Jangan lupa follow RehanPutrahendra dan luvme_na
Sistem.
[ CHAPTER I DIKARANG OLEH FYNIXSTAR. ]
[ENJOY]
***
"Apa gunanya nilai 97? Anak bodoh!"
Kalimat itu terus terngiang di kepala. Yah. Aku memang bodoh, sayang sekali. Bahkan saking bodohnya berpikir akan berdiri di tengah rel kereta itu. Hampir, jika saja seorang kakek-kakek tadi tidak menepuk pundakku, mungkin dunia ini akan menjadi legenda di beberapa detik setelahnya.
Seorang Gibran Akira, akan binasa.
Kakiku spontan ragu melangkah dari pintu. Aroma alkohol menyengat hidung. Apalagi dengan suara tawa pria dan wanita di ruang tamu yang menjadi dasar aku tidak mau lagi tinggal di sini. Aku mengatur napas dalam-dalam menegapkan pundak tak peduli, melangkah begitu saja melewati dua orang itu menuju anak tangga. Anak tangga kelima terdengar berdecit karena sudah lama. Sampai langkahku terhenti oleh suara memuakkan itu.
"Anak ga tau sopan santun. Sapa dulu ibu barumu, bocah!"
Punggungku hampir terkena lemparan botol kaca yang terhantam dinding tangga. Aku terkejut. Bukan karena botol itu, tapi bagaimana bisa orang tua itu menyebutkan 'ibu baru' padaku. Baru kali ini aku marah, benar-benar tidak terbendung lagi semua amarahku pada pak tua itu.
Menatapnya tajam bibirku menyungging senyum remeh, "Nenek bodoh kalau memilih orang seperti Ayah. Ibuku saja pergi karena muak dengannya, Nenek yakin nanti? Modal ngomong doang dibanggakan. Paling satu hari lagi udah bosen."
"Anak sialan!" seruan amarah itu melayangkan sebuah gelas kaca berisi alkohol, menghantam pelipisku.
"Ga tau diri! Orang yang kamu maki ini sudah membesarkan mu ya! Ga tau malu kamu."
Aku menarik poni ke sisi kanan, melanjutkan langkah yang terhenti barusan. Pak tua itu masih saja mengamuk dengan ocehan, sampai di ambang pintu kamar aku masih bisa mendengarnya.
"Mati saja sana, anak ga berguna!" teriakan itu terdengar sebelum pintu tertutup rapat.
'Mati?'
Kamarku sudah sunyi, masih terlihat cahaya bulan karena jendela itu belum tertutup. Ruangan ini selalu saja terasa dingin meski sudah menutupi tubuh dengan selimut. Tanpa sadar aku sudah menatap lantai yang terdapat dua tetesan darah di antara kakiku, lantas kusadari pelipisku terasa perih.
Aku tertawa hambar seperti orang gila, memegang perutku yang hampir pecah akibat tawa itu. Namun hanya sesaat saja, setelahnya terasa kosong.
"Mati ya?"
Entah kenapa, aku rindu dengan rel kereta tadi sore.
***
"Woi! Culun!"
Suara kencang itu bisa saja membuatku tuli. Meja yang permukaannya tengah kubersihkan dengan kain pel terhentak sekilas oleh kaki usil Berito—pembully di kelasku. Terasa leherku dirangkul sok akrab darinya, tapi tangannya yang lain teracung menunjukkan kode harian. Aku hendak menghela napas tapi urung, memperbaiki posisi kacamataku.
"Aku tidak membawa uang." ujarku terdengar santai, padahal telapak tanganku sudah dingin melihat telapak tangan Berito yang mengepal ke arah wajahku.
"Kalau gitu," tubuhku bergidik. Tajamnya katana lebih gesit lesatan peluru, Berito tidak sendirian. Dua orang temannya terlihat mempersiapkan kepalan tangan dan tersenyum, satu orang lain menahan tubuhku dari belakang.
"Bayar bunganya aja." Suara lanjutan itu terdengar berdengung setelahnya. Kacamata yang kupakai terlempar. Rahangku terasa sedikit bergeser akibat hantaman, jika tubuhku tidak di tahan oleh mereka, mungkin sudah tersungkur lebih dulu. Belum lagi perutku yang dipukul beruntun, membuatku terbatuk memuntahkan udara karena belum diisi.
Tubuhku tersungkur ke lantai yang dingin. Kedua tanganku spontan menutupi kepala, kaki mereka tanpa ragu menginjakku. Aku sudah ahli dalam hal seperti ini. Makanan sehari-hariku yang sudah tersebar di seluruh sekolah, tapi mereka tetap berpaling tanpa ada niat hendak menarikku dari para iblis ini.
"Rasain, culun!"
Hebatnya, aku bisa bertahan. Langkah mereka terdengar menjauh. Pandanganku samar menangkap kaki yang menendang meja. Batinku tertawa hambar disaat seperti ini, menertawakan diri yang bahkan payah untuk melawan kenyataan.
Sudah begini ... buat apa bertahan?
Angin yang menyentuh luka memar dan goresan di pelipisku yang bahkan belum mengering. Aku berdiri di tepi atap sekolah yang memperlihatkan langit oranye dan dunia luar yang katanya luas itu, tapi mengapa aku tidak bisa pergi kemanapun? Aneh.
Semua orang selalu saja bicara omong kosong. "Malas mengerjakan tugas." padahal itu hanya satu soal. "Bisa-bisa aku mati tanpa gawai." Padahal itu bukan nyawamu. "Mana uangmu!" Padahal mereka memiliki uang dari orangtuanya. "Aku lapar banget!" Padahal itu masih pukul sembilan setelah kau sarapan. "Apa boleh buat? Papa gue itu ngeselin. Pasrah aja gue."
Mengeluh, mengeluh, mengeluh. Aku tertawa, "Hei! Lihatlah aku sialan! Tugasku selesai tanpa buku! Aku tidak memiliki smartphone tapi masih saja hidup! Uangku setiap harinya hanya bisa untuk membeli sebuah roti. Kalian pikir aku makan setiap hari? Aku bisa puasa tiga hari penuh! Dengar! Dan ayahku ..."
Kakiku menghentak ke lantai. Napasku menderu amarah mengikuti suaraku yang tercekat akibat berteriak barusan. Sia-sia saja. Siapa yang akan mendengarnya? Aku lelah, setiap harinya hanya ada medan pertempuran.
"Kenapa ibu ... meninggalkanku?" Apa aku sebegitu nakalnya dulu sampai-sampai tingkahku mirip dengan Ayah?
"Baiklah. Apa tujuanku di ciptakan? Kesenangan duniawi?" Aku kembali menyungging senyum, seperti orang gila di luar sana. Hanya saja aku lebih gila dari mereka.
Menatap langit itu, aku berpikir ini yang terakhir lantas memejamkan mataku, "Jika ada hari esok, aku harap tidak ada kegilaan ini lagi."
Suara angin terdengar mendesir telinga, tubuhku tertarik oleh gravitasi. Begitulah, kegelapan menelanku dalam waktu yang lama.
'Adieu, dunia kocak.'
つづく
ーARIGATO FOR READINGー
THANKS__________Start 020423__________
KAMU SEDANG MEMBACA
Detection
Teen Fiction#1 Colaboration Jadinya begini .... This is kolaborasi antara aku dengan, @RehanPutraHendra dan @luvme_na [ENJOY GUYS] _____________ Gibran Akira lelah karena keluarganya yang mengekang dia untuk sempurna, ditambah ibunya yang meninggalkan dia setel...