5. Ke Jakarta

33 4 1
                                    


Aullfa baru saja pulang dari tempat kerjanya. Dia bekerja menggantikan Farhan mengurus perusahaan cabang, sementara Farhan juga memegang beberapa cabang lain yang ada di kota luar. Farhan sesekali akan pergi ke luar negeri untuk memantau secara langsung.

Aullfa mengerutkan keningnya karena tidak melihat Aziza di seluruh penjuru rumah. Di ruang keluarga semuanya berkumpul, tapi tidak dengan Aziza.

"Kemana Aziza?" tanya Aullfa sambil menatap seluruh anggota keluarganya.

"Dia diusir Ayah," jawab Ishara singkat.

Aullfa merasa salah dengar dengan ucapan Ishara. "Diusir?" tanya Aullfa sekali lagi.

"Ya, dia melakukan kesalahan besar karena merusak dokumen ayah yang sangat penting." Kali ini Sutan yang menjawab pertanyaan Aullfa.

Aullfa menepuk pipinya dua kali, dia merasa seperti apa yang dikatakan Sutan tidak nyata. Hei, diusir? Aziza diusir oleh Sutan, sungguh sangat tidak dapat Aullfa percayai.

"Bohong."

"Itu benar, Aull." Farhan ikut berbicara.

"Apa kau mendadak bodoh, Ayah?"

Aullfa memandang datar semua anggota keluarganya. "Apa kalian tidak bisa menghentikan si bodoh ini untuk mengusir anaknya sendiri?" tanya Aullfa dengan suara datar.

"Bodoh kalian semua!"

"Perhatikan sopan santunmu, Aull." Sutan juga berucap tak kalah datar pada Aullfa. Walaupun dia mengakui kalau dirinya telah salah, tapi dia tidak ingin anaknya sendiri menghina dirinya.

"Apa Ayah tidak berpikir bagaimana Aziza bertahan di luar sana? Bagaimana kalau dia disakiti orang lain. Ayah sendiri taukan kalau dia itu lemah!" Aullfa berbicara dengan suara yang menggebu-gebu, emosinya sudah mulai naik.

"Walaupun dia salah, Ayah tidak seharusnya mengusirnya. She is your daughter." Aullfa mengepalkan kedua tangannya, dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Sutan. Bagaimana Ayahnya bisa menjadi bodoh seperti itu? Pikir Aullfa.

"Tenang saja, dia akan kembali dengan sendirinya, dan akan mengakui kesalahannya sendiri," ucap Farhan dengan santai.

Aullfa menatap Farhan sinis. "Apa kau pikir seseorang yang buta arah akut, bisa pulang dengan sendirinya tanpa dijemput?" Dia menaikkan sebelah alisnya, tatapannya semakin datar.

Kekacauan jelas terjadi di kediaman Ghifari, sementara di tempat Aziza, dia sedang tidur di kasurnya yang empuk. Aziza memilih menginap di hotel dekat dengan bandara, agar Dhea bisa dengan mudah menjemputnya.

Keesokan harinya Aziza sudah bersiap-siap menunggu Dhea datang ke kamar hotelnya. Ternyata Dhea sampai pada siang hari, dia bahkan tidak membawa apapun kecuali ponsel, karena tujuannya hanya menjemput Aziza.

"Sudah siap, Bos?"

Aziza menyentil jidat Dhea gemas. "Sudah berapa kali aku bilang, jangan panggil bos. Mau ku pecat beneran kamu?" tanya Aziza sambil mengancam.

Dhea cengengesan tidak jelas, lalu membantu Aziza membawa koper. "Yakan lo yang bayar gue, Zi. Masa gue manggil lo kayak manggil temen akrab?" Dhea merasa tidak enak.

"Gak papa, lagian kita seumuran kan? Oh iya, aku juga mau satu sekolah sama kamu. Jadi Dhe, aku akan merepotkanmu setiap saat, tidak papa kan?" Mereka berdua berbicara sambil berjalan ke luar ke lobby hotel, Aziza juga sudah menyelesaikan pembayaran.

Dhea yang mendengar itu tersenyum tipis. "Gak papa, gue suka direpotin," ucap Dhea santai.

Aziza sudah membeli dua tiket pesawat untuk ke Jakarta. Mereka menunggu keberangkatan pesawat yang akan berangkat satu jam lagi. Sembari menunggu, Aziza dan Dhea mencari camilan terlebih dahulu untuk di pesawat.

"Oh iya Zi, nanti lo daftar sendiri aja lah ya. Gue cuman bisa anterin ke ruang TU. Nanti lo tunggu aja gue pulang sekolah, takutnya lo nyasar," jelas Dhea, Aziza hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.
.
.
.

"Lo mau tinggal di mana?"

Akhirnya Aziza dan Dhea telah sampai di Jakarta. Aziza tampak berpikir mendengar pertanyaan yang Dhea lontarkan.

"Emm, kontrakan aja deh. Deket sekolah ada kontrakan bagus kan?" Aziza menyebutkan pilihannya.

"Ada banyak, lengkap sama perabotannya. Ayo ikut gue." Tanpa berlama-lama, Dhea menarik tangan Aziza untuk segera pergi ke kontrakan yang Dhea maksud. Mereka mereka memilih naik taksi untuk pergi ke sana.

"Lo selama adaptasi di sini, jangan pernah pergi sendirian. Takut lo hilang dan gak bisa gue temui, bisa habis gue sama keluarga lo." Dhea sudah memberikan peringatan pada Aziza.

"Iya, lagian mereka sendiri yang usir gue. Mana mungkin mereka peduli lagi." Aziza menatap ke arah lain.

"Mereka gak mungkin lepasin lo gitu aja, Zi. Gausah polos banget lah jadi orang."

"Emang gue polos?"

"Iya!"

Dhea mendadak gemas dengan Aziza. Dia jadi khawatir pada gadis itu dan merasa bersalah karena membawanya jauh dari tempat tinggalnya. Dia tau Aziza anak yang lemah dan sangat phobia pada gelap, bagaimana cara gadis itu bertahan sendirian? Tidak tidak, Aziza tidak bisa dibiarkan sendirian.

"Besok kamu jangan sekolah dulu ya? Bantuin aku beli barang-barang lain yang aku butuhin." Aziza menarik-narik ujung pakaian Dhea.

"Kalo gini ya gue gak bisa nolak. Oh iya, surat keterangan pindah lo gimana?" tanya Dhea.

"Besok aku suruh orang ambil dan antar ke mari. Yang lain-lain udah aku siapin," jelas Aziza.

"Okedeh."

Waktu berlalu dengan cepat, kini Aziza datang ke sekolah bernama "SMK Json" bersama Dhea yang rapi dengan seragam sekolahnya. Beberapa orang memandang mereka berdua yang berjalan beriringan, karena Aziza tidak menggunakan pakaian sekolah, dia saja belum mendaftar.

"Nah, ini ruang TU-nya. Masuk aja." Dhea sudah mengantarkan Aziza sampai ke ruang TU, tempat untuk mendaftarkan diri.

"Oke, makasih ya, Dhe. Kalau gitu aku masuk dulu." Aziza berpamitan kepada Dhea.

"Yaudah deh, gue mau ke kelas, udah mau masuk." Lalu Dhea meninggalkan Aziza.

Aziza masuk ke dalam ruang TU. Di dalam sudah ada guru yang mengurus administrasi. Melihat kedatangan Aziza, guru itu mengalihkan pandangannya dari komputer.

"Kenapa guru-guru di TU, kebanyakan tatapannya datar banget?" Aziza bertanya-tanya dalam hati.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya guru itu.

"Itu, saya mau daftar, Bu." Aziza langsung menunjukkan berkas-berkas untuk pendaftaran.

Guru itu langsung mengurus kertas-kertas yang Aziza bawa. Dia memeriksanya satu-satu. "Wali kamu mana?" tanya guru itu.

"Gak ada, Bu."

"Oke, tidak papa. Berkas-berkasmu sudah lengkap, pakai tanda tangan sendiri saja nanti." Guru itu masih memfokuskan dirinya ke biodata Aziza. "Jadi kamu pindahan dari Medan?" tanya guru itu lagi.

"Iya Bu."

"Jadi ... mau masuk jurusan apa? Kamu bisa baca dulu brosur ini." Guru itu memberikan satu lembar brosur pendaftaran, Aziza langsung membacanya.

Aziza membaca kata demi kata yang tertera di dalam brosur itu. Sesekali keningnya mengerut ataupun kepalanya mengangguk. Tak lama kemudian Aziza sudah selesai membacanya.

"Gak ada jurusan RPL ya, Bu?"

Mendengar pertanyaan Aziza, sontak guru itu mengalihkan pandangannya langsung menatap Aziza. Dia terlihat sedikit terkejut, lalu berdehem singkat.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanya guru itu.

"Nama sekolah ini kan SMK Json. Saya kira, nama sekolah ngambil dari JavaScript Object Notation," jelas Aziza dengan santai.

"Ada kok. Jadi, kamu mau masuk RPL?" tanya guru itu sekali lagi, tatapannya terlihat tidak yakin.

Bersambung....

Programmer Buta ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang