O1

9 4 0
                                    

Suasana makan malam hari ini cukup hening. Hanya terdengar suara alat makan beradu untuk memecahkan keheningan. Ada banyak menu makanan kesukaannya tersaji hari ini, namun tidak ada satupun yang menggugah selera makan perempuan bersurai pendek itu, Gladis.

Ia hanya memainkan alat makan di tangannya dengan tatapan kosong, sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui alasan mengapa ia tiba-tiba disuruh menggunakan pakaian terbaiknya. Tidak juga penasaran mengapa Ibunya memesan jasa perias untuk menghias wajahnya yang pucat -namun kini terlihat lebih merona berkat makeup yang digunakannya.

Sejak datang ke restoran, Gladis bahkan sama sekali tidak mengeluarkan suaranya. Hanya senyuman formal yang terpasang untuk menghormati satu keluarga besar yang juga ikut dalam makan malam bersamanya hari ini. Paling tidak ia masih tau cara menghormati tamu ayahnya hari ini.

Gladis juga tidak ingin tahu mengapa ada lelaki lain yang sedari tadi terus mencuri pandang ke arahnya.

Ia lelah. Hanya ingin segera kembali ke kamarnya dan tidur.

"Menyambut 35 tahun pertemanan kita." suara Ayahnya memecah keheningan. Diangkatnya gelas wine itu yang kemudian diikuti oleh semua anggota keluarga lain -tidak terkecuali Gladis.

Tak lama suara gelas saling beradu terdengar, kemudian disusul dengan suara gelak tawa. Ramai, kini suasananya kembali menjadi ramai.

Tapi Gladis tetap merasa sepi.

"Sudah lama sekali kita gak kumpul kayak gini ya, Brama. Sudah berapa tahun?"

"Sudah lama sekali, terakhir sepertinya dua tahun lalu? Ketika putri bungsumu masuk rumah sakit."

Gladis tetap diam menunduk -menatap makanannya yang masih utuh. Masih tidak tertarik untuk ikut mengobrol, meskipun jelas-jelas teman Ayahnya itu sedang menyinggung pembicaraan tentang dirinya.

"Semuanya baik-baik saja kan, Tama, semenjak saat itu? Gladis tidak ada yang terluka lagi?" lanjut Brama, matanya melirik anak dari sahabatnya itu, Gladis.

"Semuanya baik, Brama. Gladis gak pernah ngeluh sakit apapun, dia baik." sahut Tama, senyum hangatnya terukir seiring dengan matanya yang turut menatap putri bungsunya itu.

Merasakan semua atensi kini beralih kepadanya, Gladis mau tak mau mengangkat kepalanya dan tersenyum sopan. Dia merasa canggung sendiri, masih tidak terbiasa berada di tempat selain kamarnya. Masih tidak terbiasa mendapat pandangan dari orang lain selain keluarganya. Hal ini membuat ia sedikit tidak nyaman.

Berniat mengalihkan pandangan, tatapannya kini malah beradu dengan sosok lelaki di hadapannya -yang ia sadari sejak tadi selalu meliriknya dalam diam.

Lelaki di depannya ini pasti anak dari Pak Brama, pikir Gladis.

Seketika muncul rasa penasaran kepada lelaki di depannya ini. Lelaki yang kini mengenakan jas, rambut hitam legamnya tertata rapi, wajahnya yang entah mengapa memberikan kesan dingin dan arogan. Mengapa lelaki ini terus melirik ke arahnya? Apa mungkin, lelaki ini juga sama sepertinya? Terpaksa harus hadir di acara reuni dua keluarga ini?

"Saya senang putri kamu sudah lebih baik, Tama. Karena itu kita semua kumpul disini, kan?"

Perhatian Gladis akan lelaki tersebut terbuyarkan oleh ucapan Brama, kemudian tergantikan oleh kernyitan tipis di dahinya. Ia mengalihkan pandangannya kembali, menatap ayahnya serta Brama dengan tatapan bingung.

Bukankah mereka disini karena urusan bisnis? Mengapa ia disebut menjadi alasan kedua keluarga ini berkumpul?

Tama melirik putri bungsunya. Senyum hangat dan lebarnya masih terpasang di wajahnya sambil berkata, "Benar. Kita semua disini untuk melangsungkan pertunangan antara putri bungsu saya, Gladis, dengan putra semata wayang kamu, Jody."

Detik itu juga suara tepuk tangan memenuhi indera pendengaran Gladis. Saking terkejutnya, perempuan itu bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Apakah ia harus berteriak, menentang keputusan sepihak ayahnya itu? Atau ia harus tersenyum -karena dengan pertunangan ini ia tidak perlu lagi memikirkan lelaki brengsek yang telah merusak hidupnya.

Christian.

Menyerah untuk memberikan reaksi yang normal, akhirnya Gladis kembali memilih untuk diam, tidak memberikan reaksi apapun. Bahkan ketika semua anggota keluarga itu memberikan ucapan selamat padanya, ia tidak tersenyum. Hanya duduk, terdiam, dan menerima semua keputusan yang telah diberikan kepadanya.

Seperti boneka.

Namun entah keinginan dari mana, Gladis kemudian mengangkat kepalanya. Matanya menatap lurus, tepat di hadapan lelaki yang kini sudah resmi menjadi tunangannya, Jody.

Jody Dhiratama Bramastya.

Sama seperti Gladis, lelaki itu juga ternyata sedang menatap dirinya. Tatapannya tidak bisa ia artikan. Lelaki itu juga tidak memberikan reaksi apapun. Gladis tidak dapat menebak apa yang sedang dipikirkan lelaki yang baru ia temui hari ini, dan dalam beberapa detik terakhir sudah resmi menjadi tunangannya.

Yang Gladis ingat malam itu, tepat di jari manisnya, kini sudah tersemat sebuah cincin tunangan sebagai pengingat bahwa ia harus keluar dari masa lalu.

Ia harus pergi dari kehidupan lamanya bersama Christian.

Mantan kekasihnya.


♡♡♡


a/n :

Yap, wdyt about the first chapter of this story? Don't forget to click the star button below, ya!

Meet My Fiancée x JOHNNY NCT [ 2 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang