4. Bertemu Mantan

44 6 11
                                    

[Ketemu? Untuk apa? Ada hinaan yang belum sempat kamu sampaikan, ya?] Aku sengaja membalas pesan Ghani dengan ketus agar dia tahu betapa sakit hatinya aku tempo lalu.

[Nggak, dong, Nad. Masa aku mau ngehina kamu. Memangnya kapan aku ngehina kamu? Waktu itu kan aku cuma ngasih motivasi aja buat kamu biar lebih cantik dan langsing lagi kaya dulu.]

Lebih cantik? Langsing? Cuih! Persetan!

Ghani sepertinya tidak sabar karena pesannya belum dibalas olehku. Dia pun mengirimkan lagi sebuah pesan pemberitahuan tempat mana yang harus kami tuju nanti. Dengan malas aku membalasnya, [Ya.]

Aku ingin lihat sejauh mana dia mengemis kepadaku nanti.
Apa dia sungguh menyesal atau hanya sekadar membual. Manusia memang susah diprediksi.

Sore pun tiba, matahari yang semula terik berganti senja yang begitu damai. Lembayung berwarna oranye mengiringi niatku menuju kafe tempat penghinaan tragis yang pernah dilakukan Ghani. Bodoh memang aku ini, mau-maunya menemui Ghani di kafe itu setelah semua hianan yang dilontarkannya telah merobek hatiku.

Namun dalam hatiku turut bergejolak, ada setitik rindu mengalahkan setumpuk luka yang tertoreh. Ada seuntai kasih  mendamaikan segunung  perih yang tertatih. Sungguh bodoh! Sangat bodoh kamu itu, Nad. Kepalaku sangat berisik mencemooh diriku sendiri.

Aku berdandan cantik mengimbangi keindahan sang senja. Dipolesnya pewarna merah muda di pipi, ditaburkannya pewarna coklat di seluruh wajah dan diusapkannya pewarna merah marun di bibir agar terlihat sedikit seksi. Meskipun tidak secantik lembayung sore ini, tetapi aku berharap usahaku untuk terlihat cantik bisa menyadarkan Ghani bahwa bertubuh gemuk pun tidak menutup kemungkinan untuk seseorang bisa berubah menjadi cantik.

Aku memesan mobil online untuk berangkat ke kafe itu. Sebenarnya aku bisa saja berangkat sendiri dengan motorku, tetapi aku terlalu takut kalau riasanku rusak dan justru menggagalkan maksudku bertemu Ghani.

Untunglah jalanan tidak macet. Aku sudah sampai di kafe itu dan bergerak perlahan memasukinya. Gemuruh di dalam dada begitu kencang. Debaran jantung begitu cepat. Ah, sial! Entah rasa apa yang sedang aku alami saat ini. Mungkinkah sebenarnya aku masih menginginkan Ghani? Tidak! Jangan! Ghani yang brengsek itu telah membuatmu sedih, Nad. Kuping kiri dan kananku ikut berisik seakan-akan seseorang membisik kepadaku silih berganti.

Aku menginjakkan kakiku kencang dan memantapkan hati untuk membuka pintu kafe lalu menemui Ghani yang telah duduk di pojok kafe dekat jendela.
Aku bergegas  menghampirinya seakan-akan terlihat penuh percaya diri. Padahal kakiku bergetar hebat seiring melangkah menemui mantan pacarku itu.

"Eh, Nad. Sudah sampai?" tanya Ghani begitu melihatku di depan matanya.

Bodoh! Dengan berdirinya aku di depannya saja sudah pasti aku sudah sampai, lah.

"Hmm, iya," jawabku seraya mengulum senyum.

"Duduk, Nad," titahnya.

Basi! Ya iya lah duduk. Ya kali setelah ini aku pulang lagi, gitu? Tahan, Nad, tahan. Let's see! apa yang akan dia inginkan kali ini. Apakah dia akan memohon pengampunanku? Hahaha.

Aku menarik kursi lalu mendudukinya. Sepiring spagethie carbonara yang baru saja diantar oleh pelayan membuatku bingung. "Loh? aku kan belum pesan, Ghan. Kok sudah datang aja makanannya?" tanyaku.

"Aku masih ingat betul kok, Nad, apa kesukaan kamu di sini. Jadi, aku langsung pesankan aja," alibinya.

"Selera seseorang bisa berubah seiring berjalannya waktu dan pengalamannya, Ghan. Lagi pula aku sudah menemukan menu yang lebih enak dari rasa ini di kafe lain. Jadi kamu nggak usah repot-repot." Semoga saja Ghani paham dengan ucapanku barusan.

"Oh, ya sudah kalau gitu biar aku yang makan saja, Nad."

Aku hanya tersenyum sambil berkata, "Ya, makan aja, Ghan!"

Seraya menunggu Ghani makan aku menanyakan sebuah penasaran tentang apa tujuannya mengajakku bertemu. "Langsung aja, Ghan, aku tidak punya banyak waktu. Kamu mengajakku bertemu sebenarnya mau apa?"

"Ghan? Sekarang panggilannya berubah, nih?"

"Nama kamu betul Ghani, 'kan? Lalu harus kupanggil siapa? Paijo, begitu?"

"Ya, nggak gitu juga, Sayang," ucapnya terdengar sangat manis.

Astaga! Manis banget. Nggak, Nad. Tahan. Kamu pasti bisa! Aku terus memperkuat benteng pertahananku.

"Jadi ada perlu apa, Ghan? Aku nggak punya banyak waktu loh ini."

"Ok." Ghani menghentikan aktifitasnya lalu berbicara kepadaku, "aku nyesel udah putusin kamu, Nad. Nilaiku turun semenjak putus dari kamu."

"Terus?"

"Ya. Aku rasa kamu memberi dampak positif untuk nilaiku, Nad."

"Jadi?"

"Kamu masih mau bantuin aku ngerjain tugas-tugasku, kan, Sayang?"

Ekspektasiku terlalu tinggi, anganku terlalu besar untuk sekadar berharap Ghani memujiku. Memuji apanya? Dia bahkan tidak peduli penampilanku.

"Oh, gampang. Kamu tinggal les private sama aku aja, Ghan. Tenang aku kasih diskon untuk kamu karena kamu mantanku."

"Loh kok bayar sih? Kita kan udah pacaran lama, loh, Sayang, meski sudah jadi mantan."

"Mau nggak? Kalau nggak mau ya jangan!"

"Aku pikir-pikir dulu, ya, Nad. Kamu sekarang perhitungan banget Nad sama aku."

"Nad, nih? Udah nggak butuh memang. Jangan pernah hubungi aku lagi, ya, Ghan. Cukup sampai di sini. Aku tidak sebaik itu untuk dibodohi kamu. Sudah cukup bagiku selama 3 tahun menjadi orang bodoh."
Aku tersenyum kecut lalu meninggalkan Ghani seorang diri. 

Aku melangkah penuh percaya diri  seakan-akan sudah tidak membutuhkannya lagi. Aku berjalan sekuat yang kubisa agar tidak terlihat lemah di hadapannya.

Namun aku tidak sekuat yang kuinginkan. Usai keluar dari kafe, seluruh tubuhku gemetar seperti manusia yang tidak makan selama 1 minggu. Perlahan, seluruh pipiku diguyur hujan yang turun secara tiba-tiba. Sial! Aku dengan suka rela menyerahkan diriku untuk disakiti lagi.

Hari kian malam, senja cantik yang kulihat tadi berubah hitam pekat mengerikan. Sama seperti halnya di dalam hatiku; mengerikan hingga aku mati rasa untuk sekadar menerima  cinta dari seorang tampan yang tidak berperasaan. Aku memutuskan untuk tidak percaya lagi dengan bualan lelaki tampan lainnya. Ya, aku sudah bertekad.

Khawatir akan ketahuan oleh Ghani, aku segera memesan mobil online dan segera pulang ke rumah. Kuharap hari esok akan lebih baik. Kuharap tidak akan lagi turun hujan di pipiku setelah bertekad untuk berhenti mempercayai bualan dari lelaki tampan.

Jika dipikir-pikir lagi, mana ada seorang tampan yang dengan tulus mencintai seorang gendut dan lusuh seperti aku ini, 'kan? Baiklah. Akan kubeli cermin untuk mengisi seluruh ruangan kamarku.





Love Your FatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang