3

4 1 0
                                    


| 3 |

۞ بِسْـــــــــــــــــــــمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيم. ۞

"Rey! Reyyan!"

"Reyyan! Woy, anaknya Om Yada!"

Suara Husein terdengar makin dekat. Namun, kendati bisa mendengarnya, Reyyan tetap melanjutkan langkahnya menuju asrama tanpa berniat untuk sekedar menjawab ataupun menoleh. Lelaki berwajah kecil itu tahu apa yang akan dikatakan oleh Husein begitu dia menjawabnya.

Husein pasti akan memintanya untuk menjadi vokalis di perlombaan sholawat pada gelaran akhirussanah nanti. Selalu begitu setiap kali Pak Rizqi selesai mengumumkan jadwal Daur Tsani dan akhirussanah.

Selepas ngaji Al-Qur'an–yang dijadwalkan setiap ba'da Dzuhur–tadi, Pak Rizqi–ketua umum pesantren– membacakan pengumuman tentang Daur Tsani (ujian semester genap) dan akhirussanah yang akan dilaksanakan dua bulan lagi. Katanya, sengaja diumumkan lebih awal agar para santri bisa mempersiapkannya dengan matang.

"Awas, lho! Kalau nggak dijawab, kupingnya diambil Allah!"

Reyyan berdecak kesal. Dengan terpaksa, dia menoleh sambil menghentakkan kakinya karena sungguh, tidak ada orang yang tidak takut kalau kupingnya diambil Allah.

"Apa?!" serunya.

Husein tertawa dibuatnya. Di belakang lelaki itu, Zaid, Zayn, dan santri lainnya juga tertawa dan baru berhenti ketika Reyyan melotot pada mereka. Atau sebenarnya tidak berhenti, mereka hanya menahannya, karena sedetik kemudian, tawa itu pecah lagi.

"Eits, nggak boleh marah. Laa taghodob wa lakal jannah, janganlah marah surga bagimu."

Reyyan mendengus, tapi setelahnya langsung beristighfar dalam hati. Husein menyanyikannya sambil menempatkan telunjuknya di depan wajah Reyyan dan menggerakkannya ke kanan dan ke kiri.

Memangnya Reyyan anak R.A? Lagu yang barusan dinyanyikan oleh lelaki berpeci putih itu, lagu yang sebenarnya selalu diajarkan di R.A, selalu dijadikan andalan untuk menggoda Reyyan ketika marah.

Dengan langkah berat, Reyyan mengikuti Husein ke emperan asrama.

"Aku wegah," tembak Reyyan langsung ketika mereka baru duduk.

Husein mengernyit.

"Loh, aku kan belum bilang apa mau ku, Rey."

"Alah, aku udah tau. Kamu mau minta aku jadi vokalis di perlombaan sholawat nanti, kan? Jawabanku tetap sama. Aku wegah. Paham?"

Tanpa menunggu jawaban Husein, Reyyan bangkit dan berjalan masuk ke asrama. Tetapi baru sampai di pintu, Husein meraih lengannya dan mengajaknya kembali duduk. Anehnya, dia menurut saja.

"Ojo ngunu, Rey. Kamu kan tau, aku minta ini bukan buat kepentinganku sendiri, tapi buat kamar kita. Buat asrama kita."

Reyyan tidak menanggapinya, tetapi Husein tidak tinggal diam. Lelaki bergigi kelinci itu bangkit lalu jongkok di hadapannya sambil meraih tangan kanannya untuk digenggam erat. Reyyan mencoba menariknya, tapi genggaman Husein cukup kuat.

"Lawan kita nggak main-main, lho, Rey. Rakyatnya Cak Baim tuh berat semua. Mau yang santri baru atau lawas, semuanya kayak suka makan kaset. Ayolah, please, Rey. Demi kesejahteraan bersama, ya?"

Reyyan masih membisu. Dia sangat tahu kalau yang dikatakan oleh Husein barusan benar. Akan sangat egois kalau Reyyan kembali menolaknya.

"Kalau kita berhasil jadi juara di lomba sholawat kali ini, besar kemungkinan, asrama kita akan jadi juara umum. Kita bisa dapat voucher ziaroh Wali Songo gratis buat teman-teman se-asrama. Memangnya kamu nggak pengen kita ziaroh sama-sama? " sambung Husein lagi.

Melodi yang PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang