11

5 2 3
                                    

Detik berganti menit, dan menit berganti jam. Hari terus berjalan. Dan tepat pada hari ini adalah hari terakhir bagi seluruh siswa kelas 12 menjalani ujian nasional.

Naren keluar dari kelas, dengan setitik kekhawatiran dia mengambil langkah besarnya.

Hanya ada raina dalam kepalanya saat ini. Dimana wanita itu? Kenapa dia tidak masuk?

Hubungan naren dengan raina belum membaik sebelumnya, tapi tentu saja naren tak bisa tinggal diam jika itu bersangkutan dengan raina.

Dia juga kerap kali mencoba kembali dekat pada raina, tapi nyatanya raina sangat menolak dirinya. Dia akan menjauh jika melihat eksistensinya, bahkan naren tidak bisa menghubunginya.

Saat dirinya sudah akan tiba di dekat motornya, sebuah notifikasi masuk pada ponselnya. Dan dengan segera naren membuka isi pesan tersebut.

Itu dari jevano.

Mereka sudah lebih akur sekarang, tak tau karena apa, tapi jika di lihat dengan jelas adalah karena selama raina menjauhi naren, wanita itu selalu bersama dengan jevano.

Jantung naren seakan berhenti berdetak selama beberapa detik, sesaat setelah membaca pesan dari sang saudara.

Jevano

/send pict/
Ren, gc sini!
Raina kangen lo

Setitik air mata pun menetes. Maka dengan cepat naren segera memacu motornya guna menuju lokasi yang dia ketahui melalui foto yang di kirim oleh jevano.

"hiks.... Tunggu gue rain!"

...

Naren berlarian di dalam koridor rumah sakit, setelah menanyakan ruangan dimana raina di rawat. Hatinya tak henti-henti merapalkan doa pada yang maha kuasa.

Naren berhenti tepat di hadapan pintu putih dengan nomor 174. Jantungnya bertalu dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Di sana terlihat jevano, dan juga kedua orangtua raina bahkan rifa -kakak raina, yang tidak pernah menyukai raina- terlihat menangis tersedu-sedu.

Ceklek...

Dan tepat di dalam sana. Raina tengah tersenyum padanya, dengan infus pada tangannya, dan selang oksigen yang tersemat pada hidungnya.

'nana' panggil raina tanpa suara yang keluar, dan hanya dengan gerakan bibir saja.

Dan dengan cepat naren menghampiri raina. Membuat senyuman wanita itu semakin mengembang.

"ra, hiks..." isak naren, menggenggam tangan raina yang bebas infus.

"nana, rain sakit" ucap raina lirih masih dengan senyumannya.

"kenapa gak kasih tau nana kalo rain sakit hmm?!"

"rain... Maafin nana ya?!" raina mengangguk.

"hiks...sakitnya di bagian mana?, sini nana obatin" tangan raina pun bergerak menunjuk bagian mana saja yang terasa sakit. Maka dengan cepat nana pun bergerak mengecup lamat pucuk kepala raina.

"dah, nanti sembuh oke?" ucap naren dengan memaksakan seutas senyuman.

"kalo rain gak sembuh?"

"kalo rain gak sembuh, nanti nana sedih, rain mau nana sedih?" raina menggeleng.

"nana... Mau janji sama rain gak?" naren sangat tau kemana arah pembicaraan kali ini.

Dia ingin menggeleng, namun itu pasti akan membuat raina sedih. Maka dengan berat hati dia pun mengangguk berat.

"nana harus selalu sehat, dan bahagia ya?, kemarin rain drop, jadi tadi gak bisa masuk sekolah, dan kata dokter rain sakitnya udah parah, dokter gak bisa sembuhin, jadi nana harus sehat terus ya, biar ga sakit kek rain, oke?" lelehan air mata naren semakin deras. Namun kembali dengan berat hati naren mengangguk.

"dan lagi..., maafin rain ya nana?, rain suka sama nana lebih dari teman atau pun sahabat, maaf karena rain udah melewati batas"

Naren tak menjawab, hatinya sakit bahkan hanya untuk melihat raina.

"nana, rain ngantuk, rain mau bobok ya?"

"nana boleh peluk rain?" tanya naren. Raina pun mengangguk.

Naren dengan perlahan mendudukkan dirinya di atas ranjang raina, membawa raina untuk ia peluk dengan hati-hati. Memeluk tubuh raina yang semakin kurus dari sebelumnya.

Dan naren sadar jika itu adalah pelukan terakhir bagi keduanya, tangan yang ia genggam melemah, di susul dengan suara mesin komputer di dekatnya yang berbunyi nyaring.

'raina....'



Lost You [JAEMIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang