2. Titik Balik

22 5 3
                                    


Diet? Semudah itu Felisha bicara tentang diet di depan orang yang baru saja diputusin pacarnya karena gendut? Sungguh tidak memiliki hati nurani. "Coba kamu bercermin, Nad!" Felisha tiba-tiba menyuruhku bercemin setelah menyuruhku diet. Oh, God! Kali ini apa lagi yang ada di pikirannya? Tidak cukupkah penghinaannya kepadaku?

"Nggak! Ngapain aku ngaca segala!" aku berkata dengan sinis.

"Nggak berani, 'kan? Atau sebenarnya kamu juga malu lihat tubuh kamu yang gendut itu?" Ucapan Felisha sungguh di luar batas.

Aku dengan geram langsung membalasnya, "Memangnya kenapa kalau aku gendut? Salah? Dengan badanku yang gendut ini apa bikin dunia kehilangan keseimbangan? Hidup akan terus tetap berjalan, 'kan meski jutaan orang gendut tinggal di bumi kita tercinta ini? Apa dengan jutaan orang gendut yang tinggal di bumi lantas membuat bumi jadi berbenturan dengan planet lain lalu dunia akan hancur?" aku sengaja mengoceh tiada henti di depannya.

Mungkin Felisha muak denganku yang terus saja mengoceh hingga dirinya berteriak, tetapi aku sama sekali tidak merasa menyesal.

"Ya nggak begitu juga, Nad! tapi kan ... "

Aku masih tak mau kalah, aku sengaja memotong ucapannya, "Apa? Tapi apa? Sekarang aku tanya, menurutmu wanita gendut salah? Wanita gendut itu tidak cantik? Apa dia tidak boleh menyandang gelar seorang wanita kalau dirinya gendut, begitu? Definisi cantik menurutmu itu yang bagaimana, Fel?" aku menanyainya secara bertubi-tubi.

"Wanita yang cantik itu tidak terlalu kurus juga tidak terlalu gendut, putih, tinggi dan wangi. Dia juga rajin perawatan wajah, badan ...," begitu omong kosong yang terlontar dari bibir Felisha.

"Meskipun hatinya busuk, meskipun dia kriminal, akan termaafkan begitu saja karena dia cantik? begitu?" aku mulai geram kepada Felisha.

"Cantik dan ahlak itu sebuah hal yang berbeda, Nad. Jangan mencampur adukkan sesuatu yang bukan padanannya," dia mulai beralibi.

"Tetap saja di matamu yang cantik adalah wanita langsing sepertimu, 'kan?"

"Terserah!" Felisha langsung pergi setelah berdebat denganku.

Aku pun tidak peduli entah dia marah kepadaku atau tidak. Aku baru putus cinta, sedangkan orang yang paling dekat denganku membuat kesal. Padahal dia tahu kalau diet adalah sesuatu yang susah untukku. Bertahun-tahun aku berdiet belum juga membuahkan hasil sampai aku muak dan menghibur diri dengan banyak makan.

Aku masih heran dengan pola pikir manusia yang selalu menggaungkan bahwa kecantikan wanita adalah milik mereka yang berbadan putih, tinggi dan kurus juga wangi. Mengapa mereka selalu menggaungkan bahwa kelangsingan adalah simbol dari sebuah kecantikan. Tidak bisakah kita kaum gendut mendapatkan kesempatan yang sama, menyandang gelar cantik dengan segala prestasi yang kita miliki?

Setelah berdebat dengan Felisha membuat cacing di perutku semakin meronta, aku mengerti mereka ingin segera diberi makan. Aku lekas menuju dapur setelah rambut panjangku berhasil dikeringkan.

Aku melihat Tommy sedang memasak mi, wangi bumbunya tercium hingga bulu-bulu di hidungku turut menari-nari. Adikku ini memang senang sekali jika sudah dihadapkan dengan mi. Hampir setiap hari tidak pernah absen makan mi meski mama sering melarangnya. Herannya badan Tommy tidak pernah gendut meski memakan mi setiap hari. Padahal sebuah mitos mengatakan jika makan mi terus-menerus maka badan akan semakin melebar. Ya, tetapi itu semua hanya mitos. Buktinya adikku masih langsing saja tuh.

Aku mendekati Tommy yang serius memasak mi. Aku pun mencicipi bumbu mi yang sudah tersaji di piring, Tommy memukul punggung tanganku dengan sangat keras, "Ish! Bikin sendiri, sana!" titahnya.

Beginilah jika punya adik laki-laki, lebih sering tidak akur dibanding akurnya. Aku pun mengalah dan duduk di sebuah kursi empuk tempat biasanya kami makan bertiga. Ya, bertiga saja, hanya ada aku, mama dan Tommy. Papa sudah sangat lama meninggal, tetapi mama masih setia kepada papa untuk tidak berkencan lagi dengan pria lain.

Pernah suatu hari Mama berkata kepadaku jika mama tidak akan menghianati Papa dengan lelaki yang tidak lebih baik dari pada papa. Mama tidak ingin menggantikan posisi papa di hatinya kecuali ada satu orang yang memang begitu tulus seperti papa. Aku pun lega mendengarnya.

Kuakui papa memang laki-laki yang begitu penyayang dan juga bertanggung jawab. Semua kriteria cowok baik ada pada diri papa sampai aku bertekad harus menemukan seorang pria seperti papa demi keberlangsungan masa depanku nanti.

Wangi khas dari bumbu mi memang begitu kuat, Mama yang semula berada di dalam kamar turut bergabung bersamaku dan Tommy di dapur. Mungkin ini salah satu alasan Tommy selalu memasak mi setiap hari agar semua orang berkumpul dan mengobrol di meja makan. Karena semenjak kepergian papa, kami sudah jarang makan bersama.

Mama duduk tepat di depanku, dia bertanya mengapa aku hanya duduk dan tidak makan sesuatu, aku pun menjawab masih menunggu giliran menggunakan kompor dengan Tommy. "Kan tungkunya ada dua, Nad," kata Mama.

"Males ah, Ma. Tommy selalu bilang sempit kalau aku di sebelahnya," ujarku kesal.

Aku kemudian mengonfirmasi kembali perkataanku, aku jadi teringat ucapan Felisha padaku tadi. Aku bertanya kepada Tommy tentang diriku, "Tom, apa menurut kamu Kakak ini gendut?"

"Ya." Sungguh jawaban yang sangat menyebalkan.

"Segendut itukah Kakak?"

"Ya. Sangat gendut kaya "Nyonya Puff" di kartun sponge bob squarepants," katanya.

Aku sangat geram dan beranjak lalu menjitak kepalanya. Mama yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepala saja.

Sambil menunggu Tommy selesai dengan masakannya, aku memberanikan diri bertanya kepada mama. Aku ingin mengetahui pandangan mama terhadap sesuatu yang menjadi penasaranku selama ini.

Aku membuka mulut lebar-lebar dan menanyainya, "Ma, menurut Mama apa aku ini gendut?"

"Jika dilihat dari fisik, semua orang akan tahu jawabannya karena bentuk tubuh itu tidak bisa disembunyikan seperti menyembunyikan dosa-dosa kita, Nad." Lagi-lagi jawaban yang sangat tidak aku inginkan.

"Apa gendut itu tidak cantik?" tanyaku lagi.

Mama menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaanku, dari raut wajah yang ditunjukkannya saja aku dapat melihat jika Mama sangat terkejut mendapat pertanyaan yang sangat acak dariku.

"Mungkin kalau kamu lebih kurus akan lebih cantik lagi," katanya.

Bukannya menenangkan, aku justru merasa mendapat sebuah penolakan dari mama. Mama seakan-akan mengatakan jika dengan badanku yang gendut ini aku tidak layak, memang sial, bahkan orang terdekatku pun sangat jujur dan tidak bisa berbohong sedikit saja demi menyenangkan hati. Aku semakin mengutuk diriku sendiri jika gendut adalah sebuah kesalahan dan sebuah aib keluarga yang tidak dapat dimaafkan.

Aku bertanya lagi kepada Mama, "Terus cantik itu yang kaya gimana, Ma?"

"Ya tubuhnya sehat, bugar, wajahnya tidak terlihat stress, terus lagi wa ...,"

"Wangi? Ah aku sudah tahu jawabannya. Sudahi, Ma. Aku sudah menelan ribuan kata itu hingga kenyang."

Aku masih heran dengan manusia yang masih menggaungkan bahwa kecantikan adalah milik dia yang berbadan langsing juga putih, tidak adakah celah sedikit untuk seseorang gendut sepertiku?

Aku dan mama saling terdiam, tiba-tiba Tommy tidak sengaja menjatuhkan pisau karena tersenggol oleh tangannya, dia menyuruhku untuk mengambil pisau yang terjatuh karena tangannya sedang kerepotan. Aku pun beranjak dari kursi dan jongkok untuk mengambilnya, rasa sesak muncul ketika perutku menyentuh paha. Sesak sekali rasanya bahkan untuk bangun lagi pun aku kesusahan.

Begitu aku berhasil bangun, mama ternyata sedang menatapku dan berkata, "Sekarang ngerti, 'kan, Nad?"

Love Your FatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang