15. Sebuah Konsep

27 3 0
                                    


"Jika nol lebih besar dari delapan belas, maka hasilnya dewasa. Jika nol lebih kecil dari delapan belas, maka hasilnya di bawah umur." Aziza mengetikkan kode-kode di komputernya, dia sedang menyelesaikan sesuatu.

"Nah, gini ya, Ga. Kalau yang mengakses anak di bawah umur, maka otomatis rekomendasi cerita-cerita remaja biasa. Tapi kalau yang mengakses umur delapan belas ke atas, bisa rekomendasikan cerita-cerita dewasa." Aziza menjelaskan konsep dari aplikasi yang akan mereka buat. Mereka ingin membuat aplikasi membaca novel untuk di taruh ke playst*ore agar mereka mendapat penghasilan tambahan.

"Oh oke, berarti itu nyambung juga ke log-in dong. Atau gak konsep log-in masuk ke database sesuai umur atau gimana? Berarti dijadikan dua dong ya, biar gak kecampur."

Seseorang bernama Arga berbicara kepada Aziza lewat telepon. Mereka berdua sedang membahas konsep aplikasi yang akan mereka buat. Aziza bagian coding-an, sedangkan Arga bagian database, dan satu orang lagi bernama Reza bagian desain tampilan aplikasi.

"Iya dong, kalo dicampur nanti, kode-kode yang aku ketik gak masuk ntar. Jadi malah percuma kan," jelas Aziza.

"Oh iya Za, ketik juga sensor otomatis kata-kata kasar yang author-author tulis nanti. Biar mereka gak seenaknya kalo ngetik, apalagi yang author di bawah umur."

Erga menyarankan salah satu idenya untuk konsep aplikasi mereka. Sama seperti salah satu sosial media yang bisa menyensor kata-kata kasar atau bahkan memberikan peringatan bagi yang melakukan.

"Gimana kalau setiap Minggu rangking tagar berubah. Ya biar author-author baru juga bisa masuk rangking tagar. Banyak aplikasi yang hanya mengunggulkan author terkenal aja, author-author gak terkenal tersingkirkan gitu aja." Aziza meminta pendapat dari Arga.

"Boleh tuh, tapi makin ribet gak sih?"

"Gak papa, kamu urus aja databasenya. Masalah hosting, nanti kita pikirkan kalau aplikasinya udah selesai." Aziza kembali menatap komputernya dengan raut wajah serius.

"Hosting, di web hostingID murah biaya sewanya, coba kamu sewa di situ aja."

Aziza tampak berpikir atas saran Arga, lalu Aziza langsung mengecek website yang dimaksud. Ternyata benar yang diucapkan Arga, di website itu lebih murah dari harga kebanyakan. "Murah sih, tapi aku cek testimoni orang lain juga lah ya. Takutnya gak kenceng, kita yang repot," ucap Aziza.

"Okedeh, yang mana bagusnya lah."

"Nanti kalo dirasa udah oke, aku bakal sewa hosting langsung. Biar langsung bisa kita uji coba aplikasinya. Tadinya sih aku mau jadikan web, tapi jadikan aplikasi kayaknya menari. Gimana?" Aziza meminta pendapat lagi.

"Aplikasi aja, terus kita promosikan di web kita yang lain. Website jual beli gambar kita itu, lumayan ramai."

Aziza mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda setuju dengan apa yang Arga ucapkan. "Kamu emang yang terbaik, okedeh thanks saran ya. Semoga kita berhasil."

Setelah itu Aziza langsung menutup telpon mereka, dia mulai fokus kembali pada komputernya. "Nah, tampilan beranda udah oke, lanjut ke perpustakaan deh," human Aziza.

Ketika Aziza lagi fokus pada coding-an, ponselnya berbunyi menandakan pesan masuk. Aziza langsung mengalihkan pandangan ke arah ponsel, ternyata Dhea yang mengirimkan pesan padanya.

"Zi, hari ini ada 50 orderan. Udah gue close kok."

Begitulah isi pesan dari Dhea. Tanpa berlama-lama, Aziza langsung membuka informasi berapa orderan yang masuk. Ternyata sudah ada 25 orderan yang diambil teman-temannya, dan ada 25 lagi masih ada di antrian.

Ponsel Aziza berbunyi kembali, Dhea mengirimkan pesan lagi padanya yang berisi, "gue tau lo lagi ada projek. Biar gue aja yang sketsa, lo tinggal warnai aja. Yang lain juga ada yang warnai sama lining. Lo tenang aja."

Aziza tersenyum membaca pesan itu. Mereka semua memang sangat bisa dia andalkan, seperti Aziza harus menaikkan gaji mereka, apalagi akhir-akhir ini sangat banyak orang dermawan yang memberikannya tip tidak kira-kira.

"Gaji kalian aku tambah sepuluh dollar." Aziza mengirimkan pesan ke grup tim ilustratornya.

Waktu 3 hari sudah cukup untuk menyelesaikan 50 orderan. Tiga hari sekali mereka akan open order, limitnya mencapai 50, sesuai dengan kemampuan mereka mereka sekarang.

Aziza meregangkan tubuhnya, bersiap untuk memulai pekerjaannya yang sudah menumpuk banyak. "Fiuh, begadang lagi deh ini. Ayo semangat Aziza." Dia menyemangati dirinya sendiri.
.
.
.

RR Games, adalah perusahaan pembuat game terbesar di Indonesia. Banyak sekali game-game populer yang mereka keluarkan. Game platform, game konsol, maupun game android ataupun PC.

Awalnya mereka hanya bergerak di bidang game, tapi sekarang mereka juga mulai membuat website ataupun aplikasi yang berguna untuk masyarakat luas. Mereka juga menerima jasa sistem pengamanan untuk sebuah perusahaan.

Hebat sekali bukan? Padahal karyawan RR games tidak sebanyak karyawan perusahaan-perusahaan besar lainnya. Mereka hanya berjumlah ratusan, tapi mereka bisa membuat banyak sekali perangkat lunak yang berguna setiap tahunnya.

Perusahaan sendiri software lain, tidak bisa mengalahkan perusahaan RR games. Mereka sangat hebat, bahkan hanya dengan karyawan yang sedikit. Tidak sembarang orang bisa bekerja di perusahaan ini.

Mereka juga yang mengadakan kompetisi besar-besaran setiap tahunnya. Yaitu kompetisi antar programmer Nasional, yang hadiahnya bukan main banyaknya.

Setiap tahunnya, anak sekolahan maupun mahasiswa sangat berkeinginan untuk dapat lolos mewakili kota mereka masing-masing. Begitu juga dengan Aziza, dia sangat ingin untuk lolos dan mewakili kota tempat dia tinggal sekarang.

"Waw, hebat juga mereka. Kenapa aku baru tau ada perusahaan pendiri software seperti RR games?" Aziza membaca-baca artikel yang ada di internet. Jiwa kekepoan Aziza meronta-ronta.

"Ya lo aja yang mainnya kurang jauh." Dhea menatap Aziza dengan ekor matanya, dia sedang fokus pada tugas sekolahnya yang sudah menumpuk tidak dikerjakan.

"Yakan aku emang gak bisa main jauh-jauh, lagian ya aku gak perduli juga." Aziza melanjutkan aktivitas membacanya. Dia tidak henti-hentinya kagum atas pencapaian dari perusahaan RR Games.

"Wah, ternyata mereka pencipta game battlefield yang lagi terkenal itu. Aku juga main game-nya, njir." Aziza terlihat sangat antusias.

"Harga game-nya mahal, tapi keren parah asli."

Dhea menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Aziza seperti anak kecil. Aziza memang sangat suka bermain game, Dhea malas menghadapi Aziza yang mulai toxic karena kesal dengan gameplay-nya sendiri.

"Kan kan, mulai," sindir Dhea. "Mending lo bantuin gue ngerjain tugas nih," ucap Dhea sambil menyodorkan bukunya.

Aziza menatap sinis Dhea. "Kerjain sendiri, gausah manja."

"Yaelah, pelit amat sih lo. Gue udah pusing nih kenapa daritadi gak balance, capek gue."  Dhea memijat pelipisnya.

"Kamu aja gak bisa, apalagi aku?"

"Hadeh."

Bersambung....

Programmer Buta ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang