Chapter 5 Kakek Dua Cucu

445 33 8
                                    

Bagaimana puasanya? Masih lancar?
Selamat menunaikan ibadah puasa bagi kalian yang menjalankannya.

******

“Kamu beneran mau sama lelaki itu?” tanya Anis pada sang putri setelah Anwar pergi dari rumah mereka.

Kini hanya ada Anis, Maya dan keponakan Maya.

“Emang, Emak kenal sama orang itu?” Maya memang sama sekali tidak tahu siapa pria yang bernama Diman tersebut.

“Ya, kenal lah. Orang tiap sore dia beli pecel ayam di depan sana sama cucunya,” tutur Anis.

Deg!

Cucu? Jadi lelaki itu sudah punya cucu? Maya terdiam sesaat.

“Dih, masa Bibi mau sama kakek-kakek, sih,” kompor keponakan Maya.

“Anaknya yang paling besar mungkin seusia kamu, May. Cuma dia udah nikah, udah punya dua anak,” lanjut Anis.

Wanita paruh baya itu tampak tak setuju dengan keputusan putrinya.

“Zaman sekarang kan, banyak orang yang nikah diusia muda, pasti banyak juga yang menjadi kakek tapi masih belum tua banget.” Maya mencoba meyakinkan hatinya, benar kan, di zaman ini, banyak orang yang menikah di usia yang terbilang masih belia. Sehingga banyak orang tua yang punya cucu diusia yang belum terlalu tua.

Secara tidak langsung dia sudah memberi lampu hijau pada Diman. Tidak mungkin Maya menarik kata-katanya saat ini pada Anwar.

“Terserah kamu lah, kalau itu yang ada di pikiranmu.” Anis tidak bisa ngomong apa-apa lagi. Ini keputusan anaknya. “Masa nanti baru nikah udah punya cucu.”

“Iya, Bibi. Masa Bibi langsung jadi nenek, sih.” Keponakan Maya sepertinya kurang setuju dengan keputusan Bibinya.

“Ya, mau gimana lagi.” Maya menghela nafasnya, semuanya sudah terjadi, dia terlanjur bilang Iya, dan memberi harapan pada pria itu.

“Semoga kamu tak menyesal dengan keputusanmu, May,” batin Maya.
Wanita itu terus meyakinkan hatinya jika ini keputusan yang terbaik. Lagi pula, dia belum bertemu dengan Mang Diman ini.

***

Beberapa hari berlalu.

Maya belum bertemu kembali dengan Anwar, dia yakin jika Anwar sudah berbicara dengan Diman. Saat sedang memasak, orang yang di tunggu Maya akhirnya datang.

“Bapak udah bilang sama Diman, tuh orang nya sedang membeli pecel ayam di depan. Kalau kamu mau lihat orang itu, keluarlah,” ujar Anwar.

Maya yang sangat penasaran dengan sosok Mang Diman, akhirnya keluar rumah. Dia lalu duduk di teras rumahnya. Kebetulan tepat di depan rumah Maya ada tukang pecel ayam, kalau sore hari suasana depan rumahnya cukup ramai.

“Bapak pergi dulu, ya.” Setelah mengatakan tujuannya, Anwar kembali pergi, entah apa yang sudah laki-laki itu katakan pada Diman.

“Bagaimana sekolahmu hari ini, Na?” Maya memulai obrolan dengan anak tetangganya yang kebetulan rumah mereka berdekatan.

“Biasa aja. Ga ada yang seru,” jawab Nina.

Untuk menghilangkan rasa gugup, Maya mengobrol dengan Nina tentang banyak hal, sambil melihat ke arah tukang pecel.
Cukup lama Maya dan Nina ngobrol, hingga datang seorang laki-laki berbadan subur, pria itu langsung duduk di samping Maya.

“Apa kabar?” tanya laki-laki itu pada Maya. Setelah melihat orangnya secara langsung, Maya ingat dengan pria paruh baya itu.

“Alhamdulillah, baik,” jawab Maya, dia agak gugup. Sambil terus mencuri pandang memperhatikan penampilan lelaki di sampingnya.

“Boleh, main?” tanyanya lagi.

Maya mengangguk, “Boleh.”

Maya sendiri bingung dengan dirinya. “Apa dia laki-laki yang akan menjadi pendampingku?” batin Maya.

Maya tahu jika orang ini pasti yang bernama Diman. Di lihat dari penampilannya, laki-laki itu berkulit sawo matang seperti kulit orang Indonesia pada umumnya, perawakannya tidak terlalu tinggi dan perutnya seperti orang hamil alias berbadan subur.

Tidak banyak percakapan antara keduanya dipertemuan pertama mereka. Maya malah kembali ngobrol dengan tetangganya. Cukup lama Diman berada di sana, kemudian pamit pergi.

