Second Live!

5 3 0
                                    

Second Live!

“Pangeran? Apakah anda baik-baik saja?” Seorang pria tua dengan rambut beruban itu bertanya ketika melihat sosok putra mahkota membuka kelopak matanya perlahan.

Mondy mengerjap. Mengumpulkan kembali kesadarannya.

Langit-langit kamar yang mewah. Jendela besar dengan tirai berwarna merah emas. Kamar yang luas.

Mondy mengedipkan mata. Tunggu, sepertinya ini bukan kamarnya. Dengan gerakan kilat Mondy berusaha bangun. Lantas meringis setelahnya ketika merasakan kepalanya berdenyut hebat.

“Pangeran, Anda masih harus beristirahat,” ujar Freddy. Seorang tabib yang mengabdikan hidupnya pada kerajaan. Meski sudah berumur, dia akan tetap melayani keluarga kerajaan sesuai sumpahnya.

“Di mana aku?” Mondy bertanya lirih. Tangan kanannya bergerak menutup satu matanya ketika beberapa ingatan mulai bermunculan dan membuat kepalanya pening.

Freddy menjawab dengan tenang, “Tentu saja anda berada di kamar Anda, Pangeran.”

“Tidak, ini bukan kamarku.”

Merasa aneh dengan jawaban Putra Mahkota, Freddy mengalihkan pandangannya pada Raja yang sedari tadi berdiri diam di sampingnya. Keduanya saling berpandangan seolah memberi kode.

“Ekhem!” Alberthos berdeham, membuat tatapan Mondy mengarah padanya. “Pangeran Luciano, untuk saat ini kau harus beristirahat. Jangan memaksakan dirimu dengan tugas-tugas putra mahkota.”

Kemudian Raja menoleh pada Freddy. “Sepertinya ada hal yang harus kita bicarakan.”

Pintu kamar ditutup ketika Raja dan tabib keluar. Menyisakan Mondy sendirian di ruangan yang luas itu.

“Aku ... pangeran?”

Ini tidak mungkin! Apa-apaan ini? Seingatnya, dia sedang melakukan siaran radio sambil memainkan game yang tengah viral itu. Lalu kenapa tiba-tiba dia berada di tempat yang aneh ini?

Tunggu dulu. Bukannya tadi seseorang dengan pakaian mewah dan jubah ala raja itu memanggilnya pangeran Luciano? Siapa pula Luciano itu? Hei, namanya adalah Mondy, bukan Luciano atau siapa pun itu.

Hm, sebentar. Sepertinya ada yang salah di sini. Orang itu memanggilnya Luciano, kan? Apakah yang dia maksud adalah Luciano yang Mondy pikirkan?

“Sial! Di mana cerminnya?!” Mondy melompat turun dan bergegas mencari cermin. Dia harus memastikannya. Tidak mungkin kan di kamar yang luas ini tidak ada satu pun cermin.

“Si-siapa ini?” gumamnya ketika berhasil menemukan apa yang dia cari.

Sosok lelaki tampan dengan rambut emas yang acak-acakan muncul di cermin.

“Heh, apakah ini aku?!” Mondy berteriak histeris. Melangkah mendekat untuk memastikan.

Tidak mungkin sosok di pantulan cermin itu adalah dirinya. Mondy ingat bola matanya berwarna hitam segelap malam. Lalu kenapa yang dia lihat sekarang malah berwarna biru? Jernih sekali seperti langit cerah.

Ke mana perginya kulitnya yang kuning langsat itu? Yang ada hanyalah kulit seputih salju cenderung pucat.

Ini pasti bukan dirinya. Ya, Mondy yakin pasti ada orang lain dalam cermin itu.

Mondy mengangkat tangan kanannya. Dingin mulai terasa ketika jemarinya menyentuh permukaan cermin. Sosok dalam pantulan juga melakukan hal yang serupa. Namun, Mondy tidak kehilangan akal. Dia kembali melakukan gerakan lain untuk membuktikan teorinya. Sayang seribu sayang, pantulan di cermin selalu mengikuti setiap gerakannya. Kini Mondy tidak dapat mengelak bahwa sosok tampan itu memanglah dirinya.

Dengan langkah gontai, Mondy menuju ranjang besar di tengah-tengah ruangan. Berharap ini semua hanyalah bunga tidur karena terlalu gugup dengan siaran pertamanya. Dan dengan tertidur di masa ini membuatnya dapat kembali ke dunia aslinya.

Sebelum kantuk mengambil alih, Mondy berdoa, semoga ini hanyalah mimpi di siang bolong.




*


Yuhuuu ada yang nungguin Mondy?

Mondy Live Radio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang