Sudah 13 tahun berlalu sejak pengakuan Jun di depan pintu kamar, bahwa dia akan menjadi pengawal pribadi Puteri Arona. Lantas, sudah selama itu pula dia selalu berada di samping sang puteri. Jun harus mengakui ada perbedaan besar yang teramat mencolok dari dua gadis bersaudara tersebut.
Bagi Jun, Puteri Arteta adalah gambaran sempurna seorang puteri kerajaan bahkan jika sifatnya teramat sangat dingin. Tidak ada seorangpun yang dapat menandingi kecantikan, kecerdasan, bahkan wibawanya yang terkadang mengintimidasi. Sebaliknya, Puteri Arona hanyalah pelengkap dalam sebuah keluarga kerajaan. Dia hanya gadis biasa.
Akan tetapi, sifat Puteri Arona yang ceria seolah menjadi poin tambahan untuknya, terlepas bahwa wajahnya tidak begitu cantik atau isi kepalanya standar orang biasa. Puteri Arona hanya menjalani hidup sebaik yang dia bisa untuk membahagiakan dirinya sendiri di tengah kebencian orang-orang sekitarnya. Jun pikir, Puteri Arona cukup tangguh.
"Jun, mengapa wajahmu selalu saja kaku saat bersamaku? Tetapi aku perhatikan, selama ini kau bisa tersenyum di dekat Puteri Arteta."
Angin sore di padang rumput berhembus menerpa kedua insan tersebut. Membawa kesejukan yang mendamaikan suasana, kendati mereka larut dalam pemahaman yang berbeda. Di satu sisi, Puteri Arona tengah berbaring di atas rerumputan sementara Jun duduk sembari menatap lurus ke depan. Ini adalah kesekian kalinya sang puteri menerobos keluar istana.
Jun menghela napas sebelum kemudian berkata, "Saya selalu seperti ini di hadapan orang lain. Tetapi, Puteri Arteta adalah pengecualian."
Mendengar hal itu, Puteri Arona hanya bisa meringis. "Itu berarti aku juga orang asing bagimu?" Jun mengangguk tanpa melirik, sementara kekecewaan sang puteri semakin tergambar jelas. "Padahal aku mencintaimu. Aku berharap kau yang akan menikahiku suatu saat nanti. Kau tahu itu, kan?"
"Saya tahu. Anda sudah mengatakannya puluhan kali. Tetapi maaf, saya sama sekali tidak tertarik."
Puteri Arona berdecak. "Kau memang cocok dengan Putri Arteta, sama-sama dingin."
Tidak berbeda dengan gadis biasa lainnya, Puteri Arona yang tidak pernah dekat dengan orang lain tentu tidak bisa menampik ketika akhirnya dia jatuh hati kepada Jun. Pemuda 20 tahun itu benar-benar gagah dan rupawan. Meski sifatnya sedikit menyebalkan, tetapi yang Arona tahu setidaknya Jun mungkin tulus menemaninya selama ini.
Di satu sisi, Puteri Arona jelas menyadari siapa sosok yang selama ini bersemayam di hati Jun. Sosok yang tidak akan pernah bisa dia gapai dalam hal apapun. Kendati terkadang rasa iri membayangi, tetapi ketika memikirkan dirinya seharusnya tidak ada, pada akhirnya Puteri Arona memilih diam.
Yang perlu dia lakukan sekarang hanya menjadi gadis biasa yang tidak akan mengusik kehidupan sempurna saudara tirinya.
"Jun, apa kau juga membenciku?"
Pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan sang puteri memaksa Jun menolah sekilas, tetapi kemudian dia kembali ke posisi awal ketika sepasang manik gelapnya menangkap raut penuh harap di wajah Puteri Arona.
Untuk kesekian kalinya, pemuda itu menarik napas berat lalu membuangnya pelan. Dia berkata, "Ya." Dan jawaban singkat itu benar-benar mematahkan hati sang puteri. "Meski ini bukan kesalahan Anda, tetapi rasa benci yang terbawa dari mendiang ibu Anda benar-benar melekat. Dan lagi, saya benci ketika Puteri Arteta merasa sakit saat melihat Anda."
Kemudian, itu adalah percakapan terakhir mereka sebelum akhirnya memilih untuk kembali ke istana. Meski di satu sisi Jun menyadari kekecewaan sang puteri, tetapi pemuda itu sama sekali tidak berniat memperbaiki apapun. Toh, sejak awal Jun memang tidak menyukai Puteri Arona.
Tiba di depan kamar sang puteri, gadis itu sempat berbalik menatap Jun hanya untuk melempar satu senyum manis sembari berucap, "Jun, besok kau bebas. Aku tidak akan keluar kamar jadi kau bisa mengambil istirahat."
Jun menatapnya sekilas sebelum akhirnya mengangguk. "Baik," ujarnya kaku. Lalu ketika Puteri Arona menghilang di balik pintu kamar, Jun pun ikut beranjak pergi.
***
"Apa yang dia lakukan akhir-akhir ini?"
Jun mengamati Puteri Arteta yang dengan anggun menuangkan secangkir teh untuknya sementara dia duduk tepat di hadapan sang puteri. Seperti Minggu sebelumnya, Jun akan mengunjungi Puteri Arteta guna melaporkan kegiatan Puteri Arona.
"Tidak ada yang istimewa atau mencurigakan. Seperti biasa, dia hanya terlalu berisik dan berulang kali keluar istana untuk bermain-main."
Puteri Arteta hanya mengangguk. "Aku mengerti. Namun, jika kau menemukan sesuatu yang mencurigakan, lekas beritahu aku."
"Aku selalu melaporkan apapun kepadamu, Arteta," balas Jun.
Ketika Jun pikir dia akan menghabiskan banyak waktu bersama Puteri Arteta seperti yang selalu dia lakukan selama ini, nyatanya, dia mendadak undur diri setelah melakukan laporan mingguannya. Yang mana, ini sama sekali tidak seperti dirinya, tetapi Jun bersikeras berdalih bahwa dia hanya kelelahan dan butuh istirahat.
Sampai di hari berikutnya, Jun telah siap sedia dan kini berada di depan pintu kamar Puteri Arona. Setelah dua hari tidak bertemu lantaran sang puteri beralasan tidak akan keluar kamar, Jun pun mengambilnya sebagai waktu libur. Namun, Jun cukup cemas saat mendapati pemberitahuan bahwa hari ini Puteri Arona masih tidak akan keluar dari kamarnya.
"Apa Puteri makan dengan baik?" Jun menatap pelayan yang berdiri menghalangi jarak pandangnya menuju kamar. "Kau tidak melakukan sesuatu yang buruk kepada Puteri, bukan?" tanyanya sembari menyipit.
Pelayan itu buru-buru menggeleng. "Saya tidak berani Tuan Muda Jun. Setelah kami mendapatkan peringatan dari Anda dan Raja, hal semacam itu tidak akan terjadi lagi."
Jun menghela napas. "Bagus." Sebelum Jun benar-benar beranjak, maniknya sempat melirik jauh ke dalam kamar sang puteri, namun dia sama sekali tidak menemukannya. "Kalau begitu jaga dia. Kabarkan jika sesuatu terjadi," pesannya.
Menyadari bahwa dia tidak memiliki kegiatan berarti, sementara menambah waktu libur yang panjang tentu akan membosankan, mau tidak mau Jun berakhir berpijak di area camp pelatihan. Tempat di mana dia berlatih saat kecil bersama panglima perang—Arkasa Adipya—ayahnya.
Terhitung sudah cukup lama Jun tidak mengunjungi tempat ini setelah menjadi pengawal pribadi Puteri Arona. Jadi, ketika sosoknya muncul di hadapan para prajurit junior, pria itu mendadak kembali menjadi idola. Beberapa bersorak gembira akan kedatangannya, atau terang-terangan menghampirinya untuk mendapatkan beberapa saran guna menjadi lebih kuat.
Dan keributan semacam ini jelas bukan gaya Jun. Beruntung, salah seorang teman dari angkatan lebih tua yang bertugas sebagai pelatih datang menolong, memisahkannya dari para prajurit junior yang berisik.
"Wah, Jun, tidak biasanya kau ada di sini? Bagaimana dengan Puteri Arona?"
Jun sudah menduga jika Brown akan menayangkan hal semacam itu.
"Puteri Arona sedang ingin berada di kamar, dan tugasku sebagai pengawal hanya sampai di luar kamar pribadinya. Jadi, saat ini aku sedang libur."
Brown tertawa. "Mengapa kau tidak ikut masuk ke dalam kamarnya? Bukankah saat menjadi pengawal Puteri Arteta kau bisa masuk dan keluar dengan bebas?"
Tatapan Jun mendadak tajam. "Aku tidak akan melakukannya." Brown tampak penasaran, sementara Jun terlihat tidak nyaman. "Sejujurnya Raja memintaku untuk tetap di sisi Puteri bahkan jika harus sekamar. Tetapi, aku pikir Raja hanya ingin aku tidur dengan Puteri Arona."
Brown kontan tersedak ludahnya sendiri. "Astaga! Bagaimana bisa kau menyia-nyiakan kesempatan sebagus itu? Ya, meski Puteri Arona tidak secantik Puteri Arteta, tetapi dia sangat manis dan punya tubuh yang bagus."
Mendengar hal itu Jun mendadak mendaratkan satu pukulan ringan di kepala Brown. "Aku akan membunuhmu jika kau berani menilai tubuh Puteri Arona."
Brown memasang senyum mencurigakan. "Ho ... jadi sekarang kau tidak ingin pria lain melihat Tuan Puterimu?"
Jun menyipit jengkel. "Sepertinya aku salah datang ke sini dan bertemu denganmu."
Sementara Brown kembali tertawa mendapati kejengkelan Jun, nyatanya dia tidak menyadari bagaimana pria itu mulai memikirkan ejekan tersebut.
Benarkah dia tidak ingin orang lain melihat sang puteri?
Tidak mungkin!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Puteri dan Pengawalnya (CERPEN END)
Short StoryKisah cinta antara sang puteri dan pengawalnya