4

2 1 0
                                    

| 4 |

Reyyan tumbang.

Sebenarnya, kemarin sore, setelah hujan-hujanan karena mencari sayuran di kebun dan kembali dalam keadaan basah kuyup, Reyyan masih baik-baik saja. Hanya sesekali bersin. Bahkan malamnya, Reyyan masih ikut Zaid tidur di emperan masjid hanya dengan berselimutkan selembar sarung.

Sayangnya, saat Zaid membangunkannya untuk sholat malam, Reyyan terbangun dengan kepala yang pusing bukan main, dan suhu tubuh yang meningkat drastis.

Alhasil, pagi ini, saat semua penghuni asrama bersiap-siap berangkat sekolah formal, Reyyan hanya bisa terbaring lemas di kamar dengan selembar selimut tipis yang menutup badan dan kompres hangat di dahinya.

Sesekali, dia akan bersin dan mengelap ingusnya dengan tisu. Di sebelahnya, ada tisu bekas ingusnya yang sudah menggunung, air kompresan, segelas teh hangat, dan obat yang diketahui Reyyan sebagai Paracetamol dan vitamin, yang dimintakan Cak Jalal ke klinik pesantren selepas ngaji Ihya' tadi.

"Aku berangkat, ya, Cak," pamit Zubair.

Lelaki berkulit seputih susu itu adalah anggota kamar Al Ghozali yang terakhir berangkat, karena dandannya lama sekali. Masih harus memakai lotion badan, krim wajah, minyak rambut, juga parfum banyak-banyak. Sudah seperti perempuan. Bahkan Jombang selalu memilih untuk meninggalkannya saking lamanya.

"Iya. Surat izinku siapa yang bawa?"

"Cak Zayn kayaknya."

Tak berapa lama setelah Zubair keluar, Zaid masuk dengan membawa sepiring nasi jagung dan semangkuk sayur bening daun kelor yang masih mengepulkan uap. Reyyan pikir, Zaid sudah berangkat karena biasanya memang selalu gasik.

Laki-laki itu sudah mengenakan seragam batiknya. Samar, tercium aroma sangit dari pakaiannya. Reyyan jadi merasa bersalah.

"Sarapan dulu. Mau tak suapin apa makan sendiri?"

"Sendiri aja."

Zaid segera membantu Reyyan duduk dan menata bantal di belakang punggungnya untuk bersandar.

"Aku nggak sekarat, Zaid."

Lelaki berbaju batik itu tertawa, tapi tak menjawab, malah meraih sebuah buku dan mengipasi makanan Reyyan agar lekas hangat.

Setelahnya, Zaid beralih mengambil plastik obat. Membaca aturan minumnya dan meletakkan obat yang sudah dibuka bungkusnya di sebelah mangkuk sayur.

Zaid itu memang perhatian sekali. Siapapun penghuni kamar yang sakit, pasti Zaid yang mengurusnya. Bahkan, saat setahun lalu Zayn dirawat di rumah sakit karena terserang demam berdarah selama tujuh hari, Zaid juga ikut menemaninya di sana.

"Kamu berangkat aja nggak papa, Zaid. Nanti biar ku bawa ke dapur sendiri."

"Nanti. Aku udah bilang ke Cak Damar sama Pak Yusril, kok, biar nggak dikancingi gerbang."

Reyyan tidak bicara lagi. Dia menyeruput kuah sayur bening yang sudah hangat. Rasanya sama seperti yang biasa dibuat oleh Bu Sur di rumahnya. Bu Sur adalah orang yang membantu ayahnya merawatnya sejak kecil.

Zaid sedang memeriksa kembali buku-buku di dalam tasnya, ketika tiba-tiba, Husein masuk kamar dengan raut kesal. Tangan kanannya membawa sebelah kaus kaki berwarna putih.

"Kok, balik lagi, Sein?" tanya Zaid.

"Kasut-ku hilang lagi. Udah yang ketiga kalinya lho ini. Apa yang ngambil nggak jijik sama baunya yang kayak sampah ini?"

Husein berkata sambil mencium kaus kakinya sendiri lalu sekonyong-konyong, bersikap seperti mau muntah.

Reyyan hanya menelan kembali tawanya karena takut tersedak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 02, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Melodi yang PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang