Banyak orang bilang kalau usia hanyalah sebuah angka. Menurutku usia tidak hanya sebuah angka, terutama karena di tahun ini aku akan menginjak kepala empat. Melepaskan angka 20 rasanya seperti baru berapa bulan lalu, dan tahun ini aku harus melepas angka 30. Waktu berjalan terlalu cepat dan masih banyak yang belum tercapai dalam hidupku. Di usiaku sekarang, kalau belum pernah pacaran sama sekali, kebanyakan orang mengira aku terlalu ambisius atau seleraku ketinggian karena kebanyakan nonton drakor atau group idol. Nyatanya memang tidak ada yang pernah mendekatiku, mungkin karena aku jarang bergaul. Tapi kata orang, jodoh bisa datang kapan saja dimana saja di waktu yang tidak terduga, jadi jarang bergaul bukan jadi alasan yang relevan.
Kalau urusan tampang, aku sering dipuji MUA kalau sedang ada hajatan, katanya wajahku proporsional, mataku cantik, bibirku seksi, dan leher-ku panjang. Menurutku wajahku juga tidak jelek banget, walaupun tidak cantik banget sampai bisa ikut beauty pageant. Tinggi badan standar, dan berat badan ideal, tidak gemuk tidak kurus. Bentuk badan juga oke, si paling hourglass. Tapi tetap saja banyak cowok yang lebih memilih untuk melihat saja daripada mendekati. Aku kadang merasa tidak jauh beda dengan hewan di kebun binatang. Kalau aku hewan, yang paling cocok menurutku adalah cheetah. Basically kucing besar yang liar. Tidak ada yang berani mendekat, hanya mengagumi dari jauh karena takut diterkam.
Sore itu, aku mampir ke rumah adikku dan suaminya sepulang kerja. Adikku lebih muda empat tahun, tapi dia sudah menikah tujuh tahun yang lalu. Malas menunggu-ku yang tidak kunjung dapat jodoh. Sekarang dia sudah punya dua anak, satu perempuan yang sudah kelas satu SD, dan satu laki-laki yang mau masuk TK. Mereka sedang mengerjakan tugas sekolah setelah makan malam ditemani Eric, sementara aku menguasai ruang tamu dengan mama mereka. Aku tidak sering-sering mengganggu keluarga mereka, hanya saja hari itu aku membawa kabar bagus untuk Lily.
"Sumpah 5x, kamu udah ketemu sama Bradley?" tanya Lily dengan muka merah bahagia waktu aku memberinya tiket pertandingan basket. Sejujurnya aku radak kurang mengerti dengan ibu-ibu yang satu ini. Lily masih mengikuti tren jaman sekarang, termasuk idola-idola yang aku sama sekali tidak pernah lihat sebelumnya. Dia sering membantuku yang kolot untuk update dan survive di bidang marketing.
"Enggak, aku baru ketemu sama manajernya." jawabku sebelum kemudian menjelaskan proyek iklan-ku selanjutnya yang akan mengajak Bradley, MVP pertandingan profesional basket nasional tahun kemarin, sebagai bintangnya. Lily lalu memelukku sambil melompat-lompat, membuatku agak mual tapi aku biarkan saja. Ini alasan aku tidak memberitahunya melalui telepon atau chat saja. Meskipun dia sudah ibu-ibu, tapi dia tetap jadi adikku yang kadang suka manja.
Selesai memberikan tiket dan mengobrol, aku langsung kembali pulang. Aku masih tinggal dengan mama, dan seorang pembantu yang mengurus rumah. Hidupku hanya dikelilingi perempuan, bahkan teman-teman pun kebanyakan perempuan. Perempuan tangguh yang punya cerita berbeda-beda, sama-sama menjadi pelajaran bagiku. Aku kembali membuka kontrak, sambil membawa teh dan camilan ke kamar sehabis mandi. Aku suka suasana remang-remang yang relaxing, dan tidak sadar mulai menonton pertandingan basket musim lalu. Pertandingan yang membuat Bradley Wijaya menjadi Most Valuable Player. Tidak ada salahnya aku melakukan research sedikit sebelum bertemu dengannya besok.
Bukannya fokus dengan permainannya, aku justru berdebar tiap kali kamera mengarah padanya yang tersenyum lebar setelah mencetak skor. Membuatku semakin ingin melihatnya terus memasukan bola ke ring, dan sedih kalau orang lain yang melakukannya. Aku tertawa dengan pikiranku sendiri, entah ini insting anak SMA yang cinta monyet atau sifat keibuan yang muncul karena sering babysitting keponakanku. Bradley punya wajah yang fresh dan kelihatan muda, mungkin karena dia memang masih muda, tapi aku juga tidak akan kaget kalau ternyata usianya masih 18 tahun. Tapi aku rasa tidak mungkin karena badannya terlihat seperti pria dewasa dan bukannya remaja yang sedang puber. Berapapun usianya, yang pasti dia jauh lebih muda dariku, jadi aku akan lebih nyaman menganggap debaran ini sebagai sifat keibuan dari pada insting anak SMA.
Besok harinya, setelah jam makan siang, aku baru siap-siap untuk melihat pertandingan basket. Rasanya lama sekali aku tidak pernah melihat pertandingan basket secara langsung. Jelas terakhir kali waktu jaman kuliah, sebelum mulai sibuk dengan bekerja, dan tidak melihat pertandingan olahraga sebagai hiburan yang menarik lagi. Aku tidak tahu apa pakaianku terlihat kurang kasual sebagai penonton olahraga, atau justru kurang formal karena aku akan bertemu klien. Kemeja putih gombrong dan rok span pendek, membuatku kelihatan lebih tinggi dari jauh. Tapi sepertinya tidak ada yang peduli dengan pemilihan bajuku, karena orang-orang lebih fokus ke bisnis mereka masing-masing.
"Kak Aster!" panggil Lily menarik perhatianku waktu memasuki stadion. Dia sudah duduk di platform sendiri dengan sushi, corn dog, dan teh botol di pangkuannya.
"Laper banget bu?" tanyaku tertawa.
"Ih, aku habis naruh Paris sama London ke mama, langsung ke sini. Gak sempet makan siang tau!" kata Lily cemberut dengan pipi penuh sushi. Lalu dia menawariku sushi, tapi aku sudah cukup kenyang. Pertandingan sudah mau dimulai, dan tiap tim sedang menyanyikan himne masing-masing. Di sayap kanan pendukung kota Guest, dan sayap kiri pendukung kota Host. Sedangkan aku dan beberapa pihak lain berada di tengah, dan bisa melihat front view para pemain. Meski begitu, aku masih tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas, karena jarak yang cukup jauh. Harusnya aku membawa binocular, atau setidaknya pakai kacamata yang benar.
Walaupun tidak bisa melihat dengan jelas, mataku cukup peka mengikuti aura Bradley yang ternyata lebih kuat dari dugaanku. Berkali-kali aku harus menampar diriku sendiri untuk mengikuti bola dan bukannya cowok bernomor punggung 9 itu. Lily juga ternyata sama saja, hanya menyoraki kalau bolanya ada di Bradley. Dasar ibu-ibu genit. Pertandingan itu akhirnya berakhir dengan kemenangan dari kota Host. Aku cepat mengirim pesan ke manajer mereka untuk minta bertemu sebentar. Tidak lama setelah selebrasi kemenangan, mereka memanggilku untuk ke area pemain.
"Bentar ya, aku mau ke bawah situ dulu." kataku ke Lily yang mengangguk dengan patuh. Dia sudah bilang akan pulang denganku, biar suaminya sekalian menjemput di rumah mama. Jadi aku tidak akan membuatnya menunggu lama.
Dibawah aku mengenali Mas Iwan, manajer tim basket yang rapat denganku kemarin. Dia langsung membawaku ke para pemain yang kelihatannya sibuk foto-foto dengan keluarga, teman, dan pihak lain yang aku tidak kenal. Kemudian dia mencolek seorang pemain yang sedang duduk sambil bermain hp. Wajahnya merah, badan dan rambutnya basah karena keringat. Tapi begitu melihatku, wajahnya yang tadi serius langsung tersenyum dan dia berdiri hingga tingginya menjulang di depanku.
"Brad, kenalin ini Mbak Aster dari Nineteen Ninety, yang ngatur iklan dengan Head2Head." kata Mas Iwan. Bradley langsung mengelap tangannya sebelum mengulurkan tangan untuk menjabat tanganku. Lagi-lagi aku hampir meleyot karena genggamannya terasa percaya diri. Aku sering berjabat tangan dengan orang, ada yang jabatan tangannya sangat lemah, ada juga yang terlalu kuat sampai tanganku sakit. Tapi yang ini rasanya tidak berlebihan, tekanannya pas meskipun tangannya terasa agak kasar.
"Congrats buat pertandingannya. Aku jadi tertarik buat nonton basket lagi." kataku dengan jujur. Brad terlihat berpikir sebentar sebelum kembali tersenyum lebar.
"Kalau gitu kamu mesti datang ke pertandingan selanjutnya ya?" tantangnya kelewat kasual. Aku jadi bingung menanggapinya, jadi aku hanya tersenyum dan mengangguk seperti kata Skipper the Penguin.
"Aku cuma mau ngucapin itu aja, sekalian kenalan." kataku berusaha mengundurkan diri.
"Oh, kamu gak ikut makan-makan?" tanya Bradley. Aku memang diundang untuk ikut selebrasi mereka dengan pihak sponsor dan lainnya, tapi aku juga sudah janji dengan Lily. Lagian sepertinya aku tidak perlu PDKT dengan semua anggota tim, jadi lebih baik aku pulang saja karena jiwa introvert ku sudah meronta-ronta.
"Sudah ada janji lain," jawabku. Dia mengangguk mengerti kemudian memberikanku jalan untuk pergi. Setelah berpamitan dengan Mas Iwan yang ternyata langsung menghilang, aku kembali menghampiri Lily untuk mengajaknya pulang. Dia sudah siap dengan tasnya, dan aku juga membereskan notes-ku yang entah kenapa aku keluarkan dari tas. Kemudian kami berjalan keluar melalui pintu utama stadion yang sudah lebih senggang.
"Eh, Bradley ngeliatin sini loh!" kata Lily. Aku menoleh ke arah pandangnya dan melihat Brad yang matanya membesar kaget. Dengan cepat dia kembali menunjukan senyumnya, membuat Lily terpekik kegirangan, kemudian dia melambaikan tangan. Aku hanya mengangguk kecil berpamitan, sambil menarik Lily agar kita berjalan lebih cepat. Selepas dari stadion, aku meraba jantungku yang masih berdetak kencang. Sepertinya aku harus memeriksakan jantungku, kalau-kalau aku punya penyakit jantung seperti papa. Apalagi di usiaku sudah tidak muda lagi, aku akan lebih menjaga gaya hidupku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Oppa Is Younger Than Me
RomanceKatanya perempuan cantik, mandiri, dan pintar adalah dambaan semua pria. Tapi aku masih belum dapat jodoh diusia yang hampir menginjak 40 tahun. Waktu harapan itu akhirnya datang, dia berbentuk pria muda berusia sekitar 20 tahun. Perbedaan umur yang...