanya yang kalau dilihat dari visual sih tidak buruk-buruk sekali lah. Erika pun menyunggingkan senyuman manisnya, "Selesai, tinggal panggil Rafa---"

Bruk!

"---aw!" Pekik Erika sembari mengusapi dahinya yang tertutupi poni rambutnya. Tiba-tiba saja saat dia membalikkan badannya berniat untuk memanggil Rafael ke kamarnya, dia malah menubruk sesuatu yang tiba-tiba saja sudah ada dihadapannya.

Perlahan tapi pasti Erika mendongakkan kepalanya ke atas. Lantas dibuat terkejut dengan kehadiran sosok Rafael yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya bahkan karenanya Erika sampai membiarkan dahinya menubruk tubuh Rafael.

Alih-alih memarahi tindakan ceroboh Erika seperti hari-hari sebelumnya, Rafael malah melemparkan senyuman manisnya di sana, sementara tatapan matanya mengarah pada makanan sederhana itu yang telah tersaji di atas meja.

Lagi, detak jantung Erika berdegup ribut di dalam sana.

Harus Erika akui sekali lagi, bahwa Rafael terlihat begitu tampan dipadukan dengan kemeja hitam yang pas di badan atletisnya, serta jangan lupakan senyumannya yang entah bagaimana caranya kini semudah itu ditunjukkan oleh Rafael pada Erika. Seolah mereka berdua benar-benar tidak pernah memiliki masalah sebelumnya.

"P-Pak Rafael ngagetin saya aja" gumam Erika sembari menggaruk tengkuknya canggung.

Rafael menggulirkan bola matanya ke arah Erika dengan penuh binar, tatapan yang baru pertama kali ini Erika lihat. Rafael seperti seorang anak kecil yang senang bukan main karena dibelikan permen gratis oleh Ibunya. "Kamu masakin saya?"

Satu pertanyaan tercetus dengan begitu mudahnya dari belah bibir Rafael. Tunggu, jangan bilang bahwa Rafael kelihatan sebahagia itu karena tahu bahwa Erika kembali membuat makanan untuk Rafael? Kalau memang iya, lantas kenapa Rafael tampak sebahagia itu hanya karena hal sepele seperti itu?

Dan... dan kenapa Erika menjadi salah tingkah begini saat Rafael tahu bahwa dia membuatkan makanan untuk Rafael lagi. Rasanya itu malu bercampur bahagia. Argh, entahlah, Erika tidak bisa mendeskripsikannya.

Rafael menyipitkan matanya saat dia melihat semburat kemerahan yang mulai memenuhi pipi Erika. "Kamu sakit?"

"Hah? Enggak kok" ujar Erika dengan tegas sembari menggelengkan kepalanya dengan tegas. Mana ada Erika sakit. Apalagi setelah sebelumnya dia kenyang diberi makanan enak secara gratis oleh Rafael. Aneh-aneh saja Rafael bertanya begitu padanya.

Rafael pun mengulurkan tangannya ke depan mengusap pelan pipi Erika dengan ibu jarinya untuk memastikan semburat kemerahan itu berasal dari mana, apakah sebatas make-up atau bukan. Tanpa menyadari bahwa tindakannya berhasil membuat tubuh Erika seolah tersetrum listrik seperti ini. "Kok pipi kamu merah?" Tanya Rafael pada Erika.

The Difference (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang