Hari berikutnya, Jun mulai merasa ada yang salah ketika dia mendapatkan pemberitahuan yang sama bahwa Puteri Arona masih tidak ingin keluar kamar. Mungkin Jun tidak akan berprasangka jika hanya berlangsung selama 2 atau 3 hari, tetapi dia tidak bisa berdiam diri bila hal ini sudah terjadi nyaris seminggu. Jun pikir, mana mungkin puteri yang gemar bermain-main keluar bisa tahan terkurung dalam waktu yang cukup lama.
Jadi, ketika dua pelayan yang berdiri di depan pintu berlagak menghalanginya melihat ke dalam kamar, Jun semakin menaruh kecurigaan. Tanpa pikir panjang, dia mendorong kedua pelayan muda itu lantas menerobos masuk. Jun tidak peduli jika sang puteri sedang berganti pakaian atau tidak. Satu-satunya yang dia pikirkan saat ini hanyalah melihatnya baik-baik saja.
"Tuan Puteri!"
Jun berteriak begitu kakinya melangkah mendekati peraduan tetapi netranya sama sekali tidak menemukan keberadaan Puteri Arona. Dan kecemasannya meningkat sangat drastis.
Pria tampan itu lekas berbalik, lalu mengacungkan pedang panjang ke arah dua pelayan yang segera bersimpuh memohon pengampunan.
"Ampuni nyawa kami, Tuan Muda Jun!"
Manik Jun menyipit marah. "Lalu katakan yang sebenarnya! Di mana Puteri Arona?!"
Kecurigaan Jun kian meningkat ketika mendapati bahwa kedua pelayan itu mendadak terisak. Salah satunya berkata, "Dua hari yang lalu, Tuan Puteri bersikeras untuk keluar tanpa Anda. Karena kami takut, kami membiarkannya, tetapi hingga hari ini Tuan Puteri belum juga kembali."
Jun tidak pernah mengira bahwa jantungnya akan berdentum menggila saat mendengar Puteri Arona tidak berada di sekitarnya. Dia bahkan tidak bisa berpikir jernih saat sebelah tangannya yang mengacungkan pedang nyaris saja membelah si Pelayan.
Dengan tangan gemetar marah, Jun lagi-lagi bertanya, "Apa sebelum pergi Puteri meminta kalian untuk tutup mulut bahkan jika dia tidak kembali?" Pelayan itu segera mengangguk sembari terisak, sebaliknya Jun mencoba untuk tidak terbawa emosi. Pada akhirnya dia hanya membuang napas kasar.
"Maafkan kami, Tuan Muda Jun. Kami tidak punya pilihan."
"Aku akan mencarinya, sampai saat aku kembali dan membawanya dalam keadaan sehat dan utuh, kalian tidak diperbolehkan untuk berbicara." Mereka segera mengangguk. Jun menambahkan, "dan, jika sesuatu yang buruk terjadi pada Puteri, ingatlah bahwa orang pertama yang akan aku lenyapkan adalah kalian berdua."
Setelah menambah ketakutan di benak dua pelayan Puteri Arona, Jun bergegas berlari ke arah pintu belakang istana, meninggalkan tempat itu guna mencari sang puteri. Sementara kedua tungkainya bergerak lurus ke depan, isi kepalanya justru tidak berhenti memutar ilusi wajah tersenyum dan tawa ceria gadis itu.
Lalu untuk pertama kalinya, Jun memohon:
Wahai Penguasa di atas, ini pertama bagiku meminta, tolong! Jangan biarkan dia mati.
***
Sementara di sisi lain, sosok bayangan misterius bergerak melayang memasuki kamar Puteri Arteta melalui jendela. Hari sudah larut tetapi siapa menduga pemilik kediaman megah itu rupanya masih terjaga. Bahkan mungkin, dia telah menunggu sosok gelap tersebut.
Suasana kamar temaram dengan hanya lilin sebagai penerang, entah bagaimana telah menambah kesan agung sekaligus penuh misteri milik Puteri Mahkota. Sosoknya yang cantik di balik bias cahaya lilin, duduk dengan anggun di atas peraduannya yang menguarkan aroma mawar memikat.
"Apa Jun tidak ada di istana?" Puteri Arteta memulai pembicaraan.
Sementara itu, sosok misterius tersebut segera membungkuk memberi hormat. "Benar, Tuan Puteri. Pagi ini Tuan Muda bergerak meninggalkan istana dengan terburu. Tetapi, saya sama sekali tidak melihat keberadaan Puteri Arona."
Kening Puteri Arteta tampak sedikit mengerut. Dia cukup lama terdiam memikirkan berbagai kemungkinan ketika akhirnya dia bertanya, "Apa mungkin sesuatu telah terjadi pada Arona?"
"Saya tidak bisa memastikan apapun saat ini, tetapi jika Anda memberi izin, saya akan mengikuti Tuan Muda Jun."
"Kamu yakin? Jun bukan pria sembarangan, dia bisa saja mengetahui keberadaanmu, dan jika itu terjadi Jun mungkin akan marah padaku."
"Saya tahu, tetapi kali ini saya akan lebih berhati-hati untuk tidak terlihat olehnya. Anda bisa percaya kepada saya."
Memikirkan sesuatu mungkin saja telah terjadi di luar sana, sementara Jun belum bisa memberi informasi apapun, mengirim satu bayangan miliknya mungkin adalah ide yang cukup bagus meski memiliki risiko. Di satu sisi, Puteri Arteta merasa cemas bila Jun menyadari keberadaan bayangan utusannya dan berpikir bahwa dia tidak lagi mempercayai pria itu.
Sesungguhnya, ini pilihan yang cukup berat bagi Puteri Arteta, tetapi, dia tidak ingin kehilangan satu informasi apapun jika hanya menunggu. Lantas, dari balik maniknya yang seindah ruby, Puteri Arteta menatap bayangan miliknya dengan yakin seolah tengah mengantarkan kepercayaan kepadanya.
Bibir kecilnya yang merah pun bergerak berucap, "Lakukan yang terbaik."
Berikutnya, sosok dalam bayangan gelap perlahan menghilang dan menyisakan kesunyian bersama Puteri Arteta.
***
"Hei, lepaskan aku!"
Anak laki-laki dengan rambut keriting itu hanya bisa menggeleng sembari berusaha mendorong masuk nampan berisi makanan ke dalam sel tahanan. Sementara di dalam sana, Puteri Arona yang tampak kotor dan kusam terus mengulang permintaan serupa tiap kali anak itu datang memberinya jatah makan.
"Maafkan saya Puteri, saya tidak bisa melakukannya."
Puteri Arona mencoba lebih dekat. Jemarinya mencengkeram kuat jeruji besi yang memisahkan mereka. Wajahnya memelas. "Hei, tolonglah! Aku harus keluar dari sini. Aku harus memberitahu Jun bahwa Puteri Arteta dalam bahaya."
Mendengar perkataan sang puteri, si Anak menghela napas. "Tuan Puteri, karena Anda sudah tahu rencana kami, itulah mengapa kami menahan Anda meski Anda berada di pihak kami."
Kali ini Puteri Arona balas menggeleng. "Tidak! Lupakan tentang balas dendam itu. Aku tahu kalian merasa marah sebagai seorang kerabat setelah apa yang menimpa ibuku, tetapi bukan berarti Puteri Arteta adalah solusi dari balas dendam kalian."
"Justru karena itu, Puteri Arteta harus mati agar kau bisa naik takhta sebagai Puteri Mahkota."
Puteri Arona seketika menoleh ke arah datangnya suara. Di sana berdiri seorang pria muda yang dua tahun lebih tua dari sang puteri. Wajahnya rupawan dengan kulit tan yang tidak kalah menarik dari Jun. Dan, pria itu lah yang telah membawa Puteri Arona ke camp pembelot, mengurungnya dengan dalih untuk melindunginya.
Ketika Puteri Arona merasa sedih dengan pengakuan kebencian Jun terhadapnya, sang puteri merasa tidak ingin melihat Jun dalam waktu dekat. Dan karenanya, dia beralasan tidak akan keluar dari kamar pribadinya dan memberi Jun waktu libur. Hanya saja, itu tidak bertahan sehari. Tanpa sepengetahuan Jun, sang puteri diam-diam telah meninggalkan istana seorang diri setelah melakukan negosiasi dengan pelayannya.
Hanya ada beberapa tempat khusus yang kerap kali Puteri Arona kunjungi ketika berada di luar, dan Jun pun sudah hapal di luar kepala. Pasar, taman bermain, panti asuhan, dan terakhir ialah padang rumput. Bodohnya, Puteri Arona justru memilih padang rumput yang sepi sementara dia seorang diri. Alhasil, pembelot dengan pangkat kedua tertinggi bernama Derek berhasil meringkusnya.
"Aku tidak pernah ingin menjadi Puteri Mahkota!" balas sang puteri penuh penekanan.
Derek berjalan mendekati sel, lalu berjongkok menyamai posisi mereka. Pria itu mengulum senyum lalu mengusap pipi kotor sang puteri. "Keinginanmu tidak diperlukan di sini. Kau hanya harus menjadi Puteri Mahkota yang manis dan aku akan selalu berada di sampingmu sebagai seorang suami pun sepupumu kelak."
Manik Puteri Arona kontan terbelalak. "Hah?! Suami?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Puteri dan Pengawalnya (CERPEN END)
Short StoryKisah cinta antara sang puteri dan pengawalnya