9.

58 4 0
                                    

Setelah menghampiri Juan, Asa pergi menuju kamar Shaqi. Dia membuka kamar itu dengan perlahan.

Shaqi menatap kedatangan Asa, Lalu melepas jaket yang sedari tadi membuatnya gerah.

"Menang gak Lo pas berantem tadi?" Tanya Asa.

Shaqi yang mendengar pertanyaan Asa, tersenyum.

Asa menepuk bahu Shaqi, "Lain kali gue ajarin gimana caranya supaya gak ketahuan."

Hal itu membuat Shaqi terkekeh, "Telat. Gue udah ketauan."

Asa tersenyum mengejek menatap Shaqi,"Payah."

Asa menarik kursi belajar Juan lalu duduk di hadapan Shaqi. Dia menatap adiknya sekejap.

"Apa yang dia tawarin ke Lo?"

Mendengar pertanyaan itu terlontar dari Asa membuat Shaqi mendongak menatapnya.

Asa bersandar sembari bersedekap, "Jagoan gue gak mungkin tergiur di ajak ribut segampang itu."

Shaqi tersenyum. Dia lupa, kakaknya yang satu ini selalu jadi pengamat yang baik.

"Dapet duit, gue."

"Berapa?"

"Satu juta."

Asa mengangguk. Dia tak sebodoh itu mempercayai ucapan Shaqi. "Tabung 500 ribu. Sisanya buat jajan. Traktir adek Lo sama si Irwan." Shaqi mengangguk.

"Saran gue, dari pada Lo gelut, mending ajak si Samsudin duel epep aja."

Shaqi menatap Asa dengan tatapan terkejut. Benar, kenapa dia tak memikirkan itu sejak dahulu. Jadi dia tidak perlu mengeluarkan tenaga sebanyak ini.

Detik berikutnya Shaqi tersadar, "tapi kali ini gue gak gelut sama Sam. Gue gelut sama Sadam."

*
*
D

i tengah dinginnya angin malam, Dita terduduk di tepi jalan. Kepalanya begitu kacau hari ini.

Kepadatannya menjadi mahasiswa akhir sangat menguras tenaganya. Terlebih mendapat pernyataan lugas dari ibu Qeisha membuat hatinya ingin meledak.

"Setelah hari ini, kamu tidak perlu ke rumah ini lagi." Ibu Qeisha menatap Dita prihatin.

"Maaf ya, nak Gemi. Qeisha sudah dijodohkan oleh neneknya."

Dita menampilkan senyum lembutnya, "ahhh jadi begitu. Selamat ya Tante atas perjodohannya. Maaf karena saya tidak bisa memberikan kepastian untuk anaknya. Tapi saya ikhlas jika itu membuatnya bahagia."

Bohong! Ikhlas itu bohong. Hati Dita bahkan seperti disayat-sayat oleh ribuan pisau. Wanita yang sedari dulu dipujanya telah dipinang lelaki lain. Sakit.

Saat akan berpamitan, Dita memeluk Qeisha, "Sorry gue belum siap dengan pernikahan. Semoga langgeng ya kak."

Ditengah rasa sedih dan kecewanya, Dita dibuat sebal dengan kelakuan kedua adik ajaibnya. Semua emosinya meluap tanpa terkontrol.

"Ayah, Mas capek. Mas lelah sekali hari ini. Mas harus bagaimana." Seputung rokok yang terselip di jarinya ia hisap.

Dita, Dia juga mantan berandal. Hanya sedikit yang tau. Tapi ayahnya tau betul. Sebagai anak pertama, Dita dituntut untuk jadi tauladan yang baik untuk adik-adiknya. Jiwa bebas remaja Dita tercover baik di depan keluarga. Dunia malam bahkan sudah biasa baginya.

Sampai satu kejadian membuat dirinya tak mau lagi berurusan dengan masa masa itu. Persetan dengan jiwa bebasnya. Dia lebih baik menuntut diri untuk jadi lebih baik.

4 Siblings | TREASURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang