22. Pergantian Tahta Kerajaan

11 1 0
                                    

Gamelan dan sinden khas berbahasa Sunda kembali dimainkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gamelan dan sinden khas berbahasa Sunda kembali dimainkan. Karta dan Ningra beriringan melangkah pada karpet berwarna merah yang mengarah menuju altar pelantikan, di sana sudah terdapat dua buah kursi berbahan dasar kayu yang sangat cantik—kursi tersebut masing-masing diduduki oleh Sukmawati dan putra bungsunya Dimas untuk mewakilkan almarhum ayahnya.

Karta dan istrinya telah tiba di hadapan altar, mereka bersimpuh di depan Sukmawati dan Dimas untuk penyerahan mahkota tatkala MC menyuruh mereka. Sebelum benar-benar dilantik, ada beberapa wejangan atau amanat yang harus diberikan. Sukmawati untuk Ningra sebagai ratu, dan Dimas untuk Karta sebagai rajanya. Adat ini biasa disebut sungkeman bagi masyarakat pribumi, diiringi pemandu acara yang ikut mengatakan suatu kalimat menyayat hati. Rupanya tradisi sungkeman tak hanya dilakukan ketika acara pernihakan saja.

Dimas menolehkan kepala kepada ibundanya, terdengar bahwa Sukmawati menitipkan pesan untuk terus bersama Karta selamanya, selalu mendampingi dan membimbing Karta dalam kondisi apa pun. Sekarang Dimas yang kebingungan berbicara apa, ia masih terdiam seribu bahasa.

Hingga akhirnya Karta mengangkat kepala. "Diam saja?"

Kedua kelopak mata Dimas membesar berharap Karta bisa memahami kondisinya sekarang. "Aku bingung mau bicara apa."

Karta menahan gelak tawa dan memilih untuk menurunkan kepalanya seperti awal, berposisi selayaknya mencium punggung tangan Dimas sekhusyu mungkin.

Agar bisa meyakini para hadirin bahwa Dimas tengah memberi sebuah wejangan, sebelah tangan Dimas bergerak mengusap kepala Karta. Meski akan dianggap tidak sopan sebab memegang kepala kakak sendiri, tapi detik ini mereka sedang berada dalam kondisi genting.

Satu hal yang berhasil Dimas kembali terdiam, yaitu terlintasnya sebuah kenangan masa kecil bersama Karta. Jarak usia mereka hanyalah dua tahun, jelas masa bermain mereka dipenuhi oleh keceriaan dan kebahagiaan bersama. Menempuh pendidikan bersama, sampai bercita-cita ingin membangun sebuah sekolah untuk rakyat. Daerah Kekeratonan dulu hanya dipenuhi oleh mainan milik Karta dan Dimas, saking aktraktifnya mereka berdua jika bermain. Jarang sekali Karta dan Dimas bertengkar atau memperebutkan sesuatu, jikalau ada pun tidak akan marah sampai berhari-hari.

"Jangan lupa daratan, Kang."

Dimas berpesan dengan nada suara yang bergetar, memicu Karta untuk menaikkan kepala lagi menatap Dimas. Benar dugaan Karta, kini kelopak mata Dimas sudah dipenuhi oleh air mata yang sebentar lagi meminta ingin terjatuh.

Pria itu tersenyum kepada kakaknya, memegang pundak dengan bergetar dengan harap kekuatan yang dimiliki Dimas dapat tersalurkan. "Jadilah seorang tokoh yang dikagumi oleh masyarakat, bukan dibenci."

Karta mengangguk paham, sejujurnya sedikit tidak percaya karena seorang Dimas yang biasedari kecil biasanya tidak serius jika berbicara, sekarang sampai menitihkan air mata.

"Yang kuat, Kang."

Karta menggenggam tangan Dimas yang masih bertangkai di bahunya. "Aku bakal kuat kalau kamu pun kuat, Dimas. Maka dari itu, tolong jangan pergi dan memutuskan untuk mengasingkan diri lagi."

Pengkhianatan di Atas Kehormatan [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang