part 1

4 3 0
                                    

“Cepet, Ci! Udah nggak keburu ini!”

Teriakan seseorang dari luar rumah, membuat seorang gadis yang duduk di kursi ruang makan makin bergerak gelisah. Pasalnya, gadis berseragam putih-abu itu kesiangan hari ini. Ia cepat-cepat menghabiskan sarapan rotinya dan menenggak segelas susu putih.

“Pelan-pelan, Ci, nanti kesedak,” ucap seorang wanita dewasa saat melihat kelakuan anak gadisnya itu.

Cici, nama panggil gadis itu. Ia tak menghiraukan ucapan sang Mama, terus menenggak minumannya. Saat masih bersisa setengah, ia mengelap mulutnya dengan punggung tangan.

“Nggak keburu, Ma! Aku berangkat dulu."

Cici segera bangkit dari duduk. Mengambil tasnya cepat, bergegas menuju pintu utama rumah. Menghampiri seorang pemuda yang duduk menunggu di atas motornya.

Pemuda itu segera menghidupkan motor saat melihat Cici berlari menghampirinya.

“Lama banget sih. Keburu telat ini!” omel pemuda itu tak sabaran.

“Iya ini udah selesai! Ayo berangkat,” balas Cici mendekat dengan panik. “Helm, cepet!” katanya sambil mengulurkan tangan ke pemuda itu.

“Cepet naik, pakenya sambil jalan.” Pemuda itu mengulurkan helm sambil menyuruh Cici segera naik ke belakang motornya. Gadis itu menurut, naik ke motor dengan salah satu tangannya memegang jaket pemuda itu sebagai pegangan.

Saat Cici sudah naik, motor segera melaju dengan cepat, bahkan terasa ngebut saat keluar dari pekarangan rumah Cici. Gadis itu mengomel karena ia belum sempat memakai helmnya. Untung ia masih memegang jaket pemuda itu sehingga tak jadi oleng dari tempatnya.

“Pelan-pelan, Den! Lo mau gue jatoh ha?” pekik Cici heboh, memukul punggung pemuda itu dengan kesal.

“Ini udah siang, ege! Lo mau kita dihukum gegara telat?” balas pemuda itu tak kalah heboh.

Keduanya masih beradu mulut di atas jalanan yang semakin lama semakin padat. Pemuda yang dipanggil ‘Den’ itu sempat memelankan motor saat tahu bahwa Cici belum mengenakan helmnya. Lalu kembali menarik gas kencang setelahnya.

Arisha Mahendra, nama lengkap gadis itu. Akan tetapi, keluarga serta teman-temannya lebih suka memanggilnya Cici sejak kecil. Alih-alih memanggilnya Arish, Risha, atau Arisha. Begitu juga dengan Kalijaga Reydan Danuar. Pemuda itu lebih kerap dipanggil Eden daripada Reydan, Kalijaga, atau Haja.

Sementara itu, Mama Cici yang sebenarnya ikut keluar mengekori Cici, memandangi kepergian dua anak muda itu dengan raut khawatir. Sejak tadi, ia telah meneriaki mereka agar tak ngebut di jalan. Tetapi karena kedua anak itu panik, celotehannya sama sekali tak didengar.

“Astaga! Jangan ngebut-ngebut!” serunya saat Reydan menarik gas kencang keluar dari pekarangan rumahnya.

-

“Ya ampun, Ci, kok lo baru dateng sih jam segini?” seru seorang perempuan di ambang pintu kelas saat Cici baru saja datang. Cici buru-buru masuk ke kelas untuk menaruh tasnya.

“Untung aja belum mulai upacaranya,” kata seorang perempuan lainnya menatap Cici, “kalau udah, lo pasti dah disuruh berdiri di depan, Ci.”

Cici tak membalas ucapan mereka, juga beberapa teman lain yang sempat menegurnya. Gadis itu masih terengah-engah karena berlari. Eden dan Cici memang sampai di sekolah tepat saat gerbang sedang ditarik untuk ditutup. Saat murid-murid berbondong-bondong keluar kelas untuk mengikuti upacara di lapangan.

“Gila, tadi ngebut banget si bocah dugong. Untung gue nggak kenapa-napa,” kata Cici mengadu, menceritakan kejadian tadi saat Eden melajukan motornya dengan kecepatan tinggi di atas rata-rata. Menyalip para pengendara lain dengan lincah. Padahal Cici ketakutan dan mengomel sepanjang perjalanan, tapi pemuda itu tak menghiraukan.

Kini, gadis itu sudah berjalan bersama temannya menuju lapangan upacara.

“Jago dong berarti si Eden,” ucap Mia, teman Cici yang berdiri di sebelah kirinya.

“Jago apanya, yang ada nyawa gue melayang dibawa ngebut dia,” sanggah Cici kesal.

“Ih, tapi keren tahu kalau cowok bawa motor gede ngebut gitu,” celetuk Nana dengan ekspresi seakan kagum, membayangkan seorang laki-laki yang membawa motor besar dengan kencang dan keren.

Cici menoleh dengan mata melotot tak terima. “Heh, sembarangan! Coba lo aja sana kebut-kebutan sama dia! Yang ada lo mabok, nyawa lo melayang melanglang buana!” omelnya dengan gerakan tangan mengibas udara.

Nana yang ingin membalas ucapan Cici, jadi terhenti karena suara dari mikrofon mulai terdengar, pertanda bahwa upacara akan segera dimulai. Mereka yang sudah berada di posisi barisan kelas jadi menegakkan tubuh menghadap ke depan.

-

note: cara baca Eden

E = huruf e awal di 'ember'
den = kalo ngomong 'depan'

ok. paham kan?

Tacit • Perasaan Diam-DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang