Chapter 4

17.6K 54 0
                                    

AKU mengambil waktuku setelah membilas peralatan makan malam dan mengambil cangkir baru untuk membuat kopi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


AKU mengambil waktuku setelah membilas peralatan makan malam dan mengambil cangkir baru untuk membuat kopi. Aku menatap cangkirku yang mengepul ketika aku menuangkan krim ke dalam kopi. Hanya secangkir karena Paul sendiri sudah pulang dan Rue tak keluar dari kamarnya.

Aku berjalan melewati dapur begitu aku selesai mengaduk minumanku dan duduk di depan sofa dengan televisi dalam keadaan menyala. Menemukan tayangan yang kutunggu belum muncul, aku menyeruput kopi sekali teguk lalu duduk bersandar. Meringkuk mengamati layar tanpa fokus hanya karena aku belum memiliki hubungan dekat dengan serial baru yang disiarkan saluran tv pukul sepuluh malam.

Sampai ketika aku terkejut kecil karena seseorang anak muda menyapaku dan mengambil posisi di sebelahku. Dia menatap televisi selama dua detik sebelum matanya menyelidikku. "Apa ada keluhan?"

Bagaimana mulut Rue melengkung membentuk senyum, kutahu dia adalah idola masa depan. Setidaknya untuk saat ini dia merupakan pujaan di high school. Aku menjelingkan mata padanya. "Agak konyol rasanya bahwa aku sebal karena serial favoritku mulai tayang tak tepat waktu."

"Tapi kau selalu membuat kopi pada waktu yang tepat." Rue mengulurkan tangan meraih cangkirku dan menyesap minumanku dengan kelegaan besar. Seolah-olah itu telah menguapkan apa pun masalahnya.

Rue menurunkan cangkir dari bibirnya. "Jika kau menanyakan hal yang sama padaku, akan ada saja yang akan kukeluhkan padamu."

Aku mendorong punggungku ke kanan agar aku bisa benar-benar melihat wajahnya. "Okay, katakan padaku apa yang paling menganggu pikiranmu."

Alisnya terangkat menatapku setelah dia menaruh kembali wadah kecil itu ke meja. "Apa kau yakin?" Dia menggeleng. "Apa kau benar-benar yakin?"

Aku paham kalau dia sedang serius. Tetapi aku tidak bisa terlalu serius seperti itu kalau aku ingin terus bisa melangkah di kota ini atau keraguan-keraguanku itu akan menjelma menjadi pencekal jalanku sendiri.

Aku butuh tersenyum. "Ketika aku merasa seperti itu, aku membutuhkanmu meyakinkanku agar aku merasa yakin."

Jemariku tiba di bahunya dan mencuilnya pelan. "Tenanglah. Jika aku mendapati rumah yang menyeramkan dan kupikir tak mungkin untuk bertahan di sana dalam hitungan menit, itu tidak akan mencegahku untuk tidak lari dari sana. Kadang film horor menegangkan. Tetapi tidak cocok bagiku yang masih menyukai dunia gemerlap."

"Come on," Aku bersorak sendiri di sofa. "Rumah di mana tempat perkumpulan para agen rahasia dan mata-mata, itu baru menegangkan!"

Rue tersenyum saja namun matanya masih lugas menatapku. "Mires, kau tahu bukan itu yang kumaksud. Dia kaya raya dan bisa melakukan apa saja."

Sejak awal matanya berkilat, aku sudah tahu kalau dia akan mengajukan retorika mengenani tawaran pekerjaan yang menghampiriku. Dia sangat pintar meniru bagaimana diriku berbicara.

"Aku sudah biasa menghadapi pria kaya raya." sergahku padanya.

Rue menjawabku dengan cepat, "Dan kau mengeluh karena mereka menggodamu." kemudian bibirnya mengerut sebelum kembali berbicara. "Aku tidak yakin calon bosmu tidak akan tertarik denganmu. Bahkan teman-temanku menitip salam."

Aku menyeringai. "Wow." Agak takjub mengetahui remaja-remaja pria berpipi merah di luar sana mengagumi diriku. "Siapa? Kau bukan teman yang baik karena tidak pernah menyampaikannya."

Tanganku menepuk lengannya. "Butuh keberanian untuk bisa mengungkapkan perasaan suka terhadap seseorang, Rue."

Rue mendesah. Lalu ikut bersandar namun cepat-cepat dia mencondongkan tubuh untuk menghadapku. "Mereka butuh kerja keras. Setidaknya mereka harus lulus high school dan mendapatkan pekerjaan."

"Untuk menghidupimu. Setidaknya begitu." kata Rue, menatapku tulus. "Kau pantas bahagia, Mires."

Suaraku keluar lembut karena menatap matanya. "Kita semua." Dadaku berdesir mendengar Rue memikirkan kebahagiaanku hingga sejauh itu. Aku tahu dia sudah tumbuh sangat cepat, tetapi persoalan seperti itu seharusnya tidak mengganggu pikirannya.

Aku menutup mata sejenak. Ketika mataku mengerjap kembali, aku mendesah pada Rue. "Aku tidak yakin. Tetapi kalau kau yakin, aku bisa menghadapi apa pun."

Rue yang tampan tertawa kecil. "Miranda," Kadang-kadang aku menganggapnya sudah pantas untuk kujodohkan dengan tetangga sebelah yang memujanya karena pembawaan dirinya yang bijaksana, sangat memukauku.

"Aku tidak ingin menghalangimu untuk bekerja. Andai aku bisa, aku yang akan melakukan itu untuk kita semua—tetapi tentu kau akan memukul bokongku dengan sapu jika aku melakukan itu sebelum aku lulus."

Rue mendengus, meletakkan tangan di tanganku, dan meremasnya pelan. "Aku hanya ingin kau bisa mengatasi segalanya. Pria itu mungkin saja akan menganggumu. Apa kau yakin bisa terkendali berdekatan bahkan serumah bersama pria seseksi itu?"

Mulut Rue melengkung geli menatapku yang seketika melongo. Aku mengernyit padanya. "Di meja makan Paul hanya mengatakan dia seorang miliuner. Gosip apa yang dibisikkannya lagi padamu?"

"Ayolah, Miranda. Aku dan Paul seperti aku dan dirimu." gumam Rue, menegaskan sekali lagi seandainya aku lupa bahwa Paul juga seperti kakak bagi ketiga adikku.

Rue bangkit menjumput cangkir. Sesapannya membuatku ingin meredakan tenggorokanku yang tiba-tiba terasa kering. Pipiku memerah mengingat pria tampan dan seksi dan menggiurkan dan..... aku merampas cangkir di tangan Rue saat tak sanggup lagi membayangkan keindahan Cassilas Susnjar.

Rue menepuk pahanya seolah-olah dia hendak berdiri. "Yeah, Paul mengatakan kalau kau akan menyukai pria itu. Tetapi kau juga pernah sangat menyukai seseorang dan dia menyakitimu."

Aku mendesah setelah mengalirkan kopi yang lezat dari mulutku. "Rue, jangan khawatir. Aku tidak akan jatuh cinta padanya."

Rue mengangguk. "Aku ingin selalu melindungimu. Tetapi melihat kau dijaga seakan kau adalah permata terakhir di dunia, itu lebih melegakan untukku ketimbang menyesap kopi buatanmu di saat tugas-tugas sekolah menyerangku."

"Pria itu kaya raya dan matang, dia bisa melakukannya." Rue menambahkan.

Aku pun mengangkat satu tangan. "Okay, dia tipeku. Dan aku bukan tipenya."

Pipi Rue berkerut ketika dia tertawa lagi. Pemuda itu bangkit berdiri dari sofa dan menunduk memandangku. "Pria tidak punya tipe. Mereka hanya punya cinta dan gairah. Dia bisa saja membuat masalah, tetapi taklukan saja dia, Miresku yang cantik!"

Pipiku memerah. "Jerk, off you go. Kau seharusnya tidak berkata seperti itu pada kakakmu. Aku menjadi malu karena semua orang tampaknya menyukaiku."

Rue pergi dari sana begitu detik pertama serial kesukaanku dimulai. Aku tidak mengerti mengapa perasaanku berdebar seperti ini seolah-olah aku akan segera mendapatkan seorang pendamping yang akan menemani diriku di sepanjang hidupku. Aku menggeleng, tidak mungkin Cassilas Susnjar akan menyukai pelayannya sendiri dan menidurinya di kamar. Tidak mungkin.

*****

*****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
THIRSTY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang