Sepanjang perjalanan menuju kastil kuno, Puteri Arona benar-benar berharap bisa tepat waktu sebelum prajurit kerajaan tiba lebih dulu. Di saat yang sama, dia mengkhawatirkan Puteri Arteta yang mungkin saja telah mendapatkan perlakuan buruk sebelum terbunuh. Pada akhirnya, pihak kerajaan hanya bertaruh pada waktu dan keberuntungan.
Sementara itu, ketika Luc bersama Puteri Arona nyaris meninggalkan perbatasan Kerajaan Rea, siapa menduga di saat yang sama Jun muncul dengan kudanya. Begitu menjelaskan situasi pelik yang tengah terjadi, Jun memilih bergabung guna menyelamatkan Puteri Arteta.
"Seharusnya Anda tetap berada di istana. Biarkan para ksatria dan prajurit kerajaan yang melakukan tugas ini."
Jun terdengar tak senang saat mengutarakan kalimatnya. Sementara Puteri Arona yang duduk memunggunginya, tepat di atas kuda yang sama dengannya, hanya bisa terdiam bisu. Jujur saja, gadis itu mendadak merasa malu setelah teringat peristiwa manis yang terjadi saat berada di camp para pembelot.
Menyadari bahwa sang puteri tak kunjung membalas, sebelah tangan Jun yang bebas tanpa segan meraih dagu puteri Arona, hanya untuk membuat kepala sang puteri mendongak sehingga tatapan mereka bertemu.
"Jun—"
"Apa Anda baru saja mengabaikan kecemasan saya, Puteri? Dan lagi, mengapa wajah Anda begitu merah?"
Buru-buru gadis itu menggeleng meski dalam posisi yang sama, sementara tampaknya Jun pun enggan mengubah postur mereka. Sebaliknya, pria itu tampak menikmati perubahan mimik wajah Puteri Arona yang seringkali tersipu malu.
Sial! Bukan saatnya merasa senang! pikir Puteri Arona.
Begitu bulan di langit membiaskan cahayanya yang agung sebagai pertanda malam kian larut, kelompok Puteri Arona yang telah melakukan perjalanan panjang akhirnya tiba. Beberapa meter di depan, bangunan kastil yang telah dipenuhi para pasukan pembelot tampak berbaris rapi seolah menunggu waktu eksekusi yang tepat.
Menyadari bahwa mereka butuh rencana untuk menerobos pasukan tersebut, kelompok Puteri Arona memilih menepi di pepohonan rimbun guna mengamati situasi sebelum memilih bergerak. Tetapi, ketika Jun menyadari tiang besar yang berdiri di tengah-tengah pasukan pembelot adalah tiang gantung sementara di sana Puteri Arteta tengah terikat, Jun jelas tidak bisa menahan amarah.
Tanpa membuang waktu, pria itu menyerang barisan depan pasukan pembelot dan menumbangkan mereka satu demi satu tanpa halangan berarti. Di sisi lain, Puteri Arona juga mulai bergerak. Di tengah keributan yang lagi-lagi terjadi karena Jun, sang puteri bergerak menaiki panggung tiang gantung, berniat mengurai tali yang mengikat saudarinya.
"Sudah kuduga kau akan dengan mudah mengalahkan para rongsokan ini."
Jun lekas menoleh, sementara rahangnya mengeras saat mendapati Brown berdiri di hadapannya. Pria itu terlihat menyayangkan beberapa bawahan yang terlalu lemah dan memuji kepiawaian Jun dalam menggunakan pedang.
"Brown, mengapa kau melakukan ini?" Jun bertanya, dia berharap mendapatkan jawaban yang lebih baik selain kata pengkhianat. Namun itu hanya angan lalu yang tidak akan pernah terwujud.
"Sejak awal kita bukan teman, Jun. Sosok Brown yang kau kenal sudah tidak ada lagi." Pria itu menunjuk dadanya sendiri. "Inilah aku yang sesungguhnya," ujarnya sembari tersenyum mengejek.
Raut wajah Jun berubah semakin kaku. Dia berkata dingin, "Kalau begitu aku tidak akan berbaik hati lagi. Kau harus membayar pengkhianatan ini dengan nyawamu."
Detik yang sama, pertarungan di antara kedua pria itu pecah hingga menimbulkan cukup banyak kerusakan. Bahkan beberapa pasukan musuh yang tidak cukup kuat terpental menjauh dari arena pertarungan, ketika Jun mengeluarkan barrier andalannya.
Sementara Jun beradu kekuatan dengan Brown, di satu sisi, Luc pun melakukan pertarungannya sendiri dengan memanipulasi pola pikir pasukan pembelot yang mulai goyah setelah mengetahui bahwa salah satu pimpinan mereka—Derek—telah ditumbangkan. Cukup banyak yang bisa dia ajak untuk menyerah sehingga pasukan musuh hanya tersisa setengah dari formasi awal. Kemampuan pria itu cukup menguntungkan.
Lalu di posisi Puteri Arona, meski mengalami hambatan ketika hendak menaiki panggung eksekusi, tetapi pada akhirnya gadis itu berhasil tiba di depan Puteri Arteta tepat waktu. Tatapan mereka segera bertemu. Suasana mendadak terasa hening, sedang masing-masing dari bibir manis itu tidak mengucap sepatah katapun.
Cukup lama terdiam, Puteri Arona akhirnya bergerak mendekati tali pengikat Puteri Arteta guna melepasnya meski tanpa kata.
"Mengapa?"
Itu adalah kata pertama yang diutarakan Puteri Arteta ketika Puteri Arona hendak menuruni panggung eksekusi usai berhasil melepaskannya. Sementara pergerakan Puteri Arona terhenti lantaran mendengar suara tersebut, Puteri Arteta justru berjalan mendekatinya.
Namun, sepasang manik Puteri Arona melebar saat menyadari salah seorang pemanah dari arah balkon kastil berniat menargetkan saudarinya. Dia berbalik cepat, mendorong tubuh Puteri Arteta hingga terlentang di atas lantai panggung eksekusi.
"Awas!"
Jleb!
Tetapi jelas, tempo yang sedikit lambat dan arah yang berubah telah membuat target salah sasaran. Bahu Puteri Arona pun menjadi landasan akhir anak panah.
"Arona!" Entah sadar atau tidak, tetapi Puteri Arteta benar-benar berteriak memanggil nama yang selalu dibencinya. Wajahnya pun mulai pucat saat menyaksikan darah segar mengalir dari lengan Puteri Arona. Dan di saat yang sama, lidah sang puteri terasa kaku saat mencoba bersuara, "Arona, kau ...."
Tetapi Puteri Arona justru tersenyum. "Jangan melihatku seperti itu, panah ini tidak mengenai titik vital meski sedikit menyakitkan." Reaksi Puteri Arteta masih sangat syok, dia terdiam kaku. "Sebaiknya kau menemui Jun, dia sangat khawatir. Dia sungguh kuat telah mengalahkan Brown, pengawal pribadimu."
Sontak, sorot Puteri Arteta berpindah ke arah bawah dan menemukan Jun tengah tersenyum kepadanya usai menumbangkan semua pasukan pembelot. Di saat yang sama, prajurit kerajaan berbondong-bondong memasuki area musuh didampingi wajah tercengang. Pertarungan telah berakhir, dan mereka justru datang sangat terlambat. Keterlambatan itu jelas-jelas kerena keusilan Puteri Arona sebelumnya.
Kini, satu-satunya yang bisa prajurit istana lakukan hanyalah menangkap para pemberontak. Benar-benar sesuai rencana sang puteri.
"Turunlah, Jun sudah menunggu," kata Puteri Arona sekali lagi.
Menatap wajah Puteri Arona sejenak, Puteri Arteta mengangguk sekilas sebelum akhirnya bergerak turun dari panggung eksekusi. Dari atas, Puteri Arona bisa melihat bagaimana wajah Jun yang dipenuhi kelegaan serta kebahagiaan, ketika Puteri Arteta berlari ke arahnya lantas memeluknya sangat erat.
Puteri Arona membaringkan diri, lalu menatap pendar bulan di atas langit dengan mata sayu.
Bibirnya yang mulai pucat pun bergumam, "Mereka sangat serasi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Puteri dan Pengawalnya (CERPEN END)
Short StoryKisah cinta antara sang puteri dan pengawalnya