Bab 3.

374 49 10
                                    

"Pih, nikahnya batalin aja, ya?"

Damar menatap lekat anak sematawayangnya itu yang terus menerus memohon kepadanya agar membatalkan pernikahannya dengan Dewi. Padahal tinggal dua hari lagi ia dapat meminang wanita pujaannya.

Tangan gagah penuh urat menonjol itu menarik sang anak agar duduk disebelahnya. "Kita udah bicarain hal ini jauh-jauh hari. Bahkan pas Papi minta restu, kamu tak acuh. Dan sekarang udah sejauh ini, kamu minta Papi buat udahin semuanya? Papi ga masalah kalau emang Papi batal nikah. Papi juga ga peduli biaya yang terbuang sia-sia. Tapi disini yang ga bisa diperlakukan seenaknya itu perasaan Wulan, Deza."

"Mungkin Wulan bakal bilang, nggak apa-apa batal dari pada pernikahan ini memberatkan kamu. Tapi tetep aja kamu nggak bisa seenaknya, Deza. Kalau dari awal kamu nggak kasih restu, Papi dan Wulan nggak akan maksa buat nikah. Kita ngehargain kamu sebagai pihak anak. Coba Papi tanya kenapa kamu tiba-tiba berubah pikiran?"

Cowok itu menelan salivanya susah payah, Damar mode serius seperti ini kenapa auranya sangan mencengkram. Deza bahkan tak berani membalas tatapan papihnya itu. Bahkan untuk mengeluarkan segala unek-uneknya Deza tak mampu. Padahal Damar berbicara lembut dengan intonasi nada yang pelan. Ayah satu anak itu memang sangat terbiasa untuk menasehati atau memarahi anaknya dengan cara berkata lembut namun tersirat ketegasan.

Tapi layaknya ikatan batin antara anak dan orang tua, Damar seolah paham dengan apa yang mengganggu pikiran anaknya itu. Ia menghela napas sebelum menyandarkan diri kesandaran sofa.

"Karna Arru? Kamu ga mau punya adik? Astaga Deza ... kenapa pola pikir kamu kekanakan?"

"Papi nggak akan paham!"

"Papi paham, Papi tahu. Kamu nggak mau kalau Papi punya anak selain kamu, kamu udah nyaman hidup sebagai anak tunggal dan menjadi pusat Papi. Papi tahu kamu takut tersisihkan. Bener, kan?"

"Apa, sih! Nggak, ya!"

Damar tertawa lepas lalu menoyor kening anaknya itu. "Lo udah gede. Duapuluh empat tahun, lho. Masa takut posisinya kerebut, sih? Lagian gimana pun kondisinya, lo tu tetep anak Papi."

"Papi! Nggak gitu. Deza nggak sekanak-kanakan gitu, ya! Deza cuma ... nggak mau aja punya adek. Rusuh, ngeselin. Kaya kata Papi tadi, Deza udah gede masa punya adek baru? Deza sama dia bahkan beda 9 tahun, Pi. Lagian Deza juga udah terbiasa sendiri, nggak mau ada tambahan."

"Alasannya masih konyol. Nggak bisa Papi terima. Lagian lo suka anak kecil, kan, apa lagi yang gems-gemes. Arru manis tahu. Papi yakin kalian bakal jadi brother-able."

"Udah sana pergi. Ganggu Papih kerja aja."

Deza mendengus kesal, ia bakan menghentakan kaki lebih keras ketika berjalan. Meraih ponselnya lalu menekan ikon telepon pada grup circlenya.

"Yang nggak dateng ke caffe, gue bacok."

Setelahnya ia mematikan sambungan teleponnya, tak peduli jika disebrang sana teman-temannya mengumpat dan memberi sumpah serapah padanya. Ia langsung menyambar jaket dan kunci motornya.

~~~~

Tiga cowok dengan raut wajah yang berbeda menatap satu sosok yang sama. Objek yang mereka lihat sedang menusuk-nusuk beef dengan garpuhnya, tanpa ada niatan untuk menyantapnya.

"Apa kita kesini cuma buat liat bang Deza ngegalau?" Bisik cowok berambut pirang.

"Coba lu usilin, Vin."

Yang lebih muda langsumg saja menjalankan perintah yang diberikan. Cowok itu langsung bangkit dari duduknya, mencodongkan badan hingga mukanya hanya berjarak lima senti dari wajah tegas Deza. Memasang wajah tengilnya sebelym kedua tangannya itu terangkat menepuk kedua pipi Deza secara bersamaan menimbulkan bunyi nyaring dan pekikan keras dari siempu.

This is RucilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang