O3

8 4 3
                                    

Gladis bukan perempuan yang takut ketika harus beradu pandang dengan seseorang.

Dulu, sorot matanya yang berbinar mampu membuat Christian jatuh hati. Setiap kali mereka berpandangan, Christian akan langsung tersenyum dan menangkup pipinya lembut. Mengatakan bahwa tatapan Gladis berbahaya, karena akan semakin membuatnya jatuh cinta.

Namun, kini ia tidak yakin apakah sorot matanya masih tetap sama seperti dulu. Tidak, ketika ia juga dihadapkan oleh tatapan kosong dari Jody yang kini menatapnya.

“Gimana hari pertama kamu?”

“... baik."

Sepi lagi. Mereka berdua kembali makan dalam diam.

Makan siang bersama merupakan agenda yang kini harus mereka lakukan setiap hari, atas perintah Ayahnya. Sepertinya Tama berharap anaknya bisa menjadi lebih akrab dengan Jody.

“Kinan bantuin kamu, kan?”

“Iya.”

Jody mengangguk pelan, kembali memakan bekalnya. Ia sudah diberitahu bahwa perempuan yang menjadi calon istrinya ini memang cukup pendiam sehingga ia mungkin akan sedikit kesusahan saat mendekatinya.

Namun, Jody tidak menyangka berbicara dengan Gladis lebih sulit dari perkiraannya.

“Saya ingin minta maaf untuk pertunangan kemarin.”

Gladis menghentikan kegiatan makannya. Ia terdiam, ingin mendengarkan lebih lanjut apa yang akan dikatakan oleh lelaki tersebut.

“Saya tidak punya hak untuk menolak pertunangan itu.” lanjut Jody lagi. Kini sama seperti Gladis, ia sudah tidak lagi melanjutkan makan siangnya.

Gladis balas menatap Jody, masih dengan wajah tanpa ekspresinya, “Kenapa?”

“Karena saya bukan anak kandung mereka.”

Ucapan santai Jody membuat Gladis membesarkan matanya terkejut. Hanya seperkian detik, sebelum perempuan itu mengalihkan tatapannya ke arah lain —menghindari tatapan Jody.

Jody tersenyum tipis, perempuan di hadapannya baru saja menampilkan ekspresi lain selain ekspresi datarnya itu. Apa ini sebuah kemajuan?

“Sebenarnya anak kandung orang tua saya, Dylan, meninggal 3 bulan setelah dia lahir. Disaat yang sama, mereka akhirnya mengadopsi anak lain untuk meneruskan keturunan mereka.” Jelas Jody, berbicara dengan santai, seakan-akan rahasia ini bukanlah rahasia besar.

“Sejujurnya saya tidak tahu apakah saya sial atau beruntung karena saat itu dibuang oleh orang tua kandung saya, dan kemudian diadopsi karena umur saya dengan Dylan tidak berbeda jauh. Tapi apapun itu, saya sudah berada disini sekarang.”

Jody menatap Gladis lekat, “Ini rahasia besar, Gladis. Gak ada satupun, kecuali keluarga besar Brama yang tahu tentang rahasia ini.”

Selama bercerita, Jody tidak melepaskan sedetikpun pandangannya dari Gladis. Ingin menangkap ekspresi apa yang akan perempuan itu keluarkan setelah mendengar ceritanya.

Ia berpikir, Gladis mungkin akan menatapnya kasihan. Menatapnya jijik, karena ternyata tunangannya bukan merupakan keturunan langsung keluarga Brama melainkan hanya seorang anak pungut.

Namun tidak sesuai dugaan, ekspresi Gladis kembali datar. Perempuan itu diam mendengarkan. Gladis tetap diam menatapnya walau sorot mata perempuan itu tidak terlihat hidup.

“Kenapa kamu kasih tau saya tentang ini?”

“Karena kamu calon istri saya.”

Suasana di ruangan Jody seketika menjadi hening.

Gladis merasa aneh mendengar ucapan itu keluar dari mulut Jody, sementara Jody sendiri juga merasa aneh karena mengucapkan kalimat yang menurutnya sedikit menggelikan.

“Kamu sebentar lagi akan jadi bagian dari keluarga Brama, jadi saya pikir paling tidak kamu harus tau tentang siapa saya yang sebenarnya. Karena, Gladis, saya tidak bisa menolak perjodohan ini. Ini adalah cara saya untuk membalas budi pada keluarga saya. Tapi, kamu bisa. Kamu punya hak untuk menolak perjodohan ini.”

Gladis bisa merasakan keseriusan dalam ucapan Jody barusan. Bahkan, ia baru saja mendengar rahasia yang mungkin ayahnya saja tidak mengetahui hal ini. Apa ini berarti Jody tidak ingin melanjutkan pertunangan dengannya?

Apa ia sungguh-sungguh bisa menolaknya?

“Saya–”

“Gak akan ada yang bisa nerima kamu kayak aku, Gladis.. Gak akan ada yang bisa mencintai kamu sebesar ini, selain aku. Kamu punyaku seorang, Ma Chérie.”

Gladis mengernyit, kepalanya terasa sedikit sakit. Kilasan ingatannya dengan Christian dulu membuat dadanya tiba-tiba terasa sakit.

Tangannya seakan kehilangan kekuatan sehingga ia harus mengepalkan tangannya dengan kuat. Gladis menjadi linlung, dan Jody bisa menangkap semua keanehan gadis itu.

“Gladis?”

Panggilan itu membuat Gladis menemukan kembali fokusnya. Ia terdiam sejenak sebelum membalas tatapan Jody dan menjawab,

“Saya pikir pembicaraan kita sampai disini dulu. Permisi.”

Gladis memutuskan untuk pergi dari ruangan Jody tanpa menghabiskan makan siangnya, meninggalkan Jody yang masih bertanya-tanya.

Sebenarnya, ada apa dengan perempuan itu.

♡♡♡

Meet My Fiancée x JOHNNY NCT [ 2 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang