Bukan solusi yang Diyo dapatkan melainkan ceramah dan nasihat-nasihat dari Pak Maman. Diyo hanya terdiam dan perlahan melipir.
"Gue juga bilang apa, udah pasrah aja." ucap Arai setelah sahabatnya itu kembali dengan wajah kusut.
"Gara-gara lo, sih, jadi telat." kalimat itu terlontar lagi dari mulut Diyo.
Hampir satu jam, upacara akhirnya selesai. Mereka yang terlambat diperbolehkan masuk, tetapi hukuman di dalam sana telah menanti. Digiringlah mereka menuju halaman sekolah oleh anak-anak OSIS yang berjaga tadi lalu dibariskan di lapangan menghadap tiang bendera, terik panas matahari tak mampu dihindari. Ingin rasanya Arai menyulap langit yang terik ini menjadi mendung yang teduh sehingga ia dan teman-temannya yang mendapat hukuman tidak kepanasan.
"Berdiri yang tegak, hormat ke bendera dan jangan berhenti sebelum waktu istirahat. Mengerti!" jelas Pak Bima ke semua murid yang terlambat. Beliau adalah guru BP.
"Mengerti, Pak." serempak mereka menjawab.
"Satu lagi, jangan berhenti sebelum bel istirahat berbunyi."
"Itu artinya kita akan berdiri di sini selama dua jam." keluh Diyo.
"Betul."
"Biasanya cuma satu jam, Pak."
"Iya." sahut anak-anak yang lain menyetujui apa yang dikatakan Diyo sehingga menimbukan keriuhan.
"Bonus." ucap Pak Bram, menghentikan keriuhan itu sebelum beliau berlalu ke ruangannya. Setelah itu anak-anak OSIS meninggalkan lapangan, termasuk Aira.
"Bonus, dikira lagi main kuis." gumam Diyo yang membuat Arai sedikit tertawa.
Dua jam berlalu, bel istirahat akhirnya berbunyi. Itu artinya selesai juga hukuman, mereka langsung bergegas menuju kantin termasuk Arai dan Diyo. Ada pula yang terkapar di lapangan memilih rebahan sejenak.
"Segarnya." satu gelas es jeruk habis diminum Diyo.
"Boleh duduk di sini?" Aira meminta ijin agar ia dan sahabatnya, Sisi bisa duduk semeja bersama Arai dan Diyo.
"Silakan bidadari-bidadari yang cantiknya tak terhingga." Diyo mempersilakan Aira dan Sisi untuk duduk.
"Gue duluan." Arai tiba-tiba bangkit dari duduknya hendak meninggalkan kantin.
"Tunggu! kalau kamu gak nyaman, biar kami cari tempat lain." sahut Aira. Suasana berubah menjadi tegang dan ini bukan untuk pertama kali.
"Biar gue aja. Lo, tetap di sini."
"Kalian gak bosan dari SMP dan sekarang SMA selalu seperti ini. Ayo, akur dong!" pinta Diyo memohon. "Udah, sekarang kamu Ra dan lo, Rai duduk."
Setelah berpikir sejenak, Arai akhirnya kembali duduk, menyetujui permintaan sahabatnya. Mereka pun duduk bersama menikmati makanan kantin sebelum kembali ke kelas. Hari ini Arai tidak makan makanan kantin dulu, ia ingin menikmati nasi goreng buatan sang ibu. Sekaligus mengenang masa-masa kecil dulu saat dimana ia sering dibawakan bekal sekolah.
Perlahan Arai membuka bekal itu. Dalam jeratan malu, dan lagi di depannya ada Aira. Tapi ia menepikan itu sejenak. Perutnya terlalu lapar sebab hukuman tadi. Suap demi suap nasi goreng meluncur ke mulutnya. Arai terlihat menikmati nasi goreng buatan ibunya itu. Seketika air matanya menitik tanpa disadari, tapi buru-buru ia menyekanya agar teman-temannya tidak melihat. Tak pantas, kalau kiranya seorang Arai yang gagah dan pemberani menangis di tempat umum. Meskipun sah-sah saja namanya juga manusia, tidak ada yang sempurna.
"Gue udah selesai." Arai meninggalkan mereka setelah membereskan kotak bekal itu dan memasukkannnya ke dalam tas.
"Minum dulu." Diyo mengingatkan, tapi Arai keburu pergi.
"Apa aku punya salah sama dia, Yo?" pertanyaan yang sudah dipendam Aira sejak lama akhirnya terucap, keluar dari perangkap keraguan dan ketakutan.
"Udah gak usah dipikirin. Sejak SMP kan memang begitu. Tapi sebenarnya dia peduli sama kamu, Ra."
"Tapi kenapa sikapnya begitu?"
"Mungkin karena dia takut jatuh cinta."
"Maksudnya?"
"Dia gak percaya sama yang namanya cinta."
"Kenapa?" Tanya Aira untuk kesekian kali sebelum disambung lagi olehnya dengan kalimat, "Karena perceraian orang tuanya."
"Iya, Ra."
Bel masuk berbunyi. Waktu istirahat selesai. Diyo meninggalkan kantin terlebih dahulu, padahal mereka satu kelas. "Gue duluan ya, Ra, Ca."
Waktu menunjukan pukul 14.00. Setelah detik berganti menit dilalui di ruang kelas dengan belajar. Jam sekolah telah usai. Semua murid berhamburan meninggalkan kelasnya masing-masing. Seperti biasa Parkiran padat dan ramai.
"Rai, maaf banget ya gue gak bisa anter lo pulang. Gue harus temenin Caca ke tukang foto copy." ucap Diyo.
"Ya udah. Gue pulang sendiri."
"Sorry, kawan."
"Santai." Arai berjalan hendak meninggalkan parkiran.
Saat Diyo terlihat tidak enak kepada sahabatnya itu, Tiba-tiba motor Beno melintas di depannya. Diyo menghentikan laki-laki yang selalu berpakain rapi dan memakai kacamata bening tebal. teman sekelasnya juga.
"Beno, boleh minta tolong gak?"
"Bo-boleh. Diyo minta tolong apa?" tanya balik Beno dengan tergagap-gagap.
"Antar Arai pulang. Bisa, kan?"
"Bi-bisa." jawab Beno sambil membetulkan kacamatanya.
"Makasih Beno."
"Sama-sama."
"Rai, tunggu!" seru Diyo memanggil Arai yang masih berada di area parkir.
"Beno antar, ya." ajak Beno.
"Jalan." pinta Arai kepada Beno setelah naik motornya.
"I-iya." Beno langsung menancapkan gas meninggalkan parkiran.
"Hati-hati." teriak Diyo dan dibalas dengan acungan jempol oleh Arai.
Di tengah perjalanan tiba-tiba ada dua motor yang mengikuti Arai dan Beno. Satu motor ditunggangi oleh dua orang, sedangkan satunya lagi hanya seorang diri. Suara motor mereka terus dibuat meraung, seperti sengaja untuk menakut-nakuti.
"Kayak ada yang ikutin kita," ucap Beno setelah beberapa kali melihat kaca spion untuk memastikan.
"Lebih kencang!" suruh Arai kepada beno setelah melihat ke belakang.
"Iya." Beno menarik gasnya.
"Beno takut, Arai."
"Ya udah lo turunin gue aja di sini, terus lo cabut."
"Na-nanti Arai gimana?"
"Jangan pikirin gue. Cepat rem." Beno menghentikan motornya.
"Sekarang lo pergi." pinta Arai kepada Beno.
"Ta-tapi"
"Cepat!"
"Iya." Beno pergi meninggalkan Arai.
"Gak usah buang-buang waktu, cepat sini kalian semua maju." ucap Arai kepada gerombolan yang mengikutinya tadi yang ternyata anak-anak semalam yang berkelahi dengannya.
"Sabar kawan jangan buru-buru." ucap salah satu dari mereka sambil membuka kancing jaket yang diikuti oleh kedua temannya.
"Jadi kalian anak-anak Venus." Jawab Arai begitu melihat seragam yang mereka kenakan.
Sepengetahuan Arai, sekolah Merkurius dan Venus merupakan musuh bebuyutan sejak lama.
"Sengaja kemarin waktu gangguin cewek lo, kita gak nunjukin seragam sekolah kita. Dan sekarang lo pasti nyesal, kan?"
"Gue gak pernah menyesal menghajar manusia-manusia seperti kalian."
"Sebentar lagi lo akan benar-benar menyesal."
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Senja Hari
Teen FictionKisah remaja perempuan bernama Aira Senja yang mengidap Leukimia dan laki-laki bernama Arai Casava, anak Broken Home.