“Gimana pendapatmu tentang orang itu?” tanya Maya pada tetangganya. “Dia mau sama aku,” lanjutnya.

“Apa?! Mau gimana?!” seru Nurma, sahabat Maya yang kebetulan sedang main disana juga.

“Ya gitu, katanya mau dekat sama aku,” jawab Maya polos.

Nurma menatap sang sahabat tajam, “Kamu sudah gila, May?! Kok mau, sih, sama kakek-kakek!”

Maya yakin jika Nurma pasti kenal dengan Diman dengan baik.

“Ya ampun, Maya. Laki-laki itu udah tua, kenapa kamu menerimanya?!” Tercetak jelas di wajah ibu dua anak itu jika dia tidak setuju sahabatnya menikah dengan kakek dua cucu itu.

“Bapakmu yang ngenalin dia sama aku.” Ya, Nurma ini putri kandung Anwar.

“Jangan mau lah, May. Emang ga ada laki-laki lain apa yang lebih muda?” timpal tetangga Maya.

“Benar, May. Duda sih duda, tapi dia udah punya cucu, apalagi anaknya, behhh. Kalau kamu tahu sifat mereka ...,” Nurma bergidik ngeri.

“Emang kenapa dengan anaknya?” tanya Maya penasaran.

“Kamu emang mau punya anak tiri judes?!”

“Emang siapa anaknya?”

“Si Wida itu, loh. Orang kampung sebelah.”

Hah?! Sekarang Maya ingat dengan si Wida ini. Ya, usianya satu tahun lebih muda dari Maya, dia adik kelas Maya dulu di SD.

“Lagian ya, tuh, aki-aki ganjen banget, istrinya juga baru meninggal kemarin. Masa udah ngebet nyari yang baru,” ujar Nurma lagi.

“Apa?!”

Yang Maya tahu lelaki itu duda, tidak menyangka jika istrinya baru saja meninggal.

“Iya, belum juga ada seratus hari meninggal. Eh, ini udah nyari pengganti. Emang dasar tuh aki-aki.”

Satu fakta yang membuka mata hati Maya. Kuburan istrinya masih basah, dan pria itu sudah sibuk mencari istri baru?

“Pak Anwar ga bilang kalau istrinya baru meninggal, dia cuma bilang jika Mang Diman itu seorang duda.”

Jika tahu dari awal kalau istri Diman baru saja meninggal dunia, mungkin Maya tidak akan langsung menerima lelaki itu untuk mendekatinya.

“Lagian kok bisa sih, Bapak kamu ngejodohin Maya sama aki-aki.”
Tetangga Maya kesal sama Anwar karena sudah menjadi comblang Diman dan Maya.

“Tau, tuh. Duda boleh, tapi ingat umur, dong. Aki-aki udah punya cucu kok, di kenalin sama Maya,” gerutu Nurma.

“Please. Kamu jangan mau ya, sama tuh orang,” Nurma berjanji akan ngomong pada ayahnya, kenapa memperkenalkan Maya pada si Diman.

“Tapi terserah kamu sih, May. Kalau kamu sreg sama tuh orang. Kan kamu yang mau jalanin,” ujar tetangga Maya.

“Apaan! Jangan mau, May. Emang ga ada laki-laki lain apa?” Nurma tetep pada pendiriannya. “Aku kasihan sama kamu, karena apa? Anak-anaknya tuh lelaki, ga banget deh. Nanti kamu yang tersiksa.”

“Emang sih, kamu yang akan ngejalani. Tapi sebagai sahabat …, aku ga setuju kamu sama dia.” Nurma menatap lekat sahabatnya.

“Terus aku harus gimana, Ma. Aku terlanjur bilang, Iya. Aku juga ga enak sama bapak kamu jika sekarang aku tiba-tiba bilang ga mau sama Mang Diman.”
Saat ini Maya benar-benar dilema setelah mengetahui sedikit tentang kehidupan Diman. Selain umur mereka yang terpaut jauh, belum lagi katanya anak-anak pria itu yang judes nya ga ketulungan, lalu kenyataan bahwa istri pria itu baru saja meninggal dunia. Almarhumah pergi belum ada seratus hari.

Bersambung,

Yang penasaran sama kelanjutan cerita Maya, sekarang udah ada di ebook, ya.

Apakah Maya benar-benar pasrah menerima takdirnya menerima laki-laki paruh baya, sebagai suaminya?

Link ebook cerpen ini, ada di bio profile ku, jika kalian mengalami kesusahan dalam pembelian, bisa menghubungi langsung penerbitnya di +62 888-0900-8000

Salam sayang, THB
Kamis, 30 Maret 2022

MY DESTINY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang