1. Perpisahan Tragis

21 4 6
                                    

Seperti biasa, pukul 15.00, Ghani akan menungguku di parkiran gedung musik. Kami terbiasa pulang kuliah bersama lalu pergi ke kafe untuk nongkrong. Tiga tahun menjalani rutinitas ini terkadang membuatku bosan, tidak tahu kalau Ghani, aku belum pernah bertanya kepadanya.

Namun seingatku, Ghani tidak pernah mengeluh untuk rutinitas sama yang berlangsung selama tiga tahun itu. Entah sudah tidak peduli atau memang beneran tulus. Dia pernah berkata, apa pun akan terasa menyenangkan jika dilakukan bersamaku. Tentu saja aku terenyuh setiap kali mendengar bait manis yang dilantunkan melalui mulut seksinya.

Kuakui Ghani cukup tampan dan mampu membuat wanita mudah terpikat, contohnya aku. Ketika mata kami beradu, aku bisa menjadi sangat luluh meskipun sedang dilanda amarah yang begitu hebat. Entah mantra apa yang menempel pada bulu mata lentiknya tetapi itu cukup membuatku jatuh cinta setiap kali menatapnya.

Aku melihat arloji, rupanya sudah pukul 15.00. Namun, Ghani belum juga tiba. Tumben sekali. Aku meraih gawaiku dan menghubunginya, tetapi perempuan di saluran telepon itu mengatakan jika nomornya sedang tidak aktif dan tidak bisa dihubungi. Ah sial. Padahal aku sudah sangat lapar.

Aku tetap menunggu di samping motor bebeknya, mungkin dia terlambat karena ada perkuliahan yang belum usai. Benar saja, Ghani akhirnya muncul di parkiran dan mulai menghampiriku. Eh tunggu. Dia sama cewek? Aku belum pernah lihat cewek itu sebelumnya.

Aku tidak ingin terlalu banyak tanya, Ghani terkadang kesal dengan pertanyaanku yang bertubi-tubi. Sebagai pacar yang baik, aku menyambutnya dengan senyum termanis versi diriku. Namun balasan cuek yang kudapat membuat heran. Tidak seperti biasanya. Apa karena habis ketemu sama cewek tadi?

Ghani menyalakan motor dan menyuruhku naik, aku pun menurutinya. Kulihat Ghani refleks menoleh ban bagian belakang, aku cukup terkejut dengan sikapnya hari ini. Aku merasa sangat tersinggung tetapi mencoba untuk berpikir positif, siapa tahu Ghani hanya memastikan ban belakang aman sehingga tidak akan membahayakanku. Romantis sekali bukan pacarku ini?

Kami mulai menuju kafe, cacing-cacing di perutku berdemo meminta makanan. Ghani pun sudah paham kalau aku selalu kelaparan usai menguras otak untuk belajar. Namun kali ini sedikit berbeda, biasanya Ghani akan ngebut karena tidak ingin membiarkanku kelaparan, tetapi sekarang malah seperti keong yang kakinya sedang pincang. Wait, keong kan tidak punya kaki. Dasar bodoh! Eh, tapi kan ia berkaki perut dan bercangkang. Jadi, itu perut atau kaki? Ah masa bodo. Kupikirkan nanti saja kalau perutku sudah kenyang.

Semakin motor itu melambat, langit pun semakin gelap kulihat. Perlahan, tetesan air hujan membasahi kami, aku berinisiatif untuk mengajaknya berteduh, "Sayang, bisa berteduh dulu di depan ruko kosong itu? Aku mulai kedinginan."

Ghani tidak peduli berapa kali aku meminta, ia terus saja melajukan motornya meski tahu bajuku sudah mulai basah. Aku bicara lagi, kali ini lebih tegas. "Ghani! Kita berteduh dulu. Bajuku sudah basah, memangnya kamu tidak kedinginan?"

Sepuluh menit tidak ada jawaban darinya. Rupanya Ghani langsung membawaku ke kafe langganan kami, ternyata dia masih peduli dengan perut laparku, tentu saja aku senang. Ghani mengajakku segera masuk ke kafe itu, aku langsung menolak. Bagaimana bisa dengan pakaian serba basah ini masuk ke dalam kafe? "Aku mau makanannya dibungkus aja, Sayang. Nggak enak sama pemilik kafenya kalau masuk ke sana tapi pakaian kita basah."

Suara gemuruh di langit semakin terdengar memekakkan telinga, mereka seakan saling berlomba untuk menjadi pemenang. Kilatan cahaya terlihat dengan jelas di depanku. Aku begitu takut dan berlindung di balik punggung Ghani seraya menarik-narik baju belakangnya yang mulai molor.

"Nad, jangan tarik-tarik bajuku, nanti robek." Kalimat sadis pertama yang dilontarkan Ghani kepadaku. Aku terdiam dan mulai melepaskan genggaman tanganku di bajunya.

Aku masih mencoba berpikir positif dan mengajaknya bergurau, mungkin dia sedang kalut karena begitu banyak tugas yang diberikan dosennya.

"Masa cuma pegang baju doang bisa robek, sih?" kataku.

Ghani menatapku dengan sinis, "Ya bisa, lah. Kamu kan sekarang udah gendut banget, kayanya jari tangan kamu aja bisa dorong orang lain sampai jatuh, deh."

Aku tidak bisa berkata-kata, otakku mendadak beku. Ini pertama kalinya Ghani menghina tanpa ekspresi lucu di wajahnya. Aku sempat bertanya dalam hati, benarkah yang dikatakan Ghani barusan?

Dalam hitungan detik, aku kehilangan sosok Ghani yang kukenal selama tiga tahun lalu. Sosok penyayang yang membuatku nyaman itu bak sirna ditelan semesta.

Aku memberanikan diri untuk menimpali perkataannya, "Nggak usah lebay deh, masa sampe segitunya, sih?"

"Ya bisa aja. Orang bobot kamu aja nambah terus, 'kan?"

Aku terdiam untuk kedua kali dan melepaskan tangan yang semula mengcengkram erat bajunya secara perlahan. Kulihat Ghani menatapku hendak bicara sesuatu, "Kita akhiri saja, ya, Nad. Sebenarnya aku sudah lama pengin bilang ini sama kamu. Aku malu sama temanku, Nad. Mereka selalu mengejekku karena punya pacar gendut kaya kamu. Mentalku tidak sekuat itu untuk menerima hinaan dari mereka."

"Memangnya salah kalau aku gendut?" tanyaku lagi.

"Masih berani berpacaran denganku aja udah salah, Nad."

Aku menunduk, kepalaku terasa sangat berat untuk diangkat, rasa malu dan kecewa bersemayam di diriku. Tanpa terasa air mata mengalir di pipiku seiring dengan air hujan yang semakin deras menjatuhi semesta.

"Jadi, kamu mau kita putus?" aku memberanikan diri bertanya lagi meski sudah kutahu jawaban dari pertanyaanku tadi.

"Aku rasa otak pintar kamu itu sudah bisa paham maksud aku, deh. Menurut kamu kenapa aku bertahan selama tiga tahun? Kalau bukan karena kamu pintar dan mau bantuin kerjain tugas aku, ya, buat apa lagi?"

Aku semakin tersedu-sedu mendengar penuturan pria brengsek yang selama ini kuanggap baik dan tulus. Gemuruh di langit seakan tidak terdengar, duniaku seketika gelap.

Ghani berkata lagi, "Udah lah, dari pada kamu gunain waktu buat nangis, mending kamu cari cara supaya berat badan kamu itu turun. Aku udah pesan makanan buat dibungkus, kamu ambil aja nanti. Aku udah nggak mau lagi makan makanan dari kafe ini."

Tanpa menunggu jawaban dariku, Ghani bergegas dengan motornya meski hujan masih sangat deras. Dia rela sakit dari pada berlama-lama denganku. Sangat totalitas memang melukis luka di hatiku yang mudah rapuh ini. Kuakui dia cukup ahli dalam hal menyakiti wanita, aku sudah membuktikannya.

Aku semakin meraung, kulihat orang-orang yang keluar dari kafe mulai memperhatikanku, aku bisa menebak dari raut wajah mereka yang begitu sinis jika mereka sedang menertawakanku. Bodohnya, aku terlalu menyanyangi pria sialan itu sampai tiga tahun lamanya.

Pria yang kupikir tulus menerimaku apa adanya nyatanya hanya ada dalam imajinasiku saja. Kuakui aku memang sangat bodoh kali ini. Mana ada pria yang mau memihak wanita gendut sepertiku, 'kan? Aku sungguh tidak berkaca dari mantanku yang semula memutuskanku karena alasan yang sama. Padahal waktu dulu bobotku masih sekitar 70 kg. Tidak seperti saat ini.

Aku sudah sangat muak berada di sini, akhirnya kuputuskan untuk pulang ke rumah dengan berjalan kaki saja. Tidak terlalu jauh, hanya berjalan dua puluh menit saja sudah tiba.

Sial! Aku lupa membawa payung, jadi aku pulang ke rumah basah kuyup. Mama pasti memarahiku nanti, dia orang yang paling cerewet di rumah. Satu hal saja berbeda dari pemikirannya, suara lantang khas orang marah akan menggema mengisi seluruh ruangan.

Aku menggerakan kakiku malas, beberapa kali hampir saja tertabrak pengendara motor bocil jamet ugal-ugalan. Untungnya Tuhan masih memberiku kesempatan untuk bertaubat.

Dua puluh menit berjalan rupanya tidak lama. Aku sudah tiba di rumah dan disambut hangat oleh Felisha—sahabatku semenjak SD. Felisha langsung mengambil handuk begitu tahu aku basah kuyup. Sahabat yang baik memang.

Felisha langsung membawaku ke kamar untuk berganti pakaian. Usai mengganti pakaian dengan yang lebih hangat, aku duduk di kasur dengan Felisha. Dia menatapku lekat dan bertanya, "Tadi, nggak cuma baju kamu yang basah, wajahmu juga. Itu air hujan atau air mata?"

Felisha tahu betul ketika aku sedang menangis, mataku akan menjadi sembab dalam hitungan menit saja. Aku mengatakan kepadanya kalau aku baru saja diputuskan oleh Ghani. Dia menghela napas seraya berkata, "Tuh kan, sudah aku bilang. Makanya kamu itu harus diet, Nad."

Love Your FatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang