3. Part Time

32 7 7
                                    

Aku sudah tidak selera untuk sekadar makan mi bersama Tommy dan mama. Mama pikir aku tidak mengerti kalau jongkok dengan keadaan perut buncit itu tidak nyaman? Aku sungguh mengerti. Sangat-sangat mengerti. Ingin sekali aku berteriak di depan wajahnya dengan lantang, tetapi predikatnya sebagai ibu yang telah melahirkanku membuatku harus selalu menghormatinya.

Aku menyeret kakiku dengan malas lalu pergi ke kamar. Tidak peduli cacing-cacing di perut begitu menginginkan mi di dapur, aku terus saja memberi komando kepada otak untuk memerintah kaki agar lebih cepat berjalan.

Rumahku adalah kamar. Definisi rumah untukku adalah ia yang memberiku rasa nyaman, aman dan tenang. Bangunan bertingkat milik mama begitu hampa untuk aku yang selalu membutuhkan kehangatan. Jiwaku butuh sandaran ketika lelah melanda setiap masa.

Memang, tugas anak kuliahan tidak seberapa dibandingkan dengan tugas mama sebagai single parent yang sangat banyak, tetapi untuk hanya sekadar memuji, berkata baik atau sekadar mengapresiasi setiap mahakarya anaknya apakah tidak sulit dilakukan?

Aku telah berada di dalam rumahku sekarang. Ia menyambutku dengan hangat. Pantulan cahaya kuning seakan-akan tersenyum begitu aku menatapnya. Warna pink di sekeliling kusapa dengan segala kata-kata baik agar dia tidak ikut menghakimi predikat buruk yang melekat dalam diriku.

Tidak lupa aku membelai temanku yang sangat empuk. Jiwanya begitu suci seputih warnanya, ia yang paling membuatku nyaman dan terjaga ketika aku ingin sekali sejenak melupakan apa yang telah terjadi setiap hari. Pada hari itu aku sedikit lupa bagaimana aku bercerita kepada mereka dan akhirnya tertidur.

Pagi ini cuaca di luar rumah sangat hangat. Terlihat warna kuning dari sang mentari yang memaksa masuk melalui celah jendela. Sayangnya, kehangatan itu tidak bisa kudapatkan di dalam bangunan mewah yang katanya disebut rumah itu.

Satu hal yang sangat aku benci ketika bangun tidur; memulai sebuah hari tanpa bisa menghindar dari sebuah pertanyaan 'Makan mulu, kapan diet?' Memangnya orang gendut itu tidak butuh makan, begitu? Ah ... rasanya ingin sekali kucabik-cabik mulut para pendosa itu.

Aku menuju dapur untuk sarapan, sendirian. Tommy sudah berangkat sekolah diantar mama karena sekalian berangkat bekerja. Aku menikmati susu dan rotiku seraya menjelajah media sosial. Di sana aku melihat sebuah lowongan pekerjaan paruh waktu untuk mahasiswa sepertiku. Ini kesempatan emas, pikirku. Aku bergegas menghabiskan semua roti lalu mandi dan segera pergi ke alamat yang tertera.

Setibanya di sana, ada cukup banyak pelamar lain. Aku cukup percaya diri karena tempat kerja yang kutuju adalah sebuah restoran. Aku cukup menggilai makanan sehingga itu bisa menjadi nilai tambah nanti. Namun setelah menjalani sebuah wawancara dengan sang pemilik, mereka hanya mencari kandidat wanita langsing nan cantik untuk memenuhi posisi pramusaji. Katanya untuk menambah value restoran. Omong kosong!

Aku sangat kecewa dengan keputusan sang pemilik yang mensyaratkan bahwa langsing menjadi penentu nomor satu. Kenapa tidak dijelaskan dari awal kalau mereka hanya mencari kandidat wanita kurus. Aku menjadi heran, memangnya orang gendut sepertiku tidak bisa bekerja? Apa mereka pikir kaum kami membuat mata kaum langsing seperti mereka menjadi sakit? Lagi-lagi aku hanya bisa mengalah atas mereka.

Tidak ada alasan untukku tetap singgah di sana, aku bergegas menuju kafe langgananku bersama Ghani. Kakiku melangkah ragu, badanku gemetar, perasaan sedih dan bayangan kelam masa lalu bersama Ghani muncul begitu saja dalam kepala. Akhirnya aku memutuskan mencari kafe lain.

Kenangan pahit itu masih belum sirna dari hidupku. Padahal aku sangat menginginkan spagethie carbonara super enak di sana.

Di kafe lain, aku memesan menu spagethie carbonara. Entah rasanya akan sama atau tidak, tetapi aku berharap apapun rasa baru yang akan kutelan dapat membuat hidupku lebih baru lagi. Aku harus memulai hidup baru dengan rasa yang baru, seperi spagethie ini.

Pelayanan di kafe ini ternyata cukup cepat, tidak ada 30 menit, makananku sudah tersaji dengan begitu memikat. Tidak lupa aku memfotonya terlebih dahulu sebagai kenangan bahwa aku pernah mampir di kafe itu.

Satu suapan spagethie masuk ke mulut dan membuat lidahku bergoyang. Ah ... sungguh lezat. Cita rasa baru yang lebih sempurna dari sebelumnya. Aku lekas memesan satu piring lagi karena terlalu sayang jika hanya makan satu piring saja.

Namun ketika aku tengah memesan kepada sang pelayan, temanku mengirim pesan kalau ada tugas yang harus dikumpulkan hari ini. Astaga! aku melupakan kuliah dan tugasku hari ini. Terpaksa aku membatalkan pesanan dan membayar apa yang telah aku makan.

Aku segera memesan taksi dan segera pulang. Setibanya di rumah, seperti biasa; kosong. Aku langsung mencari tugas yang telah kukerjakan kemudian kukirim melalui surel kepada dosenku. Akhirnya selesai juga.

Karena bosan, aku menuju ruang tamu dan menonton drama korea. Satu toples keripik menjadi temanku menonton, satu teko jus jeruk ikut menemani keripik singkong di atas meja. Sungguh nikmat mana lagi yang lebih indah dari ini? Sendirian di rumah tanpa ada komentar 'Makan mulu, kapan diet?'

Aku begitu senang dan tenang dapat menikmati makanan dan waktuku tanpa gangguan. Sungguh semesta sedang berpihak kepadaku saat ini.

Namun ternyata aku salah. Aku yang berpikir hari ini adalah hari terindah ternyata realitanya tidak demikian. Mobil mama baru saja memasuki rumah kami. Sial!

Aku segera menaruh kembali setoples keripik singkong ke dapur dan hanya menyisakan jus jeruk saja agar mama tidak histeris.

"Loh, Nad. Kamu tidak kuliah, Nak?" tanya mama yang baru saja membuka pintu dan melihatku.

"Nggak, Ma. Dosenku bilang kirim tugas aja. Sudah kukirim tadi, jadi aku di rumah aja," jawabku berbohong.

Aku berbohong pun mama tidak peduli. Dia langsung saja masuk ke kamarnya. Hanya sebatas itu percakapan yang terjadi di antara kami. Semenjak mama menjadi single parent, senyum mama yang semula ceria mendadak hilang.

Aku sebenarnya ingin sekali menghibur mama, tetapi setiap kali membuka obrolan, mama selalu saja menyuruhku untuk diet dan diet terus. Padahal kalau kulihat foto mama ketika masih gadis, dia pun sama gendutnya denganku saat ini. Terus untuk apa dia selalu menyuruhku diet?

Memang benar kata pepatah; manusia bisa berubah seiring berjalannya waktu. Selain perubahan tubuh mama yang berubah, senyuman mama pun berubah. Aku masih mencari penyebab hilangnya senyum mama selain ditinggal oleh papa.

Memikirkan mama membuatku sedih saja. Drama korea yang sedang kutonton pun sudah selesai. Karena dilanda bosan, aku meraih ponselku yang tergeletak di samping. Sebuah pesan masuk, jantungku berdegup kencang ketika membaca pesan tersebut, ada rasa sesak dan bahagia beriringan, [Nad, bisa ketemu sebentar? Aku nyesel udah putusin kamu.]

Semudah itu dia menggoyahkan hatiku? Aku tidak tahu ini pertanda buruk atau baik. Haruskah kubalas 'Iya' pesan dari Ghani? 

Love Your FatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang