4. Summer & Aisyah

850 77 11
                                    

Langit angkasa ibukota tampak gelap, awan mendung berarak pelan, bergumpal-gumpal. Aisyah baru turun dari angkot, saat rintik gerimis mulai menjatuhi bumi. Langkah kakinya bergerak tergesa menuju salah satu kafe ujung gang. Dia memiliki janji temu dengan seseorang hari ini. Seseorang yang sudah lama ia rindukan, dan sangat ingin ia temui dalam empat tahun ini.

Mendorong pintu kaca, denting kecil bel di atas pintu memenuhi isi kafe bergaya vintage. Alunan musik klasik terdengar lembut. Aroma roti yang baru selesai di panggang menyatu dengan aroma bubuk kopi, menciptakan wangi manis yang khas. Rajut langkahnya kembali terjalin, bergerak lurus menuju kasir sambil sesekali menatap sekeliling —memastikan orang yang ingin ia temui sudah ada di dalam kafe atau tidak.

Sungging senyum merekah di saat mata bertemu tatap dengan orang itu, lambaian tangan heboh dari meja pojok sebelah kiri membuat Aisyah terkikik kecil. Masih saja kekanakan, pikirnya. Padahal tengah berbadan dua sekarang.

Mengambil nampan berisi pesanan dari pelayan kafe, Aisyah berjalan mendekat. Senyumnya tak lekang sampai perkataan sosok di depan membuat Aisyah melunturkan senyum. "Biar aku tebak, kamu pasti buat masalah sama Mas Aryan, 'kan?"

Dengus kesal keluar dari sela bibir sedang mata menatap wajah yang kini tengah tersenyum penuh kemenangan itu tajam. "Aisyah bahkan belum duduk, Mbak. Ish," decaknya.

Satu tangannya bergerak menggeser kursi lalu menyamankan diri duduk di atasnya. Nampan berisi satu cup Cappucino dan sepotong Cheesecake ia simpan di atas meja. "Lagipula, Mbak Aqueena tuh yang lebih sering buat masalah sama Gus Aryan."

"Sampai sekarang juga aku masih suka nyari masalah —kayak ngengoda mas Aryan buat jenguk anak kami, maybe."

Astaghfirullah.

Andai memukul orang hamil tidak mendapat sanksi pidana, mungkin pantat nampan ini sudah mendarat di atas kepala ibu hamil itu.

"Apaan sih, emak-emak," sungutnya. "Aisyah masih polos! Jangan buat otak Aisyah terkontaminasi."

"Tsk ... Ya makanya nikah, biar gak polos lagi."

"Ih, Mbak kok jadi mesum begini sih. Mentang-mentang udah nikah juga."

Aqueena hanya menaikkan bahu sebagai tanggapan, senyum jahil masih terpatri di bibir tipis wanita berdarah Eropa itu.

"Udah empat tahun gak ketemu, lo kurusan yah."

"Mbak juga, lama gak ketemu, eh udah berbadan dua aja."

"Badan tiga, eh?"

"Tiga?"

"Anak aku kembar."

"Seriusan?" Aisyah segera berpindah tempat duduk. Raut wajahnya antusias menatap perut besar Aqueena, lalu beralih menatap wajah teman seasrama-nya semasa di pesantren dulu. "Aisyah boleh pegang?"

"Boleh."

Tangan Aisyah sedikit bergetar saat menyentuh permukaan perut Aqueena dari balik gamis besar yang ia kenakan. Senyum merekah lebar di bibirnya saat merasakan pergerakan kecil di dalam sana.

Apa yang dilakukan dua bayi kembar di dalam perut ya? Apa mereka bisa berantem karena ruang gerak sempit? Ah, entahlah. Aisyah tidak tahu karena dia masih gadis.

Senyum masih terpatri di bibirnya saat kembali duduk di kursi sebelumnya. Matanya menatap Aqueena lekat, "Aisyah harap keduanya sehat. Mbak juga sehat. Udah berapa bulan usianya, omong-omong?"

"Mau masuk tujuh bulan," jawab Aqueena. Tangannya bergerak mengelus perutnya sendiri.

Takdir Allah memang indah. Aqueena tak menyangka di usia pernikahannya yang baru menginjak dua bulan, dirinya dan Aryan diberi tanggung jawab besar dengan kehadiran sang buah hati yang masih berbentuk gumpalan darah. Seiring berjalannya waktu, di pemeriksaan kelima, Aqueena kembali dibuat menuturkan kalimat syukur tak henti-hentinya. Karena bukan hanya satu, pasang suami istri muda itu diberi tanggung jawab dua sekalipun.

Aisyah [Discontinue]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang