2 - Hujan

3 0 0
                                    


Hujan memang selalu membawa rindu, tetapi sebagian orang benci akan hal itu. Karena kerinduan, kadang membuat kita sakit. Sakit mengingat lagi hal jahat yang dulu pernah kita alami.”

—Jiandra Nouzella

***

Saat selesai membersihkan luka pada lengan Jefano, yang sobek—karena tergores oleh pot bunga. Jiandra kembali beralih pada luka-luka yang ada di wajah Jefano. Sangat teliti untuk membersihkan luka serta mengobatinya.

Jefano hanya diam sejak tadi. Hening. Itulah yang dirasakan di ruang kesehatan ini, lagi pula jam pulang sekolah sudah lewat satu jam yang lalu. Sementara Jiandra melirik sedikit kearah Jefano, entah mengapa cowok itu merasa anteng dan tak bersuara sedikitpun.

"Kenapa?" tanya Jefano yang menatap lurus ke depan. Cowok itu sepertinya merasa bahwa sedang ditatap oleh Jiandra yang menyusun beberapa kapas dan obat kedalam kotak P3K.

"Lo enggak ada bilang makasih ke gue?" Jiandra memutar bola matanya malas.

Jefano menoleh ke samping, menatap Jiandra dengan tersenyum miring. "Buat apa? Lagian ini kewajiban lo juga, karena gue udah bantu Raka. Raka bantuin lo—jadi gak salah kalo gue minta timbal baliknya."

"Gue gak nyuruh lo buat bantuin Kak Raka."

"Kalo gue gak bantuin dia. Raka—elo itu, mungkin sudah di ruang ICU sekarang." Jefano mendesis. "Harusnya, elo yang bilang makasih ke gue."

"Males banget."

"No problem, gue juga enggak se–pengen itu buat denger permintaan makasih dari lo." Jefano bangkit, ia menaruh tasnya dipundak sebelah kanan, yang tidak terluka.

Jiandra menatap kesal pada Jefano, cowok itu terlihat melangkah meninggalkan ruangan kesehatan. Sementara dirinya masih diam duduk di atas sofa. Tak mau lama-lama juga disini, takut ada penunggunya keluar. Setelah menyimpan kotak P3K pada tempatnya lagi, Jiandra segera bangkit dan berjalan keluar dari dalam ruang kesehatan.

"Ji!"

Jiandra terkejut. Perempuan itu menoleh pada seseorang yang baru saja mengejutkannya. "Lo ngapain, sih! Gue kaget anj—ah gue juga gak bisa lo panggil Jajijaji!"

Jefano terkekeh. "Karena gue rasa lo itu—Jijik, mangkanya lebih suka gue panggil nama depan lo—Jiandra."

"Karena muka lo juga—yang terkesan porno, jadi gue memutuskan untuk panggil No. Oke kan, No?" tanya Jiandra malas.

"Gak masalah. Wajah gue ini masih terlihat keren dan mempesona."

"Pengen muntah gue dengernya."

"Ji, lo mau pulang?"

"Gak, gue mau nginep disini."

Jefano mengangguk. "Oke, kirain mau pulang, biar sekalian sama gue. Kalo lo memutuskan buat nginep, yaudah. Gue pulang duluan, see you, Ji!"

Jefano melangkah, meninggalkan Jiandra yang tengah menghentak-hentakkan kakinya kesal. "Kenapa? Kenapa gue harus ketemu cowok macem dia?"

****

"Belajar mulu."

Jiandra menoleh, ia melihat dari ambang pintu seorang perempuan berjalan kearahnya. Lala. "Kok gak ngetok pintu dulu, sih?"

"Bahkan pintu depan lo gak ketutup, Ra." Lala duduk dipinggir kasur, sedangkan Jiandra memunggunginya menghadap meja belajarnya.

Jiandra menghela nafasnya, ia menutup layar laptop dan buku-bukunya. Perempuan itu duduk di samping Lala yang saat ini sibuk dengan handphone miliknya. Sudah biasa Lala masuk ke rumahnya sembarangan seperti ini, memang karena pintu depan rumahnya yang bisa terbuka sendiri hanya karena hembusan angin. Dan rumah Jiandra yang benar-benar sepi, hanya ada dirinya.

FinifugalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang