07.23 pagi, Gramedia.Aku sampai di Gramedia dekat rumah sakit untuk check up regulerku. Setelah memakirkan motorku, aku mengecek handphone untuk mengingat kembali list barang-barang yang perlu dibeli.
Lima buah selotip putih besar, delapan lembar kertas karton warna hitam, dan tiga pak kertas origami.
Memang tidak banyak barang yang harus kubeli. Ketentuan panitia juga yang membagi tugas sangat membantuku.
Tak menunda waktu lagi, aku langsung masuk dan membeli semua kebutuhan.
Setelah selesai dengan tujuan awalku, hasrat untuk melihat dan membeli berbagai macam buku terlintas di kepalaku. Jika bukan karena jadwal bertemu dengan dokter itu, aku sudah pasti betah berlama-lama disini. Sayangnya, aku tidak mau mendengar omelan dari dokter yang sudah merawatku dua tahun terakhir.
Aku mengurungkan niatku dan berlalu keluar gedung untuk mengambil motorku.
_ _ _
Sampai di bangunan serba putih dengan wangi obat yang menyeruak di penjuru ruang, aku dengan familiar berjalan ke salah satu ruangan dokter spesialis kejiwaan.
Cklak
Aku membuka pintu dengan tulisan 'Dr. Anggara P.' di sebuah kertas yang terletak di dalam silikon plastik yang menopangnya tepat di tengah pintu.
Dokter Anggara terlihat duduk sambil membaca banyak berkas di mejanya, sesekali dia terlihat menulis sesuatu di kertas-kertas itu.
Setelah menutup pintu di belakangku, aku berjalan lurus menuju bangku pasien di hadapan dokter Anggara.
"Oy om, tumben rajin sampai gak nyambut aku datang." Aku sengaja menggodanya untuk mengambil perhatiannya. Aku hanya ingin pemeriksaan ini cepat selesai dan bisa pulang untuk bersantai.
Dokter muda ini langsung mengalihkan pandangannya dari berkas di tangannya. Dia menatapku dengan serius.
"Tolong panggil saya dokter saat sedang jam kerja, dan lagi saya belum se-tua itu untuk jadi om kamu." Ucapnya sambil membenarkan posisi kacamata di hidungnya.
"Hah, usia om kan udah 28 tahun, 10 tahun lebih tua dariku. Cocok ajalah." Aku berusaha membela diri dan tersenyum puas. Setelah itu, terdengar helaan nafas dari lawan bicara di hadapanku. Secara reflek aku duduk dengan tegak dan merubah ekspresiku menjadi serius. Bukan apa-apa, hanya saja dokter muda ini sangat strict bahkan dengan pasien yang bisa dibilang sudah dekat dengannya.
Setelah beberapa detik diam, aku mendengar suara dokter Anggara yang kembali ke mode profesionalnya. Dalam hati aku berucap syukur karena tidak ada omelan hari ini.
Dokter Anggara terlihat menyingkirkan berbagai berkas yang memenuhi mejanya dan mengambil sebuah berkas di laci dengan tulisan judul 'Pasien Azka, 12-04-2020'. Itu adalah hari pertama aku diserahkan di bawah pengawasan dokter muda ini.
Dia memulai beberapa pemeriksaan biasa mengenai pola makan, tidur, dan kesehatan lainnya. Setelah mencatat semua jawabanku. Dia meletakkan bolpoinnya dan merubah posisinya dengan tenang mengamatiku.
"Azka, bagaimana perasaanmu akhir-akhir ini?" Kalimat yang terdengar familiar tiap kali aku datang ke ruangan ini.
"Seperti biasa, masih suka kesal sama abangsat yang gangguin mulu. Masih gemas tiap kali liat reaksi May. Gak berharap sama reaksi orang tua." Aku menjelaskan hal yang sering terjadi padaku tanpa memedulikan detail kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIES
Ficção AdolescenteGadis itu berbohong lagi. Entah sudah berapa kali ia membangun tembok yang memisahkan diantara keduanya. Tidak bisa. Dia tidak sanggup menampakkan sisi lemahnya pada siapapun. Dunia ini terlalu kejam untuk kelinci yang hanya bisa meringkuk di pojok...