Sudah seminggu full Deza bertemu dengan calon mami tirinya itu. Mulai dari makan bersama setiap malam, atau Dewi yang datang kerumah pagi-pagi buta untuk menyiapkan sarapan. Mungkin hal itu merupakan upaya mengakrabkan diri dengannya.
Tapi Deza tak peduli. Jika memang pernikahan itu terjadi, dan Dewi menjadi ibunya, bukan kah tak akan ada perubahan yang besar? Semua pasti masih sama. Hanya hadirnya Dewi di rumahnya yang menjadi tambahan.
Dan semua bergulir begitu saja, hingga hari pernikahan tinggal hitungan jari, Deza melihat papinya yang riweh mempersiapkan acara bersama Dewi. Bahkan terkadang Deza selalu ditanyai pendapatnya, entah itu mengenai dekorasi, makanan, baju dan lainnya.
Dan hari ini papi terus merecokinya untuk datang ke butik milik Dewi. Baju pernikahan yang akan mereka pakai adalah hasil rancangan Dewi sendiri, ia memiliki beberapa desain makanya hari ini mereka akan memilih.
Deza yang memang tak memiliki jadwal pemotretan pun hanya bisa pasrah mengikuti calon pengantin didepannya.
"Eza, sini sayang. Coba tuxedo yang ini. Kata kamu mending warna baby blue, atau navy? Tante bingung, warnanya cocok di kamu semua. Apa nanti disesi aja gitu, ya? Biar kamu ganti-ganti."
"Ribet. Yang navy aja."
Dewi mengangguk pasrah. Ia menyerahkan dua tuxedo itu kepada pelayan. Untuk di rapihkan. Akhirnya setelah menghabiskan dua jam berada di butik Deza bernapas lega. Cowok itu kira ia bisa pulang kerumaj dan bersantai, nyatanya tidak. Entah kemana lagi papi akan membawanya.
"Kita kebandara dulu, ya. Jemput calon adek lo."
Mata yang awalnya tertutup kini terbuka lebar. Deza yakin ia tak mungkin mengigau karna ia sama sekali tidak tidur. Memajukan sedikit badanya, menatap sang papi yang sedang menyetir dengan santai.
"Apa?"
"Kenapa, sih, lo jadi budeg akhir-akhir ini? Kuping lo aman, kan? Abis ini kita ke THT aja, ah. Papi takut kuping lo kesumbat tai gajah."
Jika ada perlombaan teremosi, mungkin Deza sudah meraih tropinya. Ia mendelik kesal sebelum kembali duduk dengan benar. Cowok itu bahkan dengan lancangnya menendang kursi Damar.
Dan seperti biasa Dewi hanya bisa menggeleng pelan. "Kita udah bahas ini pas makan malem waktu itu. Eza ga dengerin, ya?"
"Gimana dia bisa denger, orang kupingnya penuh tai gajah."
Dugh
"Anak durhaka!"
"Udah, ah. Kalian ribut mulu. Eza dengerin tante, ya. Tante punya satu anak ...."
"Hah?! Kok ga ngasih tahu, si?"
"Emang budek," celetuk papi yang lanhsung mendapatkan tendangan lagi dari Deza.
Dewi tersenyum sebelum melanjutkan lagi ucapannya yang terpotong tadi. "Dia di Korea, sekolah disana. Tapi sekarang dia udah lulus SMP, rencananya mau lanjut disini. Dan, ya, sekarang kita bakal jemput dia dibandara. Namanya Arru. Tante harap kalian bisa akrab."
"Bisa ga dia tetep di Korea? Gue ga mau punya adek. Tukang rusuh, ganggu, bawel, cengeng, manja. Ngeselin."
"Yeuh ... lo tahu darimana, punya adek aja kagak. Seru tahu, ih. Jadi ada temen main, lo ga bakal sendirian lagi. Anaknya lucu juga. Papi ga mau tahu pokoknya lo ga boleh judes ke Arru nanti."
Maka sejak detik itu Deza menyesali semuanya, seharusnya ia tak terlalu bersikap acuh tak acuh. Seharusnya ia tidak mengizinkan Papinya untuk menikah. Deza hanya tidak mau jika hidupnya yang tenang berubah ricuh karna kehadiran sosok lain.
Maka ketika mereka tiba dibandara, Deza memilih untuk tetap diam didalam mobil. Membangkang perintang Damar yang menyuruhnya untuk ikut mencari anak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Rucil
Teen FictionDeza tidak mengerti jalan pikir sang ayah, pria tua itu meminta restu darinya untuk menikah lagi. Jika saja Deza masih berusia belasan tahun, mungkin ia akan membiarkannya. Tapi sekarang Deza sudah dua puluh empat tahun, bagaimana bisa ia memiliki i...