be the best •0.4

119 14 2
                                    


Setelah mengantar Zuohang pulang dengan selamat, Jiaxin kembali ke rumahnya dengan keadaan yang lusuh. Wajahnya pucat, tubuhnya gemetaran, sakit yang menjalar ke seluruh organ tubuhnya.

Baru saja ia memasuki kediaman keluarga Deng, ia langsung terduduk di lantai akibat kaki nya yang tidak mampu menahan bobot tubuhnya. Nyonya Deng yang kebetulan lewat langsung menghampiri Jiaxin dengan wajah panik. Ia membantu Jiaxin berdiri dan memapah anak semata wayangnya itu untuk duduk di kursi, tak lupa ia juga memberikan segelas air putih untuk membantu Jiaxin tenang. Nyonya Deng memeluk erat tubuh putranya, ia cukup syok. Terakhir kali ia melihat Jiaxin seperti itu adalah tiga tahun yang lalu. Dimana insiden tak mengenakkan terjadi pada putra semata wayangnya.

“Ibu, aku bukan pembunuh, kan?” Tanya Jiaxin lirih dengan tatapan kosong.

Nyonya Deng menangkup dua pipi Jiaxin dengan mata berkaca-kaca. “Tidak sayang, kau bukan pembunuh. Jangan pikirkan itu lagi. Katakan, apa yang membuatmu menjadi seperti ini?” Balas Nyonya Deng dengan khawatir.

“Di SMP itu, ada kasus yang sama seperti dulu. Aku takut, Bu. Aku takut...” Isakan Jiaxin mulai terdengar. Lelaki itu sudah lelah. Diselimuti trauma mendalam di insiden empat tahun lalu.

'deg'

Nyonya Deng pun syok. Mendengar kata 'kasus yang sama seperti dulu' dari mulut putranya, mengingatkannya pada saat dimana Jiaxin mengalami masalah pada mentalnya.

“S-sayang, jangan ingat ingat lagi. Ibu sudah bilang padamu untuk melupakannya bukan? Lupakan saja, itu bukan kesalahanmu...” ucap Nyonya Deng dengan gelagapan.

Setelahnya, Jiaxin tak sadarkan diri. Matanya tertutup. Perlahan ia mulai berada di alam bawah sadarnya. Itu membuat Nyonya Deng cukup khawatir serta panik. Nyonya Deng buru-buru menelpon Tuan Deng untuk menjemputnya dan membawa Jiaxin ke rumah sakit. Badan Jiaxin juga cukup panas dirasa, mungkin ia demam sebab terlalu stress.

-----

Sudah tiga hari lamanya Jiaxin menjalani rawat inap di Rumah Sakit terbesar Chongqing. Sejak hari kejadian, Jiaxin tak kunjung membuka matanya. Seolah-olah lebih baik berada di alam bawah sadarnya, matanya masih setia tertutup tanpa ada tanda-tanda ingin terbuka.

Nyonya Deng pun cukup terisak dengan keadaan putra tunggalnya. Setiap malam, ia akan menangis di hadapan putranya, berharap bahwa Jiaxin akan membuka mata.

Tuan dan Nyonya Deng menyembunyikan kondisi Jiaxin. Maka dari itu, ia hanya meminta izin dari sekolah bahwa mereka sekeluarga pergi ke Kanada. Dan pihak sekolah setuju untuk memberikan izin, kebetulan Tuan Deng ini adalah donatur terbesar di Sekolah Jiaxin.

“Jia... Cepat bangun, Ibu merindukan mu, Ayah juga merindukanmu, bahkan Hangie juga beberapa kali menelpon Ibu agar bisa berbicara denganmu...” Lirih Nyonya Deng diiringi isak tangis.

Atas kehendak Tuhan, perlahan, jari jemari berkulit pucat milik Jiaxin mulai bergerak. Mata Jiaxin mulai terbuka walau terlihat sayu tak berdaya.

“Ibu...” Panggilnya saat dirasakan air mata sang Ibu mengenai pergelangan tangannya.

“J-Jia... Tunggu sebentar, akan Ibu panggilkan dokter” Nyonya Deng bergegas keluar dari kamar inap VVIP tersebut untuk memanggil dokter.

Mata Jiaxin mengamati sekeliling ruangan bercat putih itu, ia juga melihat tangannya yang sudah di pasangi infus. Tak ingin terlalu banyak mendongak sana-sini, ia memilih untuk diam dan mengarahkan pandangannya pada lampu temaram yang dipasang di atas ruangan.

Tak lama, pintu kamar itu terbuka, menampakkan dokter dengan sang ibu yang berjalan ke arahnya. Dokter pun melakukan sedikit pemeriksaan pada tubuh Jiaxin.

be the best || Completed Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang