Nazra sampai di rumah pukul 17.00, setelah mengajari Aiza berwudhu dan sholat Nazra singgah sebentar di rumah Aiza. Kebetulan orang tua Aiza berada di rumah saat itu, dan ia disambut dengan sangat hangat oleh kedua orang tuanya. Membuatnya sedikit merasakan iri dengan kehangatan keluarga Aiza.
"Dari mana saja kamu?" Nazra terperanjat karena mendengar suara Fandi yang tiba-tiba menyapanya.
"Ke-kerja A-yah." Jawab Nazra dengan terbata-bata, kepalanya ia tundukkan dalam. Setelah kematian ibunya, Nazra tak berani lagi menatap manik mata ayahnya. Manik mata yang sudah berubah menjadi tajam menakutkan.
"Bukannya kamu kerja sampai jam 2? Kenapa jam 5 baru sampai rumah? Kemana aja kamu? Kelayapan?" Fandi mencerca Nazra dengan berbagai pertanyaan tanpa membiarkan anak gadisnya menjawab, bahkan Nazra semakin menundukkan kepalanya.
"Ayah minta uang." Fandi mengadahkan tangannya ke depan Nazra, "Na-Nazra belum gajian, Ayah." Jawab Nazra. Ia gajian setiap tanggal 2 sedangkan ini baru tanggal 28.
"Gaji kamu bulan lalu masih ada kan? Mana? Pelit kamu sama Ayah?!." Fandi mencengkeram tangan Nazra erat membuat sang empu meringis kesakitan.
"Sakit Yah," erang Nazra. Cengkraman Fandi tak pernah ringan, selalu meninggalkan bekas tangan di lengannya.
"Beri Ayah uang!." Teriak Fandi tanpa mengindahkan ringisan kesakitan dari Nazra.
"E-enggak Ayah, Nazra harus nabung buat kuliah." Airmata yang sedari tadi ia tahan mati-matian kini jatuh juga, kelopak matanya tak sanggup lagi menapung.
"Kuliah itu cuma habisin uang, gak guna. Kamu lebih wajib membiayai Ayah!." Fandi menghempaskan tubuh Nazra ke lantai, tangannya merebut paksa tas selempang yang Nazra pakai sedari tadi.
"Ayah jangan, itu uang untuk kebutuhan lima hari ke depan." Nazra berusaha meraih tas selempangnya yang sudah di buka bahkan di obrak-abrik isinya untuk mencari sesuatu yang ayahnya butuhkan.
Fandi membuka dompet kecil Nazra. "Duit segini aja kamu pelit banget sama Ayah," Fandi mengambil dua lembar uang seratus ribuan, "anak kecil gak boleh pegang banyak uang." Ia melemparkan dompet itu ke arah Nazra yang menangis di bawahnya.
Perlahan Nazra membuka dompetnya, berharap ayahnya tidak mengambil semua uang sisanya. Dan benar, ayahnya tidak mengambil semua tapi hanya menyisakan selembar uang sepuluh ribuan.
"Sampai kapan Ayah seperti ini?." Lirih Nazra bersuara membuat Fandi yang hendak keluar rumah menghentikan langkahnya, "kenapa Ayah menjadi sosok pria yang paling Nazra takuti? Kemana sosok pria yang dulu selalu melindungi Nazra? Tolong kembalikan pria itu!." Nazra memberanikan diri menatap mata tajam Fandi yang juga tengah melihat ke arahnya.
Fandi berbalik arah sembari tersenyum, ia jongkok di depan Nazra yang masih terduduk di lantai. "Kamu yang membuat sosok pria yang kamu maksud hilang!." Fandi mendorong kepala Nazra sampai membentur lantai. "Masih untung saya masih gak buang kamu, masih mau merawat PEMBUNUH seperti kamu!." Fandi kembali menekankan kata pembunuh untuk Nazra.
"Nazra bukan pembunuh!" Sanggah Nazra, ia berusaha bangkit namun kembali ambruk karena kepala nyerinya yang disebabkan benturan keras dari ayahnya.
"Kamu pembunuh!. Kamu membunuh istri saya!, kamu anak pembawa sial!, gara-gara kamu hidup saya hancur!, Semua karena kamu!" Fandi mencela Nazra dengan berbagai kata yang selalu berada di otaknya setiap kali bertemu dengan Nazra. Fandi berdiri, "semua yang terjadi pada saya saat ini karena ulah kamu sendiri. Jangan salahkan saya!" Ucapnya sekali lagi. Kakinya menendang keras tubuh Nazra yang sudah terbaring di lantai tak berdaya, tak ada lagi rasa belas kasihan untuk Nazra meski ia adalah anak kandungnya. Baginya, Nazra hanyalah seorang gadis yang membuat hidupnya berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK RAINBOW
General Fiction"Ra, kata orang pelangi itu indah, berwarna warni. Apa benar? kalau iya, tolong ceritakan sedikit tentang pelangi padaku." Nazra tersenyum sebelum akhirnya menjawab pertanyaan sahabatnya ini. "Sekarang ada pelangi, apa yang kamu lihat?" Nazra menata...