PMJ- 01

684 49 11
                                    

"Jadi ... dengan berat hati saya menyampaikan bahwa pihak sekolah akhirnya mengambil keputusan ini," perempuan berbadan berisi dengan lipstik maroon dan sangat bold itu menghela napas, "kami ... terpaksa memberhentikan Bu Lintang."

Mendengar hal itu membuat Lintang terkesiap. Ia yang sedari tadi meremas-remas ujung hijab lebar cokelat tanahnya, seketika manatap nyalang beberapa saat pada perempuan yang duduk di hadapannya. Padahal, sebenarnya gadis yang kini tengah getol belajar agama itu sudah memperkirakannya ketika Kepala Sekolah memanggil beberapa menit sebelumnya. Perempuan berkulit kuning langsat itu menunduk lalu memejam beberapa saat dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Berbagai sugesti menenangkan sebagai penghibur diri dan penahan emosi, berulang kali ia gumamkan dalam hati.

Sabar, Lintang .... Jihad di jalan Allah memang berat. Tak semua orang bisa menerima. Nabi saja, bahkan ditentang pamannya sendiri. Begitulah orang-orang jahil.

Akhirnya, setelah selesai mendengarkan ocehan perempuan gemuk menor itu, Lintang bersegera pamit. Ia keluar dari ruang Kepala Sekolah, lalu kembali ke kelasnya.

Bel masuk sekolah berbunyi beberapa menit setelah Lintang sampai. Ia berusaha tampak baik-baik saja, meneruskan kegiatan mengajar di kelas A. Menyembunyikan resah dan kecewa yang sejatinya menggelayuti hatinya. Pun begitu, ada amarah yang tak henti mengusik. Gemas pun tak ketinggalan menghantui. Ah, sesulit inikah mempertahankan kebenaran?

Satu helaan napas lega meluncur dari pernapasan Lintang manakala terdengar bel pulang berbunyi. Dia membimbing anak muridnya untuk bersiap pulang, ditemani satu rekan pengajar lain.

Ah, anak-anak TK yang lugu dan polos. Pasti nanti Lintang akan sangat merindukan keadaan semacam ini. Padahal, menurutnya, ia tak melakukan hal berbahaya. Ia hanya mengajari anak-anak itu hal-hal yang sepatutnya diketahui. Tapi, mengapa wali murid dan Kepala Sekolah jadi seimpulsif itu? Bahkan, sampai memutuskan memberhentikanya.

Hanya karena salah seorang siswa menegur ibunya yang bergincu, lalu mereka berpikir bahwa Lintang telah memprovokasi dan mengajari anak kecil ajaran radikal. Bagaimana mungkin kebenaran dianggap radikal?

"Tapi, Bu Lintang. Tidak perlu juga Ibu menanamkan doktrin yang terlalu keras pada anak-anak. Bagaimana bisa Anda mengatakan bahwa perempuan berhias itu pasti masuk neraka? Bahkan, sampai menyamakannya dengan wanita penggoda."

Kalimat Kepala Sekolah yang menegurnya beberapa minggu lalu, masih terngiang jelas di telinga Lintang. Teguran kesekian kalinya.

Ah, perempuan-perempuan pesolek yang berusaha meraih perhatian dari pandangan-pandangan jahat. Saat mengetahui kebenaran, mereka akan marah dan menentang.

Para murid sudah duduk rapi dan selesai berdoa. Mereka lantas berpamitan satu per satu kepada Lintang dan rekannya.

Ketika telah memastikan semua murid pulang dan dijemput orang tua masing-masing, Lintang segera keluar kelas. Ia berjalan gontai dengan tas kanvas kain yang tersampir di pundak dan beberapa buku di dekapannya. Segera pulang dan istirahat sepertinya merupakan solusi terbaik.

Di rumah, Lintang melakukan segala cara agar jangan sampai suasana hatinya yang buruk, diketahui Bapak dan Emak. Ia masih saja berusaha menahan emosi.

Berbagai hal telah dilakukan, duduk, berbaring, berwudhu', bahkan mengaji. Tapi, tetap tak mampu menghilangkan kekesalannya.

Lintang yang tengah bermalas-malasan di ranjang kamarnya, seketika dikejutkan oleh notifikasi pesan obrolan yang mendarat pada ponsel. Seketika, mood-nya membaik. Ia menduga itu adalah pesan dari Junaedi. Pasalnya, ini adalah hari Sabtu pada minggu terakhir di akhir bulan. Hari di mana biasanya lelaki pujaan hatinya itu akan mengirimkan pemberitahuan tentang jadwal liqo sebulan ke depan.

(END/Versi Revisi) Peace! Mas JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang