Chapter 5

15.2K 48 0
                                    

KEESOKAN paginya ketika melangkah ke dalam kamar, aku mendengar suara pintu rumah diketuk dan seseorang menyerukan namaku dengan menggebu seakan hari ini adalah hari terakhirnya dapat berbicara sebelum dia membisu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


KEESOKAN paginya ketika melangkah ke dalam kamar, aku mendengar suara pintu rumah diketuk dan seseorang menyerukan namaku dengan menggebu seakan hari ini adalah hari terakhirnya dapat berbicara sebelum dia membisu.

Aku terpaksa menandak tumpukan seprei yang kubawa ke ranjang dan memikirkan waktu lain untuk melipatnya. Paul tampak sudah tak sabar ingin meluangkan waktunya untuk mengobrol denganku meski menit ini masih termasuk dalam hitungan jam kerjanya.

Sungguh menyenangkan bisa mencium aroma segar parfumnya ketika aku membukakan pintu. "Pukul sembilan seharusnya aku merapikan kain-kain yang kukeringkan kemarin." sapaku padanya di ambang pintu.

Pria bermata hijau itu tampil mengagumkan dengan setelan berwarna perak membalut tubuh jangkungnya. Seulas senyumnya yang hangat membuatku semakin jatuh cinta. Aku mungkin sudah membenci kesaksianku atas pesonanya itu apabila dia bukan teman terbaikku di dunia.

"Mulai besok kau akan mengerjakan itu dua belas jam lebih lambat." gumam Paul.

Aku bergidik tak menyangka bahwa sepagi ini Paul sudah merencanakan sesuatu. "Pukul sembilan malam? Aku bahkan tidak pernah selambat itu."

Paul maju selangkah, "Bahkan mungkin nanti kau akan sering terlambat. Kenikmatan akan membuatmu berlama-lama." Pria itu kemudian berderap dengan cepat menuju ruang tengah. Duduk di tengah sofa dan melipat kaki dengan santai.

"Kenikmatan? Terlambat? Apa maksudmu?" Aku bertanya setelah mendaratkan bokong di sudut sofa yang sama.

Paul menoleh dan mengerling. "Bagaimana kau bisa pulang tepat waktu sementara kau mungkin menghabiskan satu atau dua jam lagi untuk tidur bersama Cassilas."

"Apa?" Aku melototkan mata. Mendengar pengumumannya membuat bulu kudukku meremang. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaan bahagia itu apabila seranjang bersama spesimen jantan yang beraroma sangat nikmat.

Tampaknya Paul tidak mau menahan informasinya lagi. Dia mencerocos begitu saja. "Dia menginginkanmu bekerja di rumahnya selepas hari ini. Dimulai pukul sembilan pagi, selama dua belas jam, dan dibayar lima ribu dolar, dan mendapat biaya transport, dan bisa bercinta dengannya."

Aku tercengang sementara menyaksikan Paul tersenyum antusias mendahuluiku. "Apa?" Sekali lagi aku terkejut. "Besok? Kenapa secepat ini dan terkesan buru-buru? Aku masih ada di sini apabila kau datang lagi bulan depan dengan tawaran yang sama."

Paul mengangkat sebelah alisnya. "Bukankah katamu menginginkan pekerjaan secepat mungkin? Lagi pula siapa yang ingin selangkangannya membiru gara-gara menahan desakan gairahnya setelah melihatmu."

"Dia ingin kau bersamanya! Secepat mungkin dia ingin bisa menidurimu. Itu sudah pasti." Paul kemudian bersandar setelah menegaskan itu padaku.

Aku mencoba tetap tenang meskipun darahku berdesir. Memikirkan bergelung panas dan mencakar punggung Mr. Susnjar yang kokoh, menggigit seberkas kulit di lehernya, dan mendesah gemetar hanya karena kenikmatan yang menyerbuku terasa terlalu nikmat—membuatku roboh.

Punggungku tersandar di bantalan sofa. Aku menjepit satu jariku di antara gigi-gigiku. "Aku tak tahu. Aku tidak percaya kalau dia menyukaiku dan mau berhubungan denganku. Sekretarisnya saja mungkin lebih panas dan genit."

Kurasa Paul mengerti kegelisahanku. Kali ini dia menegurku teramat lembut. "Miranda, tadi aku hanya melebih-lebihkannya saja. Dia memang tidak memerintahkan agar kau juga mau tidur dengannya, tetapi siapa yang bisa menolak keseksianmu, baby girl?"

Paul mendekatkan diri padaku sehingga pahaku yang terbuka bersentuhan dengan celana bahannya yang lembut. "Baiklah. Jika kau tidak ingin merasakan dirinya merasuki dirimu dan menjalarkan getaran nikmat—"

"Paul," Aku menoleh frustasi memotong ucapan Paul.

Namun pria itu tetap menahan senyum. Lebih geli daripada sebelumnya. "Kau bisa pendekatan dulu dengannya. Atau nikmati saja hari-harimu di rumah itu tanpa ada gangguan pria mata keranjang seperti di tempatmu bekerja sebelumnya."

"Setidaknya kuyakin Cassilas Susnjar bukan pria mata keranjang. Jika dia menggodamu, itu karena dia mencintaimu. Jika dia menunjukkan sedikit godaan, itu karena dia merasa tak tahan lagi untuk menjadikanmu pendamping hidupnya."

Aku mengembuskan napas. "Fuck my life, baik kuterima. Tanpa angan-angan layaknya cerita dongeng di mana pelayan menemukan pangeran mereka—hanya sebatas pelayan. Sebenar-benarnya pelayan."

"Aku membersihkan rumah dan mendapat upah. Itu saja." sambungku lagi sebelum berputar dari meja di depan sofa dan berderap ke dapur untuk membuatkan Paul secangkir minuman.

Paul mengikik. "Kita lihat saja. Berapa kau ingin bertaruh? Separuh gajimu?"

Tanganku menyambar bantal dan melemparkannya pada Paul hingga membuat pria itu terbahak-bahak. Kutahu aku tetap akan mengambil pekerjaan itu. Tabunganku mungkin bisa membuat kami semua sementara bertahan. Tetapi itu tidak bisa lebih lama lagi. Demi hidupku serta hidup ketiga adikku berjalan baik, aku akan melakukannya. Aku datang besok ke rumah pria itu sebagai.... pelayannya.

*****

*****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
THIRSTY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang