Di kamarnya, Puteri Arteta tidak bisa menahan diri sehingga tanpa sadar tubuhnya terus bergerak ke sana-kemari tanpa kejelasan. Para pelayan yang mengenal cukup baik tabiatnya yang selalu terlihat tenang, kini dibuat terheran akan tingkah sang puteri yang tidak seperti biasanya. Apa gerangan yang telah membuat wajah cantik itu menunjukkan gurat kecemasan?
Lalu ketika angin berhembus ringan dari arah jendela, manik gadis itu sedikit melebar. Detik berikutnya, tangannya terangkat membuka jendela yang semula terbuka seperempat berakhir terbuka sepenuhnya.
"Tinggalkan aku sendiri!" pintanya.
Tidak banyak bertanya, para pelayan yang berada di ruang dalam ataupun luar, segera mematuhi perintah dan memberi jarak aman hingga tidak bisa mendengar apapun dari kamar sang puteri. Mereka bergerak seolah-olah hal semacam ini sudah sering terjadi dan merupakan hal lumrah.
"Masuklah Brown," titah Puteri Arteta lalu kemudian duduk di atas peraduannya kembali. Berlagak bagai sosok tenang yang selalu menjadi citranya.
Detik yang sama, sebuah bayangan gelap bahkan di pagi hari bergerak kilat memasuki kamar sang puteri, lalu berdiri sembari menunduk memberi salam hormat.
"Selamat pagi, Tuan Puteri Arteta."
"Ya." Puteri Arteta mengibaskan tangan seolah-olah meminta bayangan itu, yang nyatanya adalah Brown, untuk mengakhiri salam pagi yang membosankan. "Aku sudah menunggumu. Jadi, katakan apa saja yang kau dapatkan setelah mengikuti Jun."
Brown mengangguk. "Tuan Puteri, maafkan jika saya sedikit lancang mengatakan hal ini, namun tampaknya nyawa Anda dalam bahaya." Kening Puteri Arteta segera mengernyit namun dia memilih diam, membiarkan Brown melanjutkan, "seperti yang Tuan Puteri takutkan selama ini, nyatanya Fraksi Pembelot sudah bergerak dan bahkan telah membawa Puteri Arona. Itulah mengapa Tuan Muda sedang berusaha mencarinya sebelum ada yang menyadari hilangnya Puteri."
Meski Brown bisa melihat ketenangan Puteri Arteta bahkan setelah dirinya mengungkap fakta tersebut, gadis muda itu masih saja berusaha mengendalikan raut wajahnya. Kemungkin, itu hanyalah topeng untuk menutupi betapa cemasnya dia saat ini.
"Jadi, begitu rupanya," kata Puteri Arteta pada akhirnya. Detik berikutnya dia mengangkat pandangan lalu menatap lekat kedua manik pria itu. "Sebagai pengawal pribadiku saat ini, kau akan melindungiku sampai mati, bukan?"
Brown mengangguk. "Tentu saja, Tuan Puteri. Saya akan mempertaruhkan nyawa untuk Anda."
"Kalau begitu aku bisa tenang."
Brown menatap Puteri Arteta lekat-lekat, lalu kemudian bertanya, "Apakah Anda tidak ingin memberitahu Raja tentang hal ini?" Sebaliknya, sang puteri menggeleng tegas.
"Jangan biarkan orang lain tahu termasuk Raja. Sebisa mungkin aku akan mengurusnya sendiri. Lagipula, kita tidak tahu kapan pastinya mereka akan menyerang. Namun karena para pembelot telah memiliki Arona bersamanya, bukan tidak mungkin serangan bisa saja datang besok, atau bahkan malam ini."
"Lalu apa rencana Anda? Tanpa Tuan Muda berada di istana, mungkin kita akan sedikit kewalahan. Apa kita harus menunggunya terlebih dahulu?"
Puteri Arteta menggeleng. "Tidak perlu. Jun mungkin tidak akan kembali sebelum membawa Arona." Sang puteri tanpa sadar mengigit bibirnya sendiri. "Sudah sangat lama sejak Jun bukan lagi milikku."
"Kalau begitu, saya memiliki saran." Perkataan Brown terdengar serius. "Bagaimana jika Anda bersembunyi untuk malam ini, sementara saya memiliki tempat yang bagus."
***
"Terima kasih banyak." Puteri Arona bergegas keluar dari dalam sel, sembari memberi satu senyum manis kepada anak lelaki yang acap kali membawakan makanan untuknya. Seperti yang terlihat, anak itu baru saja membukakan pintu tahanan. "Aku tidak akan melupakan kebaikanmu," tambah sang puteri, kali ini dia telah bergerak menuju keluar ruang bawah tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Puteri dan Pengawalnya (CERPEN END)
Short StoryKisah cinta antara sang puteri dan pengawalnya