Bab. 1.

725 49 2
                                    

"Cut!"

Cowok dengan kemeja terbuka memperlihatkan dada bidangnya itu menghelai napas lelah. Berjalan kepinggir dan mendudukan diri dikursi yang telah disediakan. Membiarkan para nona rias memperbaiki make up dan tatanan rambutnya.

Mata yang katanya setajam silet itu memperhatikan potret dirinya yang berada dilayar. Sesekali alisnya mengernyit saat ada yang menurutnya sedikit cacat. Tapi terlebih dari itu, ia tersenyum puas. Ditambah sanjungan yang ia dapat dari para kru.

"Saya yakin majalah ini akan sangat booming. Tak heran jika kamu menjadi model dari produk-produk ternama."

"Bahkan saya dengar dari manager Tian, kamu mendapat tawaran menjadi model dari suatu produk ternama."

Deza, cowok itu tersenyum tipis menanggapi ocehan orang-orang yang menurutnya hanya pencitraan. Terjun didunia entertaiment membuat ia tahu bagaimana harus bersikap setertutup mungkin.

"Ya, begitulah."

Setelah menyelesaikan sesi pemotretan yang cukup panjang, akhirnya Deza bisa lepas dari semua kamera yang menyorotinya seharian.

"Dez, jadwal besok udah gue kirim. Tolong jaga sikap, jaga nama baik lo sendiri. Kolega kita kali ini bukan main-main."

Tak terlalu mendengarkan perkataan sang manager atau bisa juga di sebut sahabatnya itu, Deza langsung merampas kunci mobilnya lalu melangkah keluar ruangan.

"Deza denger gue ngomong!"

"Ya."

Seiring pintu yang tertutup memberi jarak pandang antaranya dan sang rekan, cowok itu menghelai napas pasrah. Dirinya dan Deza sudah bersama sejak lima tahun lalu, membuatnya mengerti akan sosok Deza.

"Sabar Tian, sabar," gumamnya sambil mengusap dadanya sendiri.

~~~~~

Malam ini jalanan tak begitu ramai, bahkan Deza yang jarang mengucapkan syukur itu berucap demikian. Tubuhnya sudah lelah, ingin cepat pulang dan berendam dalam air hangat. Jemarinya mengetuk-ngetuk stir mengikuti irama lagu yang terputar.

Namun sepertinya dewi keberuntungan tidak berpihak padanya. Lagu yang semula terputar kini terhenti berganti dengan nada dering menandakan ada telepon yang masuk. Melirik sekilas layar ponselnya, hingga decakan kecil sebelum ia menggeser ikon berwarna hijau.

"Hm?"

"Papi lagi di restoran langganan kita, lo kesini, ya. Papi maksa."

"Males. Capek. Ngantuk."

"Deza, plis. Ayolah kesini. Ah lo mah ga asik sama Papi."

Terkadang Deza ingin sekali melelang pria tua yang sayangnya berstatus sebagai ayah kandungnya sendiri. Entahlah, Deza hanya merasa jika papinya itu sangat berbeda dari bapak-bapak pada umumnya. Bisa dilihat dari cara bicaranya yang terlihat alay.

"Ngapain, sih? Klo cuma makan ya tinggal makan. Bungkusin buat Deza."

"Bungkusin bungkusin, lo kira warteg apa. Cepet kesini, pokoknya wajib. Papi mau bahas masa depan ini."

"Kita udah bahas ini, Pi. Deza nggak mau ngurus perusah--"

"Nah nah, anak siapa si suka suudzon mulu sama orang tua! Orang Papi nggak bakal bahas itu, wlek. Sotoy lo mah. Udahlah buruan kesini, ribet banget lo mah."

This is RucilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang