| 2 |

3 1 0
                                    


| 2 |


۞ بِسْـــــــــــــــــــــمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيم. ۞






"Husein, ayo tak keramasi!"

Teriakan Zaid menggema di asrama Ali bin Abi Thalib. Husein yang tengah bersantai di kamar setelah ro'an sambil mengorek emas di hidungnya dengan jari kelingking, langsung tersentak. Segera, Husein meraih handuk dan satu sachet sampo lalu berlari menuju kamar mandi.

Di depan kamar mandi, Husein disambut oleh banyak santri yang tengah menunggu antrean mandi. Ada yang memanfaatkan waktu menunggu dengan tidur bersandar di tembok, ada yang leyeh-leyeh sambil ngelalar hafalan, ada juga yang ngobrol ngalor ngidul. Sebagian besar dari mereka masih mengenakan pakaian kotor karena baru selesai ro'an membersihkan tumpukan sampah di belakang asrama dan memperbaiki saluran air yang mampet.

Zaid tampak sedang mengelap tubuh Memey dengan handuk pink–satu-satunya handuk dengan warna itu di asrama putra– di tempat untuk mencuci. Lelaki itu baru saja memandikannya. Kucing itu sempat melirik sinis pada Husein sambil mengeong pelan seakan berkata, "kali ini, aku yang menang!"

Husein hanya mendelik. Dia tidak mau membuang waktunya untuk berantem dengan buntalan bulu oren itu. Sebelum-sebelumnya, mereka–sebenarnya Husein dan Zayn yang menggendong Memey– memang selalu berebut untuk menjadi yang pertama diguyur air oleh Zaid. Husein selalu menang dengan alasan kalah dia hanya keramas, sedangkan Memey mandi.

"Sini, Sein," panggil Zaid setelah menyerahkan Memey pada Awan.

Setelah mencantolkan handuknya pada paku yang ada di dinding kamar mandi, Husein duduk di dingklik yang ada di depan Zaid. Sampo dia letakkan di sebelah seember air bersih yang sudah disiapkan Zaid.

"Ndangak."

Husein menurut. Dia menengadahkan kepalanya sambil merem. Takut-takut kalau air yang disiramkan Zaid ke kepalanya akan mengenai mata atau masuk ke hidung.

Sejujurnya, Husein sedikit malu untuk mengakui ini, mengakui kalau dirinya tidak bisa keramas sendiri. Mungkin banyak orang yang tidak percaya, karena bagaimana mungkin, seorang remaja laki-laki yang sudah berusia tujuh belas tahun masih tidak bisa keramas sendiri. Tetapi, memang begitulah adanya.

Husein sempat bisa keramas sendiri, tapi itu dulu. Dulu sekali, sebelum sebuah peristiwa membuatnya tidak lagi bisa keramas sendiri.

"Kamu nggak ngaret dulu, Zaid?" tanyanya. Tangannya menyingkirkan busa shampo yang nyasar sampai ke alisnya.

"Enggak. Kemarin Cak Jalal sama Cak Arjun udah cari banyak. Cukup lah sampai besok pagi. Kamu kapan mau belajar keramas sendiri? Mosok harus aku terus yang ngeramasi?"

Husein nyengir kuda.

"Nanti, kapan-kapan."

"Halah. Kapan-kapan terus. Ini bukannya aku nggak mau, ya. Aku sih fine fine aja. Tapi, Sein, laki-laki juga pasti perlu mandi besar. Kalau pas mepet waktu sholat, dan nggak ada yang dimintai tolong buat ngeramasi, gimana? Kamu mau sholat bawa hadas?"

Husein terdiam. Sebenarnya, dia sering memikirkan hal itu. Dia juga sering mencoba keramas sendiri. Dengan gayung atau keran. Tapi tetap saja, dadanya akan berakhir sesak dan tubuhnya gemetar ketakutan.

"Kamu udah mimpi basah?" tanya Zaid sambil berbisik.

Husein terkejut dengan pertanyaan itu. Tanpa bisa ditahan, wajahnya memerah, karena meskipun mereka sama-sama laki-laki, Husein tentu saja malu. Kenapa juga Zaid menanyakan hal itu?

Melodi yang PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang