Denial is a River in Egypt

22 2 0
                                    

Hari Senin pagi, aku merasa lebih excited dari biasanya, sudah berada di studio untuk shooting iklan Head2Head, produk shampo dan perawatan rambut anti ketombe. Aku sengaja datang lebih awal untuk brainstorming dengan videografer yang menangani pengambilan iklan. Proses shooting akan berlangsung dalam empat scene. Scene pertama main basket pakai topi, scene kedua naik motor pakai helm, scene ketiga keramas, hingga scene keempat pakai hair tonic dan hair gel. Tidak lama kemudian, Bradley dan Mas Iwan datang tepat waktu dengan membawa beberapa kostum sendiri. Mataku tidak bisa lepas dari penampilan Brad yang berbeda dari terakhir kali kami bertemu. Rambutnya terlihat lembut dengan potongan shaggy yang trendy. Badannya yang tegap berbalut polo dan jeans hitam membuatnya terlihat casual tapi tetap rapi. Dia masih memakai sepatu basket yang ajaibnya terlihat cukup semi-formal untukku. Dan waktu jarak kami hanya sebatas satu meter, aku bisa mencium aroma kopi hangat di hari Minggu.

"Mau kopi?" tawar Brad membuatku kaget karena berpikir aku telah menyuarakan isi kepalaku. Aku tersenyum lega sambil menolak, setelah sadar di tangannya dia menenteng sepaket kopi Buckstar. Seorang penata gaya kemudian menggiringnya ke ruang make up, dan aku memeriksa kembali jantungku. Baguslah kali debarannya sudah sedikit berkurang. Sabtu kemarin aku benar-benar mengecek jantungku ke lab, dan ternyata ada sedikit masalah. Jantungku lemah hingga menyebabkan aku lebih gampang merasa deg-degan. Tapi tidak parah sampai harus dilakukan tindakan, aku hanya harus lebih sering olahraga dan memperhatikan pola makan. Termasuk salah satunya mengurangi konsumsi kafein.

Proses shooting dimulai dari scene ke empat untuk mengefisiensikan waktu. Brad keluar dari ruang rias dengan tampilan rambut yang lebih rapi dan sedikit riasan yang membuat kulitnya semakin mulus. Dia juga memakai setelan blazer hitam dan sepatu pantofel yang sekarang membuatnya terlihat seperti eksekutif muda. Dia mengikuti skrip dan berakting dengan baik, kemudian melakukan beberapa photoshoot. Meski kelihatannya gampang, proses pembuatan satu scene menghabiskan waktu hampir dua jam. Aku tidak berniat untuk menghabiskan waktu di lokasi shooting dan masih punya banyak pekerjaan lain. Jadi setelah satu scene selesai, aku bersiap untuk pergi ke kantor selagi Brad bersiap untuk scene selanjutnya. Waktu sedang berpamitan dengan videografer, Brad tiba-tiba menghampiriku.

"Udah mau balik?" wajahnya menunjukan sedikit rasa khawatir yang membuatku bingung. Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya. "Apa ada yang salah ya?"

Aku langsung mengerti kekhawatirannya, dia khawatir kalau aku tidak menyukai pekerjaannya. Jadi aku berkata kalau aku masih ada kerjaan lain dan dia sudah bekerja dengan sangat baik. Biasanya kalau anak muda yang baru memulai karir memang butuh banyak afirmasi dan aku paham sekali dengan itu. Belum sempat berpamitan dia sudah membuka mulut lagi.

"Boleh minta no telp? Atau follow IG? Kemarin aku coba nyari kamu di IG gak ketemu." tanya Brad dengan wajah polos yang sudah lega. Tapi aku yakin mataku hampir meloncat keluar saking kaget dengan konfrontasinya, dan dia justru membalas pelototan-ku dengan tersenyum. Tidak ada gunanya juga aku main pelotot-pelototan, jadi aku memberikannya user IG-ku. Lagipula tidak banyak yang bisa dia lihat, selama delapan tahun, aku hanya mengupload tiga post dan beberapa story yang kebanyakan berhubungan dengan kerjaan.

Nyatanya waktu sampai di mobil, aku tersenyum sendiri waktu mengecek notifikasi di hpku yang menunjukan kalau Brad sudah memfollow-ku. Sambil menunggu mesin mobil panas, aku melihat beberapa postingan-nya yang jumlahnya puluhan. Kebanyakan foto liburan, klip basket, dan foto yang sepertinya diambil oleh fotografer amatiran. Scenario yang aku pikirkan adalah temannya yang hobi fotografi memintanya jadi model untuk menambah portfolio, lalu mungkin dia diupah dengan mie ayam dan es jeruk. Aku berusaha menghapus senyumku yang dari tadi membuat pipiku sakit. Waktu mau menaruh kembali hp ke tas, satu notifikasi muncul lagi. Sebuah pesan di IG masuk dari Bradley.

Hati-hati di jalan, kalo udah sampe kabarin ya.

Aku harus memastikan mataku tidak salah dan membaca pesan itu berkali-kali, berharap tulisannya akan berubah. Akhirnya aku memilih untuk tidak menghiraukan pesan itu, dan mulai menyetir kembali ke kantor. Sampai di kantor pun, aku masih bingung kalau harus membalas pesan itu atau tidak. Saking lamanya berpikir, tanpa sadar aku sudah melewati hari itu dengan pikiran yang di belah dua. Tapi karena Brad juga tidak mengirim pesan apa-apa lagi, aku pikir sebenarnya dia juga tidak peduli dengan balasanku. Mungkin dia hanya ingin membuat koneksi dan aku justru tidak menanggapinya, membuatku merasa bersalah tapi juga tidak bisa melakukan apa-apa. Salahnya juga menyuruh aku mengabari, menurutku itu bukan pesan yang terdengar profesional. Aku sudah di kasur dengan selimut siap untuk tidur, tapi justru mencoba menelaah pesan dari Brad tadi. Tiba-tiba sebuah pesan muncul lagi di room chat yang sama.

Masih belum tidur?

Lagi-lagi jantungku berdebar karena kaget. Dia pasti sudah melihat kalau aku sedang online dan langsung membaca pesannya. Aku menarik napas dan berusaha berpikir positif, mungkin dia mau bertanya sesuatu atau memerlukan sesuatu yang berhubungan dengan iklan tadi, atau dia mau mendiskusikan bayaran. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi.

Belum. Apa syutingnya lancar?

Aku membaca pesanku beberapa kali sebelum mengirimnya. Meyakinkan kalau pesan yang aku tulis terlihat casual tapi tetap fokus pada pekerjaan. Bukannya menjawab, Brad mengirim gambar. Aku membuka gambar itu, dan ternyata itu foto dari scene terakhir. Bradley yang bertelanjang dada terlihat basah karena habis keramas. Sambil berusaha mencari cara untuk berpikir positif, aku menjelajahi foto itu. Dimulai dari matanya yang seperti bulan sabit, bibirnya yang tersenyum lebar, kemudian lehernya yang tebal, badannya yang bersih, tangannya yang memiliki otot tipis tidak berlebihan, perutnya yang terlihat seperti roti madu, dan celana panjang trainee yang menunjukan sedikit bulg-----

"Hahhh!!" aku melempar hpku begitu mataku mengarah ke sana. Berkali-kali aku merapal kalau aku harus bersikap profesional. Masalahnya anak kecil yang sekarang ada muncul di hpku ini, bukan anak kecil biasa. Dia terlihat seperti bayi yang seksi. Waktu aku masih memikirkan harus membalas apa, hpku berbunyi lagi.

Jangan di lihatin terus. Tidur sana, good night.

Begitu pesan dari Bradley yang aku baca. Speechless, dan rasanya ingin terjungkal dari tempat tidur. Aku merasa harus pembelaan diri, karena dia jelas-jelas menganggap aku tidak profesional sekarang. Tapi tidak ada kata-kata yang muncul di kepalaku sekarang. Bingung harus menjawab apa, aku putuskan untuk menyerah. Akhirnya aku menaruh hp di meja nakas sebelah kasur dan berdoa agar cepat tidur. Malangnya, foto tadi justru berputar di kepalaku seperti gambar bergerak.

My Oppa Is Younger Than MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang