10. Temui, Jangan Dibui

9 1 0
                                    

Edda kini tengah merapikan selimut yang membaluti tubuh Dimas, sebelumnya gadis itu baru saja menggantikan seluruh yang digunakan Dimas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Edda kini tengah merapikan selimut yang membaluti tubuh Dimas, sebelumnya gadis itu baru saja menggantikan seluruh yang digunakan Dimas. Seperti pakaian, sampai seprei dan selimut pun Edda ganti agar Dimas merasa nyaman.

Ini sudah hari kedua pria itu terbaring di ranjang, belum banyak bergerak, bahkan sekadar mengambil wudhu untuk sembahyang pun masih dituntun oleh anak dan istrinya. Dimas belum bisa menceritakan secara lengkap ciri-ciri orang Eropa yang menyerangnya, bahkan perlakuan yang mereka beri juga masih Dimas sembunyikan.

Tubuhnya memang lemas, tidak berdaya dan memerlukan bantuan untuk bertahan hidup. Namun, ada yang membuat Edda merasa aneh terhadap Bapaknya ini. Senyum Dimas selalu merekah, hangat tanpa menunjukkan rasa sakit sekali pun. Beberapa kali Edda menangis di hadapan Dimas akibat rasa khawatir berlebih, tapi pria itu yang mampu menenangkan.

Sudah dua malam Edda mendengar rintihan Dimas dari dalam kamar-ketika Edda terbangun ingin buang air. Teriakan kecil dan rintihan parau itu terdengar saat Edda keluar kamar, disertai suara lembut juga halus yang menenangkan ringisan itu. Dalam artian, Dimas sangat merasa kesakitan sampai detik ini.

"Jangan ada yang disembunyikan, Pak."

Dimas tertegun mendengarnya. Senyum yang merekah juga perlahan menurun. "Bukankah kamu yang menyembunyikan hubungan itu?"

"Maksudku ..." Edda menggantung kalimatnya. Gadis itu merasa bimbang karena Dimas melemparkan sebuah pernyataan yang cukup menohok. "Kalau Bapak sakit, bilang sakit. Kalau tidak, baru bisa tersenyum. Jangan begini. Bapak jalan saja masih harus dituntun, makan harus disuapi. Tapi, Bapak bisa-bisanya menerus melempar raut wajah seperti senandung gembira."

Lantas Dimas tertawa mendengar argumen itu. Ia anggap, pemikiran putri kecilnya ini masih di batas kekanakan. Disaat setiap orang sakit harus merasa lemah, cemberut tak tahu arah. Mungkin dianggap Edda bahwa orang sakit tidak semestinya tertawa, mereka harus terus tidur dan hanya memikirkan ingin sembuh.

"Bapak seperti ini karena ada kamu, Neng. Bayangkan di hari-hari sebelumnya, kita jarang sekali kumpul keluarga, kan? Bekerja, bekerja dan bekerja. Penghasilan sedikit, namun paksaan di mana-mana. Bapak bersyukur diberi sakit separah ini oleh Allah, sebab kamu setelah pulang sekolah tidak melipir ke lain tempat selain ke rumah."

Penjelasan Dimas semakin membuat jantung Edda tertusuk. Memang selama ini, Edda akui yang jarang pulang ke rumah adalah dirinya. Edda memang sering diberikan pulang lebih awal dari tempat pekerjaannya, namun gadis itu memilih untuk pergi ke bukit ketimbang langsung pulang. Target Edda memang setelah matahari terbenam barulah dirinya menginjakkan kaki di rumah, sementara Dimas serta Hanah sudah ada semenjak Ashar.

"Lupakan, Edda."

Edda mengangkat kepalanya untuk memberi tatapan kepada Dimas, setelah itu terlihat Dimas menggenggam pergelangan tangan Edda sambil melempar senyum andalan. "Coba ceritakan tentang kalian."

Pengkhianatan di Atas Kehormatan [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang