Sudah hampir dua bulan, aku menyibukan diri dengan pekerjaan. Sebenarnya bukan karena Nineteen Ninety sedang ramai tapi karena aku ingin kepalaku tidak kosong. Jadi aku bekerja lebih keras dari yang seharusnya tanpa mendapat imbalan. Sekarang ketika energiku sudah terkuras habis, sepertinya tidak ada celah untuk memikirkan hal-hal yang tidak penting lagi. Hari itu ulang tahunku, jadi aku akan sedikit treat diriku dan keluargaku. Aku ke salon dengan mama dan Lily, aku mau mentraktir mereka perawatan. Keponakanku ditaruh di playground sementara kami menikmati facial dan spa.
"Kamu masih berhubungan sama Bradley kak?" tanya Lily. Kalau tidak sedang rileks dengan masker di wajahku, aku pasti sudah menyembur wajahnya dengan air.
"Siapa itu?" tanya mamaku kepo. Kemudian Lily yang menjelaskan secara singkat tentang Brad, pemain basket ganteng, yang jadi bintang iklan salah satu proyekku. Ditambah lagi, dia mengompori tentang Brad yang bertemu dengan Paris dan London, dan langsung disukai mereka. Kemudian kedua perempuan itu menyecarku, bertanya jika mereka bisa bertemu dengannya.
"Aku sudah lost contact, proyeknya udah lama selesai." jawabku. Setengah jujur, karena aku memang sudah tidak pernah menhubunginya setelah proyek selesai. Setengah bohong, karena aku diam-diam melihat Brad masih melihat story IG ku. Bukannya aku kepedean, dia bisa saja asal skip story sepertiku dulu. Dan aku juga tidak mau denial, bilang aku tidak mengharapkan itu sedangkan aku selalu bilang sibuk tapi masih sempet cek siapa yang melihat IG story-ku. Lagipula sejujurnya aku juga tidak mengharapkan apa-apa kok, hanya saja hati kecilku kadang suka bandel dan kepo.
Setelah selesai perawatan, kami mengambil Paris dan London di playground. Rencananya kami mau makan di salah satu restoran keluarga setelah itu. Tapi sewaktu kami datang ke tempat bermain anak-anak itu, anak-anak Lily sudah diambil. Penjaga bilang kalau keponakanku itu ikut dengan seorang pria yang dikonfirmasi mereka kenal. Dengan panik, Lily menelepon suami-nya berharap kalau pria yang di maksud adalah dia. Sedangkan mama sudah marah-marah karena penjaga playground itu dengan teledor tidak bertanya nama dan identitas-nya. Aku mencoba menenangkan mama, sambil mencoba mencari cara untuk menemukan keponakanku, kalau memang mereka hilang. Lily tiba-tiba menangis di telepon, menunjukan kalau bukan suaminya yang mengambil anaknya.
"Mbak, di sini ada CCTV?" tanyaku ke penjaga.
"Kalo di sini gak ada mbak, coba tanya ke pelayanan dan keamanan." jawab penjaga.
Dengan harapan kalau mereka masih ada di dalam mall, aku berlari ke petugas keamanan. Meminta untuk dibuatkan pengumuman anak hilang dan mengecek cctv yang nihil karena tidak ada yang mengarah pada playground. Menyebutkan nama dan ciri-cirinya, kemudian kembali lagi ke mama yang sendirian. Katanya Lily sedang mencoba keliling mall untuk mencari anaknya. Tapi mall itu terlalu besar, tidak mungkin dia bisa mengitari seluruh mall dan setiap lantai. Sementara aku dan mama masih menunggu di pusat informasi, Lily tiba-tiba meneleponku.
"KETEMU, CEPET KESINI! DI MIEXU!" kata Lily di telepon dengan semangat. Aku mengajak mama berkata kalau Lily sudah menemukan keponakanku. Tempat es krim itu tidak jauh dari sana. Hanya berada di arah berlawanan dari playground dan pusat informasi. Aku melihat Lily sedang merangkul London dan memarahi Paris. Senyumku mulai muncul karena ternyata keponakanku benar-benar sudah ketemu. Tapi kemudian aku menghentikan langkahku dan menjatuhkan senyumku waktu melihat siapa yang ada di sana juga.
Brad terlihat kasual dengan kemeja kotak-kotak dan topi, disebelahnya Scarlett dengan muka bingung makan es krim sambil menonton Lily yang sedang mengoceh. Aku mulai berjalan lagi karena mama menggandengku, tidak mengerti kenapa aku malah jadi mematung. Mama ikutan mengomel tapi sambil mencium Paris dan London karena lega mereka masih aman. Kemudian perhatiannya di alihkan Lily yang mengenalkannya pada Brad.
"Ini yang kita gosipin tadi?" tanya mama merasa familiar dengan namanya. Lily langsung melirik ke arahku dengan tampang horor karena omongan ceplas-ceplos mama. Padahal tadi kami cuma ngobrol tentang Brad tidak lebih dari satu menit, tapi kesannya seperti selalu dibahas. Sementara itu Brad justru terlihat santai dan bahkan senang karena telah menjadi bahan obrolan. Senyum di bibirnya melebar seperti dulu waktu pertama kali aku kenal.
"Hari ini Kak Aster ulang tahun." kata Lily, kemudian dia mengumumkan pada Brad kalau mereka akan pergi makan malam bersama dan mengundangnya ikut kalau tidak sibuk.
"Aku gak sibuk, tapi apa aku boleh bawa ini?" kata Brad menunjuk anaknya. Aku merasa tersinggung karena dia menyebut anaknya dengan kata 'ini'. Begitukah caranya memperlakukan anaknya biar tidak ketahuan kalau sudah beranak satu? Aku yakin wajahku terlihat super sinis, karena Brad melihatku dengan tatapan bingung.
"Gapapa kan kak?" tanya Lily sambil mencolekku. Aku bahkan tidak tahu kalau Brad sedang bertanya ke arahku.
"Scarlett boleh ikut kok, kalo dia mau!" jawabku. Lily kaget karena aku mengetahui nama anak itu, sedangkan Brad mungkin kaget karena aku masih mengingatnya atau kaget karena aku lebih menganggapnya manusia daripada dia yang menganggap anaknya sebagai benda.
Setelah itu, kami masih menunggu anak-anak kecil selesai makan es krim. Aku juga memutuskan membeli satu sundae karena kepalaku sedikit panas karena stress. Mama dan Lily mengobrol dengan Brad, sementara aku hanya diam saja sambil menguping. Lily bertanya tentang semua yang aku mau tahu tapi tidak berani tanyakan. Scarlett anak dari mantan pacarnya yang hamil dengan cowok lain. Kemudian cowok itu tidak mau tanggung jawab, sementara mantannya meninggal. Sebenarnya dia juga bukannya mau menjadi pahlawan dan mengasuh anak itu sendirian, tapi Scarlett punya penyakit jantung yang mengharuskannya di asuh dengan ekstra dalam hal finansial dan tidak ada yang mau menanggung itu selain dirinya. Semudah itu Lily bertanya dan semudah itu Brad menjawab.
"Mungkin harusnya dulu aku egois sedikit untuk masa depanku sendiri." kata Brad seolah menyesali perbuatannya. Tapi sambil berkata begitu, dia melihat Scarlett dengan senyum manis, mengelus kepala anak itu seperti anaknya sendiri.
-M-
Mama berkata dia sama sekali tidak keberatan menambah cucu. Lily bilang dia tetap menyukai Brad meskipun tahu dia sudah beranak satu. Paris dan London bilang aku cocok dengan Brad dan mereka menyukai Scarlett. Kami bertemu di restoran tempat merayakan ulang tahunku. Ulang tahun ke empat puluh, aku merasa tua. Restoran tradisional itu memiliki sisi outdoor-indoor, dengan desain yang mengakomondasi makan malam keluarga besar. Tapi aku tidak mengundang siapa-siapa, hanya keluarga kecilku dan Brad dengan keluarga kecilnya. Mungkin karena aku terlalu fokus dengan makananku yang hampir habis, tidak sadar kalau aku ditinggal sendirian bersama Brad di meja itu. Aku bisa melihat mama dan adikku yang sedang menggandeng suaminya bermain di playground anak-anak dengan keponakan-keponakanku.
"Belakangan ini sibuk apa?" tanya Brad tiba-tiba. Sepertinya dia mau catch-up tentang kegiatanku seperti dulu. Jawabannya ada dua, tidak sibuk sama sekali dan terlalu sibuk sampai aku bingung harus menceritakan yang mana dulu.
"Tidak ada yang penting." kataku akhirnya memutuskan jawaban diplomatis.
"Kamu gak suka Scarlett?" tanya Brad lagi. Kali ini membuatku menoleh sepenuhnya ke arahnya, menganga lebar, dan siap menamparnya.
"Kenapa kamu bisa mikir begitu?" tanyaku balik setelah berhasil mengontrol emosi yang tiba-tiba muncul tanpa sebab. Bukannya menjawab dia menggeleng kepala, kemudian meminta maaf karena salah menilaiku.
"Apa kamu masih mau... ketemu aku?" tanya Brad terdengar ragu. Kali ini aku butuh waktu agak lama untuk menjawabnya. Dia memutuskan untuk tidak mengontakku setelah terakhir kali kami ketemu di rumahnya, setelah aku mengetahui tentang Scarlett. Aku juga memutuskan untuk menyimpan rahasianya, menguburnya, dan mensibukan diri sendiri agar tidak merindukan pesan-pesannya.
"Kamu cuma mau bahas kerjaan aja ya." kata Brad setelah aku tidak juga menjawab pertanyaannya.
Aku terdiam tanpa berusaha denial seperti biasanya. Tidak mau membuatnya bimbang atas jawabanku yang selalu ambigu. Kemudian otakku mulai membandingkan aku dan Brad. Aku perempuan kelewat matang, single dari lahir, dan tidak memiliki tujuan. Brad pria muda, memiliki satu anak, dan masa depan panjang. Seperti kataku dulu, kita terlalu bertolak belakang. Tidak ada ruang untuk saling mengenal, karena hanya akan menghabiskan waktu. Waktuku sih tidak apa-apa, toh seperti yang aku bilang, aku tidak punya tujuan alias nothing to lose. Tapi untuk Brad, sepertinya dia layak dapet perempuan yang lebih baik. Perempuan yang bisa menerima semua kelebihannya.
Malam itu menjadi sebuah pencerahaan bagiku. Aku bahagia hidup sendiri. Sementara aku berusaha melupakan Brad yang hampir meruntuhkan tembokku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Oppa Is Younger Than Me
RomanceKatanya perempuan cantik, mandiri, dan pintar adalah dambaan semua pria. Tapi aku masih belum dapat jodoh diusia yang hampir menginjak 40 tahun. Waktu harapan itu akhirnya datang, dia berbentuk pria muda berusia sekitar 20 tahun. Perbedaan umur yang...