Chapter 6 Menerima

482 33 1
                                        

Selepas magrib Maya kaget saat melihat pria paruh baya itu sudah ada di depan rumahnya. Maya tidak menyangka jika Diman akan datang malam ini ke rumahnya.

Dengan menggunakan baju koko berwarna putih dan kain sarung, tak lupa di tangannya sebuah tasbih, dengan percaya diri duda tiga anak itu duduk di bangku yang ada di teras rumah Maya.

Maya gelagapan, dia tak tahu harus bagaimana. Ini pertama kalinya Maya kedatangan tamu laki-laki yang sengaja ingin menemuinya. Di saat hatinya sedang bimbang, lelaki itu malah datang ke rumahnya secepat ini.

“Aku harus bagaimana, Han?” tanya Maya pada adiknya, Rayhan. Wanita itu sudah mengatakan pada ibunya jika Diman datang, namun sang ibu hanya acuh tak acuh. Karena sejak awal dia sudah mengingatkan Maya siapa Diman itu.

“Bikinin kopi aja dulu,” jawab Rayhan. “Terus ngobrol dengannya,“ saran Rayhan.

“Aku mau telepon A Robi sama paman Syarif. Biar mereka yang ngomong.”

Robi adalah kakak pertama Maya dan Syarif adalah paman mereka, tepatnya adik kandung Anis.

Setelah mengirimkan pesan pada dua lelaki tersebut, Maya kemudian membuat kopi untuk tamunya.

Setelah membuat kopi, Maya tidak duduk dengan Diman. Dia menunggu Robi dan Syarif datang ditempat agak jauh dari tempat Diman berada sekarang.

***

"Bagaimana, Paman? Udah lihat, kan. Laki-laki itu yang ingin ngajak serius sama aku,” tanya Maya setelah Diman pergi. Robi dan Syarif juga sudah berbicara empat mata dengan Diman.

“Kalau menurut Paman, dia terlalu tua buat kamu, kalau bisa, carilah pria yang sepantar denganmu atau tak jauh di atasmu.” Sebagai seorang paman, pasti Syarif ingin keponakannya itu mendapatkan laki-laki soleh tentunya dan yang lebih muda dari Diman.

“Kalau Aa mah terserah kamu saja, yang penting dia baik, sayang sama kamu dan bertanggung jawab,” ujar Robi.

Entah apa yang ada di pikiran sulung tiga bersaudara itu. Mengizinkan adik perempuannya menikah dengan pria baruh baya.

“Kalau Paman, mah. Tetap ga setuju.” Syarif keukeuh dengan pendiriannya. Sampai kapan pun dia tidak akan merestui kakek dua cucu tersebut menikah dengan keponakannya.

“Coba dipikirkan kembali matang-matang. Memang cinta tak mengenal usia. Tapi itu kata orang yang sedang bucin. Sedangkan kamu, jangan khawatir soal jodoh, jangan terlalu terburu-buru mengambil keputusan.”

Maya semakin bimbang, “Iya, aku ngerti, lagian, Mang Diman belum bilang apa-apa, dia hanya sekedar main ke rumah.”

Memang benar, saat ini laki-laki itu belum berbicara ke arah yang lebih serius, tapi semua orang tahu jika dia mempunyai rencana melanjutkan perkenalan ini ke jenjang berikutnya.

***

Sejak malam itu, Diman sering datang ke rumah Maya. Entah itu di pagi hari, pura-pura mengantarkan sarapan, atau sore hari sambil mbeli pecel ayam yang berada di depan kediaman Maya.

“Bibi mu Ada?” tanya Diman pada keponakan Maya. Terlihat laki-laki itu membawa beberapa buah nanas di tangannya, sepertinya dia baru keluar jalan-jalan.

“Bibi lagi tidur,” jawab Lisa, gadis yang mulai beranjak dewasa.

“Saya bawa nanas untuk bibimu.” Pria itu lalu memberikan nanas pada Lisa.

Lisa kemudian membawa oleh-oleh dari Diman ke dalam rumah sambil memberitahu bibinya jika pria itu datang.

“Bi, ada orang itu di luar,” ujar Lisa dengan suara pelan. Sebenarnya Maya tidak tidur, bahkan dia tahu kedatangan Diman. Hanya saja Maya tidak ingin menemuinya.

“Males, ah. Suruh balik aja!”seru Maya. Malam ini dia sudah memutuskan ingin mengakhiri semuanya, dia akan bilang jika dia tidak mau lagi melanjutkan perkenalannya dengan Diman.

“Kok, gitu. Dia bawa nanas, loh, Bi.”

“Bodo amet.” Maya sengaja tidak keluar kamar supaya duda itu cepat pergi dari rumahnya.

“Ihh, Bibi mah, ngeselin.” Lisa menghentakkan kakinya lalu pergi dari kamar Maya.

Beberapa waktu kemudian terdengar suara motor Diman meninggalkan rumah Maya, membuat wanita itu bernafas lega. Sepertinya Lisa memberitahu Diman jika Maya tidur pulas dan tak bisa dibangunkan.

***

Malam ini semua keluarga Maya berkumpul di rumahnya. Membahas tentang Maya dan Diman. Maya sudah bilang jika dia tidak mau dengan pria itu dan meminta kakaknya berbicara pada Anwar bahwa Maya tidak ingin melanjutkan hubungan ini.

“Emak ga tau harus ngomong apa,” Anis menghela nafasnya. “Sejak awal kamu sudah bilang tidak ingin memilih-milih pasangan, saat pak Anwar datang padamu, itu artinya sama saja kamu memberi lelaki itu lampu hijau untuk mendekati kamu. Lalu sekarang, tiba-tiba kamu ingin menyetopnya? Memberinya lampu merah agar tidak mendekati kamu lagi?” Mata Anis berkaca-kaca. Menatap putra putrinya.

“Bagaimana kalau dia sakit hati sama kamu? Terus melakukan sesuatu yang buruk terhadap keluarga kita khusunya kamu, May? Bukan Emak shuudzon, hanya saja, ketika orang sakit hati, biasanya mereka akan nekad melakukan hal-hal yang membuat hati mereka puas. Kalian ngerti kan?”
Airmata perempuan setengah abad itu mulai turun membasahi pipinya.

“Dan Emak sangat takut semua itu terjadi.”
Maya tertunduk diam, benar kata sang ibu, kenapa dulu dia langsung memberi laki-laki itu lampu hijau untuk mendekatinya. Sekarang menyesalpun tiada guna. Dia juga takut jika apa yang dikatakan emaknya terjadi.

“Kenapa kamu tiba-tiba ingin menghentikan dia mendekati kamu?” Saat Anis berbicara, tidak ada yang berani memotong kalimatnya.

“Apa karena anaknya? Yang kata orang-orang sangat judes?”
Memang itu salah satu alasanya, namun ada yang lebih penting, yaitu umur mereka.

“Itu kan kata orang-orang diluar sana, sedangkan kita tidak tahu kebenarannya, benar judes atau tidak. Mungkin saja anaknya memang judes, tapi kalau kita baik sama mereka, semuanya bisa berubah.”

“Emak ngomong gini bukannya Emak setuju kamu sama laki-laki itu. Saat kami bilang tidak akan memilih-milih pasangan, itu artinya kamu menerima duda itu, hati Emak sakit. ‘Ya Allah apa ini jodoh putri hamba?’ Emak juga ingin kamu menikah dengan laki-laki yang sepantar denganmu, maksimal seusia Robi- lah. Bukan kakek dua cucu.”

Anak-anak Anis tahu apa yang ditakutkan ibu mereka jika Maya menghentikan Diman mendekati Maya.
Apalagi Maya, semua ini terjadi karena dirinya sendiri. Sekarang mau tidak mau dia harus menerima Diman.

“Kalian tahu, keluarga orang itu ngerti ilmu. Makanya Emak benar-benar takut. Takut jika kamu memutuskannya sekarang, lalu dia sakit hati terus dia membuatmu tidak menikah dengan laki-laki manapun. Menjadikanmu perawan tua selamanya.”

Di daerah Maya memang masih kental dengan hal-hal berbau mistis, masyarakat disana juga mempercayai hal seperti itu termasuk Anis. Sudah banyak contohnya, Cinta di Tolak, Dukun Bertindak.

“Insha Allah semuanya tidak akan terjadi, Mak. Kita punya Allah.  Jangan takut hal seperti itu,” ujar Ratna istri Robi.

Wanita itu memang sangat tidak setuju jika sampai Maya menikah dengan Diman. Robi yang awalnya setuju juga dia omelin, katanya, “Kamu ga sayang sama adikmu? Kenapa kamu setuju Maya menikah dengan laki-laki yang pantas jadi ayahnya!”
Dia sampai menangis meratapi nasib Maya jika pernikahan itu benar-benar terjadi.

“Enggak, Teh. Emak sangat takut.” Anis menangis tersedu. Bukan ia merestui sang putri menikah dengan kakek dua cucu itu, hanya saja, ini kesalahan Maya. Jadi, mau tidak mau dia menginginkan Maya melanjutkan hubungan ini.

“Emak tenang saja, semuanya pasti akan baik-baik saja kalau Maya menghentikan laki-laki itu sekarang.” Ratna ini memang tipe wanita yang punya pendirian kuat tidak mudah goyah. 

Anis menggeleng, “Maya tidak boleh memutuskan Diman sekarang, titik! Ini demi kebaikan kita semua. Kecuali …, jika keluarga dia tidak setuju. Kita bisa mundur.”

Tidak ada yang bisa membantah ucapan Anis. Mungkin sekarang Maya harus mulai belajar menerima Diman, meski hati kecilnya menolak. Tidak ada cinta untuk laki-laki itu, dia hanya pasrah menerima takdirnya.

“Baiklah, aku akan melanjutkan hubungan ini,” final Maya.

Lagipula, Diman tidak terlalu buruk, soal finansial sudah pasti terjamin, hanya saja Maya harus bisa mendekati ketiga anak Diman dan mengambil hati mereka.

“Mulai saat ini, kamu harus tutup telinga dari omongan orang-orang. Biarkan mereka mau bicara apa. Kamu harus konsisten, dari awal kamu sudah bilang Iya. Jadi, sekarang kamu harus menanggung akibatnya,” tutur Anis.

“Ya sudah, jika ini keputusan yang terbaik buat kita semua.” Robi juga tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi sang ibu sudah berkata demikian. Dia juga harus merelakan adik tercintanya menikah dengan laki-laki berusia setengah abad lebih.

“Kamu sudah siap, May?” Maya mengangguk. “Nanti Aa akan bilang sama pak Anwar untuk berbicara lagi dengan Diman mengenai kelanjutan hubungan ini.”

Bersambung,

Yang penasaran sama kisah Maya, part lengkapnya sudah bisa di baca di playstore, ya!

Selamat menunaikan ibadah puasa.

Sabtu, 1 April 2023
THB


MY DESTINY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang