21. Persiapan Perayaan

12 1 0
                                    

Guera menatap dalam dua mata yang kini sedang fokus kepada perutnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Guera menatap dalam dua mata yang kini sedang fokus kepada perutnya. Wanita itu telaten membersihkan darah yang terus saja keluar dari geratan tersebut, Ningra bilang tusukannya tidak memang tidak terlalu dalam, tapi cukup melukai hingga lapisan darahnya pecah dan tak berhenti keluar.

Sudah lama Guera tak melihat mata yang teduh dan cukup peduli untuk anak seusianya, sudah lama Guera tidak mendengar sebuah pertanyaan dari seorang ibu yang memedulikan kesehariannya; habis melakukan apa saja, makan baik atau tidak, dan jam tidur yang teratur.

Sejujurnya Guera sangat merindukan kehangatan ibunya, Isabelle. Tapi wanita itu sudah terkelabu oleh pengaruh ayahnya, alias sang suami yang mengatakan bahwa para pribumi sangat tidak bisa dipercaya, sangat pantas untuk dibenci. Melihat status Guera yang secara terang-terangan dekat dengan gadis Indo, sang ibu tampak berusaha untuk menjauhinya.

Guera mengusap sebelah pipinya untuk menghapus bulir air mata yang jatuh tanpa aba-aba, ini bukan waktunya Guera untuk menangis. Suasana rumah ini sedang bahagia dan tak sepatutnya diselangi sebuah kesedihan.

"Sudah. Ada baiknya kamu tidak terlalu banyak bergerak, ya." Wanita itu memberesi peralatan medis tradisionalnya.

Guera melirik perut, perban itu tampak jauh lebih rapi ketimbang sebelumnya yang sangat berantakan tidak teratur. Rembesan cairan merah juga sudah tidak ada, bahkan rasa sakit yang dirasanya menghilang tak terasa. Meski tadi ketika Ningra menetesi racikan obat tradisional membuat Guera ingin menjerit kepedihan.

"Terima kasih, tapi ..." Guera menggantung kalimatnya. Hingga perlahan mata biru itu menangkap pandangan Ningra. "Mengapa Anda begitu baik kepada orang asing bahkan anak Belanda sepertiku?"

Alis Ningra bertaut, ingin menanyakan maksudnya tapi Guera sudah lebih dulu membuka suara kembali.

"Maksudku, di luaran sana banyak sekali pribumi yang membenci orang Belanda. Kami penjajah, sudah seharusnya kami diusir dari tanah ini. Sementara Anda, bisa saja Anda memperparah kondisi saya sehingga seorang anak Belanda setidaknya berkurang satu."

Ningra mengembuskan napas pendek. Sembari membenahi perlengkapannya, wanita itu beranjak menuju lemari yang menyimpan banyak sekali benda tradisional, perkumpulan alat medis lainnya milik sang mertua.

"Kau benar, aku memang membenci para penjajah." Ningra terdiam untuk memberi jeda pada kalimatnya.

"Namun, bukan berarti aku tidak memiliki rasa kemanusiaan. Aku memiliki seorang putra tunggal, aku menyayanginya, aku ingin dia bahagia dalam hidup atau matinya. Begitu melihatmu, mungkin kini kau sedang kekurangan sebuah kasih sayang dari orang tua, benar? Terlebih ketika tadi aku mendengar kisah hidupmu, kau sangat pantas untuk disebut sebagai anak baik."

Guera setia mendengarkan argumen yang terbilang hampir seratus persen benar, memandangi punggung wanita berkebaya hitam megah dari kejauhan hingga beliau menghampiri pintu untuk keluar.

Pengkhianatan di Atas Kehormatan [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang