22. Menjadi Teman?

27 3 0
                                    


Saat ini semua peserta seleksi gelombang satu sangat fokus menatap layar komputer, termasuk Aziza. Tes kali ini sangat mudah menurut Aziza, mereka hanya diminta membuat objek bergerak ke kanan dan ke kiri, lalu melompat. Mereka hanya diberi waktu satu jam untuk membuatnya.

"Selesai!"

Tapi Aziza sudah selesai hanya dalam waktu dua puluh menit. Dia langsung berdiri mengangkat tangannya untuk menunjukkan kalau dia sudah selesai.

Beberapa detik berikutnya, disusul oleh teman-teman sekelasnya yang lain. Mereka selesai dalam waktu bersamaan, membuat peserta lain melongo tidak percaya.

"Wah, hebat sekali anak-anak Bapak ini. Padahal Bapak belum ngajarin materi ini ke kalian loh, kok kalian lancar banget?" Pak Danu sampai terheran-heran dibuat anak-anak muridnya sendiri.

"Ayo yang lain jangan mau kalah, waktunya masih ada 40 menit lagi. Penilaian akan dilakukan hari ini juga bersama guru produktif yang lain," ucap pak Danu sambil melihat jam yang melingkar di tangannya.

"Yang udah selesai boleh keluar, nanti bapak umumin siapa-siapa aja yang lolos ke seleksi kedua. Nanti akan ada sepuluh orang terpilih," ucap pak Danu pada anak-anak sebelas RPL.

Mereka langsung keluar dari lab komputer A ke kelas mereka. Aziza merasa senang karena dia bisa menyelesaikan seleksi pertama semudah itu.

"Kirain bakal susah banget, ternyata gitu doang," gumam Aziza sambil berjalan ke arah kantin, karena memang sudah waktunya jam istirahat.

Tiba-tiba seseorang menarik pergelangan tangannya, dia tak lain adalah Zayan. Zayan dengan santainya menggandeng tangan Aziza dan mereka berjalan berdua ke arah kantin.

"Ih apa-apaan, aku gak suka ya dipegang-pegang cowo." Aziza ingin menarik tangannya kembali, tapi tidak bisa, karena Zayan menggenggam sangat erat.

"Udah diem, nurut aja. Gue gak suka lo diliatin cowok lain," ucap Zayan dengan nada datar seperti biasanya. Tatapannya juga tetap datar.

"Lah, emang kamu siapanya aku?" tanya Aziza dengan ekspresi bingung.

"Lo temen gue," jawab Zayan santai.

"Emang kita temenan?" Aziza sedikit terkejut mendengar jawaban itu. Perasaan Zayan tidak pernah menunjukkan tanda-tanda kalau mereka berteman.

"Mulai sekarang kita temenan," ucap Zayan lagi. "Udah lo gausah bawel, diem aja," lanjut Zayan.

Sesampainya mereka di kantin, mata Aziza langsung mencari di mana Dhea. Ternyata Dhea sudah duduk bersama teman-temannya yang lain di sudut kantin.

"Dhea!"

Tanpa sadar genggaman Zayan terlepas. Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berjalan cepat menyusul Aziza. Ya, Zayan ikut duduk bersama teman-teman Aziza yang lain.

"Zi, cepet banget lo selesai," tanya Dhea sambil menggeser tubuhnya untuk memberikan Aziza akses duduk.

"Iya, orang gampang banget tesnya. Sat set sat set, siap." Aziza berucap dengan santai.

"Wih, gak salah emang bos gue ini pinter pake banget." Dhea menepuk-nepuk pundak Aziza.

Lalu dia menyadari sesuatu, dia menatap ke arah Zayan dan dia sedikit terkejut. Sejak kapan laki-laki itu sudah berada di kantin? Kenapa dia tidak melihatnya? Pada pikir Dhea.

"Zi, lo ngajak dia?" Dhea berbisik kepada Aziza.

"Enggak, dia aja yang tiba-tiba ikut. Mana pake acara narik tangan aku lagi." Aziza juga berbisik ke arah Dhea.

Dhea mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan Aziza. Lalu Dhea menatap ke arah Zayan. "Eh, lo ngapain di sini? Pergi sana ke temen-temen lo itu," ucap Dhea mengusir Zayan.

"Gue gak mau tuh." Dengan santainya Zayan malah duduk di samping Aziza. Dia menampilkan raut wajah tidak berdosa.

Dhea seketika merasa kesal dengan jawaban Zayan yang terkesan santai. "Gue gak suka lo ada di sini, mending lo pergi aja," ucap Dhea mengusir sekali lagi.

"Udah Dhe, gak papa." Aziza menyentuh tangan Dhea, lalu di detik berikutnya dia menatap Zayan. "Kamu udah pesen makan? Kalo belum pesenin aku juga, ya?" pinta Aziza kepada Zayan.

Tanpa orang lain sadar, Zayan tersenyum tipis. "Belum, gue mau pesen mie ayam. Lo mau apa?" tanya Zayan.

"Samain aja deh."

"Oke."

Setelah itu Zayan berlalu dari hadapan Aziza menuju stan makanan. Dhea melihat Zayan berjalan dengan pandangan sinis. Sepertinya Dhea punya dendam pribadi pada Zayan.
.
.
.

"Kau mau lari kemana?"

Seorang pria dengan tubuh tinggi kekar menahan pergelangan tangan seorang pemuda berkacamata dengan sangat kuat. Pemuda itu memberontak berusaha melepaskan diri, tapi rasanya pemberontakan dia sia-sia.

"Lepaskan saya, saya ingin pergi dari tempat ini. Kalian semua jahat, kalian penipu, kalian penculik. Saya gak mau lagi ngelakuin pekerjaan kotor ini hanya untuk memperkaya kalian." Laki-laki berkacamata itu menatap penuh dendam kepada pria yang menahannya.

Pria bertubuh tinggi itu tertawa jahat. "Kalian gak ada bisa kabur dari tempat ini sampai kapanpun itu. Sekali kalian masuk, kalian gak akan bisa keluar, untuk sekarang ataupun nanti." Lalu pria itu menyeret pemuda berkacamata itu dengan kasar, seperti menyeret hewan.

Pemuda berkacamata itu tertawa kecil. "Oh iya, yakin sekali kau dengan ucapan tadi. Tuhan bersama kami, orang jahat pasti akan kalah." Pemuda itu tersenyum mengejek.

"Orang jahat memang akan kalah, tapi kami gak akan kalah." Pria itu juga menampilkan senyum mengejek.

Pemuda berkacamata itu adalah seseorang yang diculik, kemudian dipaksa bekerja dibawah sesuatu perusahaan untuk memperkaya perusahaan itu. Perusahaan itu sangat licik dan sangat jahat. Bukan hanya pemuda itu, tapi ada banyak ratusan yang sepertinya dengan nasib yang sama.

Mereka dipaksa terus bekerja dan hanya diberikan makan dan tempat tinggal. Diawasi begitu banyak penjaga, sehingga mereka tidak bisa kabur kemanapun.

Pekerjaan itu memang tidak memakai tenaga, tapi itu cukup menguras energi dan membuat tekanan batin. Mereka terus bertahan dan berharap ada seseorang yang datang menolong mereka semua untuk keluar dari tempat itu dan kembali ke keluarga mereka masing-masing.

Termasuk pemuda berkacamata itu. Dia sudah sangat lama meninggalkan keluarganya tanpa tau bagaimana kabar mereka. Setiap harinya dia hanya sibuk memikirkan bagaimana caranya keluar dari tempat itu.

"Suatu saat pasti ada orang yang menyelamatkan kami semua. Saya yakin itu!" ucap Pemuda itu lantang.

Pria bertubuh tinggi itu lantas memberhentikan langkahnya dan berbalik menatap pemuda itu. Dia tertawa terbahak-bahak.

"Yakin sekali kau, itu tidak akan pernah terjadi," ucap Pria itu.

"Itu pasti terjadi, dan itu akan terjadi sebentar lagi." Tidak ada raut wajah ketakutan yang pemuda itu tampilkan.

"Ya, teruslah berharap." Pria itu menarik lagi pemuda itu dengan kasar untuk kembali ke ruangan tempat pemuda itu disekap.

Pemuda itu akan terus berharap dan dia akan tetap bertahan sampai benar-benar ada seseorang yang menolong mereka. Dia percaya pasti ada.

Bersambung....

Programmer Buta ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang