CHAP - VIII

22 5 0
                                    

Published by FynixStar

***

Kursi yang kubuat bersandar berdecit sekilas. Lantaran tak aman kuterus duduk di sini dengan melihat tubuhku yang bersandar di dinding sembari tersenyum miring saat melihat layar smartphonenya sendiri membuatku mengernyit tajam. Gedung terbengkalai di seberang jalan utama kampus menjadi titik dimana dia membawaku selepas kesepakatan menjengkelkan itu.

Aku ingin tahu siapa yang membuatku dalam situasi ini, dan sepertinya pria itu tahu apa yang terjadi.

Sebelumnya, "Katakan dengan jelas." Aku menyibakkan rambutku dengan satu tangan, tangan lain melepaskan kacamata yang sejak tadi mengganggu pandangan karena tidak terbiasa. "Ayahku tidak mengoleksi barang antik. Dia maniak senjata api. Kali ini, aku dibuatnya kebingungan kenapa menyuruhmu mencuri harta negara kuno itu? Sebuah patung? Tidak masuk akal. Lalu—"

"Lima tahun silam, terjadi ledakan di pelabuhan Kandegram." Kenzo memotong ucapanku, mataku semakin mengernyit heran saat dia dengan santai bicara tanpa menatap lawan bicaranya.

"Apa hubungannya?"

"Bukan bom, bukan kesalahan teknik, bukan juga konslet yang sering terjadi di mesin yang terlalu panas penyebabnya. Itu sebuah senjata rakitan profesional." Kenzo melangkah mendekat, senyuman menyebalkan yang berasal dari wajahku itu semakin tersungging tak bersalah, "Dikendalikan jarak jauh, tipe sniper. Masih tidak mengerti?"

"Jangan berputar-putar. Apa yang hendak kau katakan padaku?!"

Senyuman itu seketika luntur menjadi ekspresi datar. Dapat kudengar suara decihan darinya sebelum tiba-tiba dia melemparkan sekotak rokok yang dia keluarkan dari saku celana, sontak refleks ku tangkap dengan sempurna. Sudut mataku berkedut geram, "Seenaknya saja kau merokok dengan tubuhku!"

"Lidahku gatal, nak."

Segera aku melemparkan kotak rokok itu ke sembarang tempat, mendengkus kesal. Om-om sialan.

"Coba kau pikir menggunakan otakku yang brilian. Darimana datangnya peluru sniper? Bagaimana peluru itu bisa meledakkan sebuah pelabuhan besar seperti Kandegram? Sedangkan tidak ada yang melihatnya karena dipenuhi peredam?"

Kenzo membuatku berpikir lagi. Begitu dia duduk di kursi usang berbahan karet ban dan menatap kembali layar smartphone-nya, keheningan terjadi begitu isi kepalaku dipenuhi pikiran janggal. Peluru sniper, ukuran terbesarnya saat ini hanya 22 mm. Jika dibandingkan dengan meriam kaliber, itu tidak seberapa untuk meledakkan pelabuhan besar.

"Tunggu. Kau yakin itu sniper? Dan bukan meriam?" Sebelah alisku terangkat melontarkan pertanyaan.

Kenzo melirik sekilas, sebelum menegakkan pundaknya dan bersandar begitu santai menyilangkan kaki, "Nak. Kau pasti berpikir, peluru sniper terbesar apa bisa meledakkan sebuah pelabuhan besar? Itu pikiran bagus, tetapi maaf. Saksi peledakan tempat itu, ada di depanmu."

"Apa?"

"Mau tidak mau, aku juga terlibat dengan peledakan pelabuhan itu lima tahun silam."

Kenzo menceritakan semuanya saat dia menjadi salah satu anak buah Ayah, mataku terbelalak saat mengetahui fakta tentang berita besar yang sempat menggemparkan kota lima tahun silam. Pelabuhan Kandegram yang menjadi tempat peperangan para mafia pada masa itu, kasus yang meledakkan banyak anggota dari kedua kubu, hingga yang terlibat dalam peledakan dan otak dari semuanya.

"Daffa. Ayahmu itu sangat licik, bukan? Belum cukup dengan kekuasaannya saat ini, dia mengincar patung yang serpihannya terbuat dari material peledak terkuat di bumi."

"Dia melakukan penelitian terhadap serpihan patung itu, membuat senjata baru dan kemungkinan terbesar adalah dia akan memamerkan pada semua orang, memperkuat posisinya sebagai Raja, lantas menggulingkan seluruh mafia."

DetectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang