Cebelapa Imut Cih Aku?

15 2 0
                                    

Aku sedang browsing content untuk mengumpulkan ide ketika telepon kantor berbunyi. Satpam depan menginfokan ada tamu yang mau bertemu denganku Aku memeriksa kalender dan tidak merasa membuat janji dengan siapapun hari ini. Tapi waktu mendengar nama Bradley disebut, aku tahu aku sedang dalam masalah. Iklan Head2Head masih dalam proses editing setelah aku melakukan revisi. Jadwal kegiatan Bradley dengan promosi Head2Head juga harusnya baru berlangsung bersamaan dengan iklan tayang. Aku menghela napas, menyiapkan diri karena aku sama sekali tidak dapat memikirkan alasannya datang hari ini. Aku melihat ke arah jam yang menunjukan jam setengah 12 lewat. Setengah orang-orang kantor sudah hilang mencari makan keluar, karena jam istirahat hari Jumat lebih panjang dari hari lain.

Bradley duduk di lobby terlihat santai sambil melihat-lihat interior kantor. Tapi aku salah fokus dengan kemeja batiknya yang terlihat mirip dengan motif batik di sewek yang sedang aku pakai. Sebagai perempuan aku merasa aneh kalau kembaran baju dengan orang, apalagi kalau tidak direncanakan. Seolah-olah yang kupakai ini pasaran, padahal batik ini adalah oleh-oleh dari Lily yang menurutnya jarang ada yang punya. Brad akhirnya melihatku berjalan ke arahnya dan senyumnya mengembang. Tiba-tiba otakku sudah memutar kembali foto yang dia kirim beberapa hari lalu. Aku berusaha mengulum senyumku sekuat tenaga, sambil menarik napas pelan-pelan.

"Udah makan siang belum?" tanya Brad sambil menyerahkan sebuah map. Aku mengenali map itu sebagai kontrak kerja dengannya, tapi aku pikir seharusnya yang mengurus itu Mas Iwan manajernya. Aku bingung harus menjawab pertanyaannya atau bertanya balik soal map ini. Tapi akhirnya aku menggelengkan kepala karena matanya melihatku penuh harap. Kemudian dia mengajakku untuk menemaninya makan diluar dan aku mengiyakan. Sepertinya aku harus membuatnya menebak usiaku.

Sepuluh menit kemudian, aku sudah duduk manis di sebelah Bradley keluar dari kantor. Kalau Lily melihat penampakan ini, dia pasti sudah lompat-lompat sambil berteriak oh my god ratusan kali. Dan aku tidak melebih-lebihkan hal itu, Lily pernah menang lomba nge-rap sewaktu SMA. Aku yakin dia masih punya kemampuan itu meskipun sudah menjadi ibu-ibu. Berbeda denganku yang pelit ngomong kalau tidak penting. Aku lebih sering berada di kepalaku sendiri daripada berinteraksi dengan orang. Kali ini kekuranganku itu membuat suasana mobil itu canggung sekali. Brad mengetuk-ngetuk setir sambil manggut-manggut mengikuti lagu yang diputar. Kami sudah memutuskan untuk makan steak di kawasan BStroll, tidak terlalu jauh dari kantor.

"Kamu suka dengerin lagu apa?" tanya Brad tiba-tiba waktu aku melamun sendiri.

"Kpop?" jawabku kurang yakin sendiri. Dia justru tersenyum kemudian memencet layar player-nya, dan mencari playlist. Satu lagu Korea mulai terdengar dari speaker, tapi aku tidak mengenali lagunya. Aku masih terdiam, inikah yang dinamakan generation gap? Karena Kpop yang aku maksud adalah Junior Super, 2MP, School After, dan Gen 2 lainnya. Aku masih familiar dengan Pinkblack dan STB tapi tidak dengan lagu yang diputar sekarang. Berbeda dengan Brad yang kelihatan lumayan hafal dan fasih bernyanyi. Aku yakin kalau liriknya ngawur, tapi setidaknya dia terlihat percaya diri dengan suaranya yang agak serak, sama dengan suara penyanyi-nya. Aku melirik judul yang terpampang di layar dan berharap aku masih bisa mengingat judul dan nama penyanyi-nya nanti di rumah.

Lagu selanjutnya yang diputar baru aku kenal, walau aku yakin bukan dinyanyikan oleh grup aslinya. Tapi kemudian kita sudah sampai di restoran yang dituju, jadi aku tidak sempat bernyanyi. Restoran itu lumayan ramai tapi untungnya masih ada meja kosong yang bisa kami tempati. Setelah memesan makanan sesuai selera masing-masing, otakku mulai mencoba mencari topik pembicaraan. Topik yang bisa mengarahkannya untuk penasaran dengan usiaku. Lagipula harusnya dia sudah bisa melihat dari kerutan-kerutan tipis di wajahku. Kerutan yang tidak mungkin dimiliki perempuan di usia 20-an.

"Kamu main basket dari kapan?" tanyaku berharap pertanyaan tentang waktu bisa mengarah pada usia. Brad mengangkat wajahnya dari hp, sepertinya dia sedang membalas pesan. Tapi begitu mendengar pertanyaanku senyumnya timbul dan wajahnya menunjukan ekspresi berpikir yang lucu.

"Lama banget, mungkin sekitar 15 tahun lalu. Aku masuk club basket dari SD." jawabnya. Aku sudah bisa menebak usianya. Tepat seperti perkiraanku, kalau SD yang dia maksud kelas 6, berarti usianya memulai basket adalah 12 tahun, dan usianya sekarang adalah 27 tahun. Aku menunggunya untuk bertanya balik untuk menyatakan usiaku, tapi dia justru kembali fokus ke hpnya. Akhirnya aku ikut diam saja dan memilih melihat ke arah pintu dimana orang masuk dan keluar. Waktu aku mulai melamun lagi, tiba-tiba Brad melanjutkan bicaranya seolah dia belum selesai. Katanya dia berniat untuk pensiun 2-3 tahun kedepan, mulai merintis club sendiri dan membuka toko alat olahraga. Jadi dia mengambil sebanyak-banyaknya tawaran yang masuk selagi masih populer. Aku mengangguk setuju dan mengagumi visinya yang jelas.

Sepertinya Bradley sama sekali tidak tertarik dengan usiaku ataupun profesionalitas-ku karena dia tidak bertanya balik. Mungkin juga karena seorang waitres memotong pembicaraan kami tentang klub basket pertamanya yang ternyata aku tahu dan dekat dengan rumah lamaku. Pembicaraan itu berlangsung terlalu mulus sampai aku tidak sadar sudah memberikan informasi pribadi seperti alamat rumah, meskipun aku sudah tidak tinggal di sana.

"Oh iya, soal map tadi. Mas Iwan emang kemana?" tanyaku akhirnya memilih membahas pekerjaan setelah dia selesai bercerita.

"Aku mau nganter sendiri, biar ketemu kamu." jawab Brad dengan senyum lebarnya. Aku menganga, tidak menyangka jawaban seperti itu yang akan keluar dari mulutnya. Senyuman itu kalau saja tidak dibarengi dengan kalimat aneh, pasti sekarang aku sudah meleyot.

"Oke, tapi sekarang kalau aku mau bahas tentang kontrak dan rebursmentnya. Apa kamu tangani sendiri?" tanyaku fokus pada pekerjaan. Dia berdecak karena pertanyaanku, kemudian kembali melihat makanannya. Menuang saus di steaknya sementara aku menunggu jawabannya sebelum mulai membicarakan tentang reimbusment yang aku maksud.

"Itu nanti kamu ngobrol aja sama Mas Iwan. Sekarang makan dulu." Jawab Brad lagi tanpa dosa. Dia terlihat sibuk memotong steaknya, sedangkan aku mulai merasa kesal dengan sikapnya yang cuek. Harusnya aku bisa memaklumi karena dia masih muda dan mungkin belum bisa mengurus bisnis. Tapi perilakunya sekarang bisa aku kategorikan sebagai 'reckless'. Daripada gondok sendiri, aku akhirnya menurutinya dan memilih makan. Dengan memastikan kalau dia tahu kalau aku tidak suka dengan sikapnya.

Selesai makan di counter kasir, Brad memaksa untuk membayar makanan kita berdua. Sebagai perempuan mandiri yang selalu membayar makannnya sendiri, sebagai orang dengan posisi manajer yang selalu membayari anak buahnya, dan sebagai orang dewasa aku menolak traktirannya. Memintanya untuk split bill atau lebih baik aku saja yang mentraktir agar tidak terjadi kesenjangan. Brad lalu berargumen kalau dia juga kaya dan memiliki penghasilan yang mungkin lebih banyak dariku, tentu tidak bisa dibuktikan karena kita sama-sama tidak perlu menunjukan rekening masing-masing. Mbak kasir memandangi kami bergantian sambil menggeleng dan tersenyum seolah tingkah kami kekanakan. Sejujurnya aku juga merasa kekanakan, tapi Brad lebih kekanakan dariku karena jelas usianya tidak pantas berargumen dengan usiaku.

"Gini deh, makan selanjutnya kamu yang traktir." kata Brad seolah itu solusi yang terbaik, diikuti dengan anggukan mbak kasir. Setelah itu, dia segera memberikan kartu debit untuk membayar sebelum aku mengatakan argumenku. Terpaksa aku menerima traktirannya, sambil berpikir kalau makan-makan lainnya akan mungkin terjadi. Rasanya aku tidak tertarik untuk melakukan ini lagi, tapi aku tidak mengatakan apa-apa daripada menyakiti hatinya.

My Oppa Is Younger Than MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang