Mengetahui bahwa puteri bungsunya mendapatkan perundungan bahkan dari para pelayannya sendiri, Raja Arthur tampaknya telah marah akan hal itu. Pagi-pagi buta, Carl si Penasihat berkunjung ke kediaman sang raja. Tidak sendirian, pria baya itu datang bersama Jun dan bahkan Puteri Arteta.
Begitu pintu utama kediaman raja terbuka, hal pertama yang terlihat ialah wajah keruh sang raja. Ruangan yang selalu tampak rapi kini tak ubahnya kapal karam yang baru saja menabrak batu karang. Jelas bahwa Raja Arthur teramat sangat marah.
"Yang Mulia!" Carl menunduk di hadapan raja, tidak terkecuali Jun dan Puteri Arteta. Keduanya sama-sama memberi salam.
Raja Arthur lekas berbalik dengan wajah keruh. "Apa kalian semua sudah tahu bahwa Puteri Arona telah mendapat perundungan bahkan di istana?" tanya sang raja. Menyadari bahwa tak satupun dari ketiga orang di hadapannya memberi jawaban, raja Arthur lekas mendengkus keras. "Melihat respon kalian, sudah pasti masalah ini bukan hal baru."
Sementara di satu sisi, Puteri Arteta yang dingin mulai angkat suara, "Yang Mulia, justru saya yang terkejut bahwa Anda sama sekali tidak menyadari hal ini." Manik gadis berusia 7 tahun itu menyipit menatap raja. "Bukankah Anda yang paling tahu bahwa hal ini tentu akan terjadi di masa depan? Jadi, mengapa begitu heran?"
"Puteri Arteta!"
Rahang Raja Arthur mengeras. Meski marah, tetapi dia mulai menyadari bahwa puteri sulungnya itu berkata benar. Ya, semua ini terjadi kerena kesalahannya.
"Lalu, untuk apa Yang Mulia memanggil saya?" Puteri Arteta bertanya, meski dia sudah bisa menebak masalah utamanya. "Kalau Anda ingin menuduh saya sebagai pemimpin dari perundungan itu, Anda salah."
Raja Arthur memijat keningnya lalu kemudian duduk. "Aku tidak menuduhmu. Sama sekali tidak," ujarnya lirih. Tatapan pria baya itu kemudian beralih ke arah Jun dan Carl. "Sebaliknya, aku membutuhkan Jun."
Kening sang puteri berkerut. "Jun? Dia pun tidak ada kaitannya dengan hal ini."
"Tidak, aku bukan menuduhnya, tetapi sebaliknya aku ingin dia menjadi pengawal pribadi Arona."
Mendengar hal itu, tidak hanya sang puteri yang terkejut, tetapi Jun dan bahkan Carl pun menampilkan raut wajah serupa.
"Yang Mulai, tetapi saya sudah menjadi pengawal pribadi Puteri Arteta." Cepat-cepat Jun mengingatkan posisinya kalau saja sang raja melupakannya.
"Aku tahu, Jun. Justru karena itu kamu, aku ingin tugas itu beralih untuk Arona. Dia sama sekali tidak memiliki teman, bukan? Kurasa kau bisa menjadi teman sekaligus pengawalnya."
"Yang Mulia," kalimat Jun tertahan di bibir. Dia melirik Puteri Arteta tetapi anehnya gadis itu sama sekali tidak menunjukkan emosi selain raut wajah terkejutnya di awal.
"Lalu bagaimana dengan Puteri Arteta, Yang Mulia?" Carl yang semula terdiam akhirnya angkat suara. Sejujurnya, dia adalah paman Puteri Arteta sekaligus pria yang merekomendasikan Jun untuk berada di sisi sang puteri.
"Aku sudah memikirkannya, jangan khawatir. Karena posisinya saat ini sudah menduduki kursi Putri Mahkota, maka yang akan mengawalnya adalah kesatria yang lebih berpengalaman." Raja Arthur melirik puterinya. "Bagaimana menurutmu, Puteri?"
Namun, Jun adalah orang pertama yang paling terkejut mendengar jawaban Puteri Arteta. "Tentu, saya tidak keberatan."
***
Sejatinya, Jun adalah anak lelaki rupawan yang tenang dan seringkali menyembunyikan emosi. Tetapi, entah mengapa hari ini dia benar-benar tidak bisa mengontrol luapan di benaknya. Rasa-rasanya dia ingin meneriaki gadis kecil bagai boneka yang beberapa langkah berjalan di hadapannya, atau bahkan menariknya untuk berbalik melihatnya.
Beberapa menit lalu Raja Arthur telah mengizinkan mereka meninggalkan kediamannya, dan tetap pada keputusan akhir bahwa mulai detik ini Jun akan menjadi pengawal Puteri Arona. Itu berarti Jun harus berpisah dari gadis yang dia sukai—Puteri Arteta.
Menyadari bahwa lorong istana yang mereka lalui mulai sepi, Jun tidak membuang kesempatan lantas menarik sang puteri ke sudut tergelap sembari memojokkannya di sana. Kendati demikian, Puteri Arteta bahkan tidak menunjukkan reaksi berarti. Gadis kecil itu sangat-sangat tenang.
"Arteta, katakan alasan logis mengapa aku harus pergi dari sisimu? Mengapa kau tidak mempertahankanku seperti yang selalu kau lakukan selama ini? Mengapa aku harus menjaga gadis yang sangat kau benci itu?! Mengapa?!" Jun benar-benar meluapkan isi hatinya.
Puteri Arteta mendongak lalu menatap Jun yang terlihat frustasi. "Jun, tenanglah, ini sama sekali bukan dirimu," kata sang puteri. "Dengar, apa kau pikir aku akan menyerahkanmu kepada gadis kotor itu? Tidak! Tetapi pikirkan baik-baik, bukankah ini kesempatan?"
Kening Jun berkerut. "Apa maksudnya?"
"Aku ingin kau mendekati Arona. Cari tahu tentangnya dan awasi setiap pergerakannya."
"Kau ingin aku menjadi mata-matamu?" tebak Jun, sementara Puteri Arteta mengangguk.
"Saat ini dia mungkin belum punya kuasa dan lemah. Tetapi, bagaimana dengan beberapa tahun ke depan? Meski tidak ada yang menyukainya, tetapi bagaimanapun dia juga seorang Puteri. Bagaimana jika dia mengambil hakku sebagai Puteri Mahkota?!"
Jun memeluk tubuh kecil itu sembari menggeleng. "Aku tidak akan membiarkannya. Dia bukan siapa-siapa. Akan aku lakukan apapun untukmu."
***
Bagi Puteri Arona, tidak pernah ada yang benar-benar menarik perhatiannya selain ayahnya, bahkan jika dia berada di kamar mewah dan menarik saat ini. Seolah, megah dan luasnya ruangan ini adalah gambaran indah dari rasa kesepian yang dia jalani selama enam tahun terakhir hidupnya. Rasa-rasanya dia terlalu kecil untuk itu.
Kendati hanya sang raja yang mendukungnya, tetapi pria baya itu tidak lebih sering berkunjung untuk melihatnya. Raja Arthur menyayanginya, tetapi di satu sisi seolah mengasingkannya. Akan tetapi, Puteri Arona harus berpuas diri, tidak setelah dia tahu bagaimana kisah di balik kelahirannya. Mungkin justru yang paling terluka adalah Puteri Arteta dan mendiang Ratu Arte.
Ya, sang ratu meninggal setelah mendapatkan begitu banyak tekanan batin hingga enggan mengurus diri. Rasa sakit hatinya seolah tidak akan pernah bisa sembuh hanya dengan eksekusi Elena, simpanan suaminya sendiri, atau bahkan jika Raja Arthur bersimpuh meminta maaf kepadanya.
Orang yang paling ratu kasihi telah mengkhianatinya.
Lamunan Puteri Arona buyar ketika mendengar ketukan berulang dari arah luar kamar. Sedikit terkejut mengingat sebelumnya para pelayan yang mengurusnya tidak pernah mengetuk pintu hanya untuk memasuki kamarnya. Jadi, gema tersebut seolah menjadi hal baru baginya.
"Selamat pagi, Puteri Arona."
Itu adalah sapaan yang sopan dari seorang anak laki-laki yang Arona ketahui sebagai teman sekaligus pengawal Puteri Arteta. Lalu, apa gerangan yang membawa anak lelaki tampan itu hingga harus berdiri di depan kamarnya sesaat setelah dia membuka pintu?
Sedikit menunduk, Puteri Arona berucap, "Apa aku melakukan kesalahan pada Puteri Arteta hingga kau mendatangiku?"
"Tidak, Puteri," Jun menjawab cepat meski raut wajahnya benar-benar terlihat datar. "Sebaliknya, saya datang kemari untuk menjaga Anda."
"Aku tidak mengerti? Mengapa kau harus menjagaku?"
"Karena Raja telah menetapkan, mulai detik ini saya akan menjadi pengawal Anda."
Dan itu adalah pertemuan pertama mereka sebagai tuan puteri dan pengawalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Puteri dan Pengawalnya (CERPEN END)
Short StoryKisah cinta antara sang puteri dan pengawalnya