~Jika ini bukti rasa sayang Nazra untuk Ayah, lalu mana bukti rasa sayang Ayah untuk Nazra~
.
.
.
."Ingat, waktu kamu tinggal 2 minggu lagi." Ucap Fathir kala merasakan bayangan Firhan melewatinya, matanya masih tetap tertuju pada koran yang ia baca.
"Firhan tahu, gak perlu diingatkan lagi." Balas Firhan dan berlalu menuju kamarnya, kepalanya pusing dan semakin pusing mendengar ucapan ayahnya setiap hari.
Firhan langsung tengkurap di atas ranjangnya setelah sampai di kamar, dua minggu terakhir yang tak mudah untuknya. Harus kemana lagi ia mencari pendonor mata untuk Aiza. Semua rumah sakit di Kediri sudah ia tanyai, dan semua memberi jawaban yang sama. Kosong.
Janji adalah janji, tidak boleh untuk ia ingkari. Firhan menyesal mengiyakan permintaan papanya saat itu, padahal ia tahu itu mustahil.
Firhan membalikkan badannya kemudian bangkit, "masih banyak rumah sakit di kota lain. Pasti salah satunya ada yang memiliki stok pendonor mata." Katanya penuh semangat, untuk Aiza apapun akan ia lakukan. Usahanya untuk mendapatkan cinta gadis itu tak mudah, bahkan Aiza menerimanya setelah setahun ia mencoba mendekatinya. Cinta yang susah payah ia dapatkan, tidak akan ia lepaskan begitu saja.
****************
"Aww" Nazra meringis kesakitan saat Nafia menarik tangannya. Saat ini Nazra, Nafia dan juga Gafi berada di salah satu taman yang ada di Kediri. Taman Joyoboyo, letaknya yang berada di pinggir jalan raya juga tepat di seberang stadion Brawijaya menjadikan tempat ini mudah dijumpai dan ramai dikunjungi. Di taman ini ada beberapa tempat untuk bersantai, mengerjakan tugas atau sekedar berfoto. Juga ada jembatan panjang yang indah. Terlebih lagi saat malam, jembatan ini akan sangat indah dengan lampu-lampu kemerlap yang menerangi.
Hari ini Nazra mengambil jatah cutinya untuk sekedar bertemu Nafia dan Gafi. Semenjak lulus SMA, mereka jadi semakin jarang bertemu. Karena adanya kesibukan masing-masing, Nazra dengan pekerjaannya sedangkan Nafia dan Gafi dengan kuliahnya. Dan hari ini kebetulan Nafia dan Gafi memiliki waktu luang, juga jatah cuti Nazra yang belum gadis itu ambil. Sehingga mereka memutuskan untuk segera bertemu.
"Tangan kamu luka lagi?" Tanya Nafia, tidak hanya sekali atau dua kali, ia sering mendapati luka di tangan, punggung bahkan wajah Nazra.
Melihat Nazra yang mengangguk pelan membuat emosi Nafia sedikit meninggi, ia tak rela jika sahabatnya ini terus disakiti meski oleh ayahnya sendiri.
"Kita laporin ayah kamu ke polisi aja lah Ra." Kata Gafi, berulang kali ia mengusulkan hal ini kepada Nazra tapi berulang kali juga usulan itu di tolak mentah-mentah oleh Nazra.
"Enggak, Gaf. Sampai kapan pun aku gak akan melaporkan ayah ke kantor polisi." Tolak Nazra, keluarganya saat ini hanyalah ayahnya. Ia tidak memiliki siapapun lagi.
"Tapi ini sudah keterlaluan, Ra. Setiap hari kamu mendapatkan kekerasan. Ini gak bener." Nafia ikut mencoba membujuk Nazra agar mau melaporkan ayahnya ke polisi. Sebagai sahabat Nazra, ia tak tega jika temannya mendapat perlakuan seperti ini. Nafia dan Gafi berteman dengan Nazra sejak mereka duduk di bangku SMA, dan setiap hari Nafia menemukan luka di tubuh Nazra. Ia tak menyangka Nazra mendapatkan siksaan itu dari ayahnya sampai saat ini. "Sebenarnya apa yang ada dipikiran ayah Nazra?" Batinnya.
"Dia ayahku Fi, mau bagaimanapun dia tetap ayahku. Cuma ayah yang aku punya sekarang ini, kalau ayah di penjara aku sama siapa?" Kata Nazra. Cukup ia kehilangan ibu dan kakaknya, jangan ayahnya.
"Masih ada kami Ra, kami akan selalu ada buat kamu. Kalau ayah kamu di penjara, kamu gak akan dapat siksaan ini lagi. Kamu bisa tinggal sama aku." Nafia terus meyakinkan Nazra, setidaknya ayah Nazra harus mendapatkan pelajaran agar jera dan tidak menyakiti Nazra lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK RAINBOW
General Fiction"Ra, kata orang pelangi itu indah, berwarna warni. Apa benar? kalau iya, tolong ceritakan sedikit tentang pelangi padaku." Nazra tersenyum sebelum akhirnya menjawab pertanyaan sahabatnya ini. "Sekarang ada pelangi, apa yang kamu lihat?" Nazra menata...