4. Pertengkaran depan Rumah

19 3 0
                                    

Satu waktu Guera masih bersemedi menghabiskan waktu musim dingin-jika menyamakan waktu dengan negeri Belanda-di depan lukisan Penangkapan Pangeran Diponogoro, Guera tetap memikirkan sang gadis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu waktu Guera masih bersemedi menghabiskan waktu musim dingin-jika menyamakan waktu dengan negeri Belanda-di depan lukisan Penangkapan Pangeran Diponogoro, Guera tetap memikirkan sang gadis. Wajahnya, ekspresinya, bahkan dengkingan suara gadis tadi berhasil menguasai pikiran Guera. Berkali-kali ia menggeleng, berbagai cara pula Guera lakukan agar pikiran dapat teralihkan. Namun, semua itu mustahil.

Hingga waktu berputar kembali pada siang hari yang melelahkan, di mana Guera harus berlari mengejar asa yang rupanya tidak membuahkan hasil. Guera berhadapan dengan si gadis, dari jauh ia tetap memandang, merangsang satu per satu tangis isakan yang keluar dari mulut kecilnya.

Mata mereka pun bertemu, terbesit di antara cahaya matahari yang menyinari dan membakar kulit putih mereka. Bahkan Guera sampai kagum tak berkutik melihat halusnya dan licinnya permukaan kulit si gadis yang terkena paparan sinar mentari. Guera juga bisa dibilang tidak percaya jika memang gadis itu merupakan pribumi, pancaran auranya berseri seperti buah plum yang belum matang.

Meski bahasa yang dipakai gadis tersebut-beberapa tidak bisa dipahami oleh Guera-menandakan bahwa si gadis mempunyai tutur bahasa Indonesia lebih fasih ketimbang orang lain, namun Guera tetap yakin bahwa si gadis bukan rakyat biasa.

Puluhan kedipan sudah mereka lakukan dengan masih mengunci pandangan, hingga terpaksalah Guera ditarik oleh sang pengasuh untuk segera menjauh sebelum Guera berontak ingin menghampiri si gadis. Gadis tersebut lantas mengembuskan napas panjang, lagi-lagi dirinya tidak ditolong dan dilindungi sebagai perempuan.

Satu pukulan berhasil mendarat di kepala gadis itu, terbentur oleh sepatu yang memiliki sol cukup tebal. Si gadis merintih kesakitan, tangannya bergetar dipaksa terangkat untuk memedamkan denyut sakit di kepala. Matanya menyipit karena buram sudah menyerang penglihatan, menyadari gerombolan pelaku perundungan baru saja pergi dari tempat kejadian.

Si gadis mengedarkan pandangan setelah yakin bahwa gerombolan temannya tidak akan datang kembali, membalas tatapan orang yang lalu lalang begitu saja tanpa ada rasa kasihan atau niatan ingin membantu. Sesaat kemudian si gadis menoleh ke belakang, ke jalan berlawanan, tersadar ia baru mengunci tatapan kepada seorang lelaki yang tanpak seumuran dengannya. Si gadis belum pernah memandang lelaki selama itu, kecuali ayahnya. Pipi si gadis memerah padam, seperti buah apel yang baru dipetik langsung dari pohon.

Pergerakan rusuh dibuat oleh si gadis untuk memberesi buku miliknya, dimasukan ke dalam tas goni agar lebih mudah dibawa. Tas kain miliknya sudah rusak akibat dirobek oleh temannya tadi, beruntung ada orang yang membuang tas berbahan karung goni di tempat sampah. Si gadis sadar, bukunya pasti akan bau setelah ini, tapi dikarenakan demi tangannya yang tidak keberatan membawa sesuatu, jadi si gadis tidak terlalu peduki.

Kembali lagi, si gadis merasa punya kesalahan berat sekarang. Telah menatap seorang kaum Eropa cukup lama, mungkin beberapa orang di sana menyadarinya. Lagi-lagi, si gadis tak pernah memandang lelaki selain ayahnya, si gadis juga sempat dilarang untuk dekat atau bersama laki-laki jika tidak ada sesuatu pembahasan penting. Apalagi barusan orang yang dia pandang adalah orang Eropa, mungkin alasan inilah yang membuat kedua orang tua si gadis melarang bertatapan dengan lelaki.

Pengkhianatan di Atas Kehormatan [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang