2. Reruntuhan

10 3 0
                                    

Suasana di dalam selubung sihir tidak jauh berbeda dengan area padang gurun pada umumnya. Tetap gersang, terik dan berdebu. Meski begitu, di kejauhan, Jun akhirnya menangkap pemandangan yang sudah dia cari-cari selama ini: sebuah reruntuhan bangunan tanah liat yang menyerupai kuil dan beberapa piramida yang sudah rusak sebagian.

Jun mempercepat langkahnya, berusaha agar bisa segera sampai di tujuan. Namun, semakin lama ia berjalan, reruntuhan itu justru terasa semakin jauh. Beberapa kali Jun berpapasan dengan hantu-hantu pengembara yang berseliweran tanpa arah di tengah padang gurun. Mereka terbang dengan tatapan kosong dan menggumam tak jelas.

"Benar kata si turban tadi. Bahkan hantu pun menjadi gila kalau masuk ke area ini," desis Jun yang juga sudah nyaris kehilangan kewarasan.

Pemuda itu kelelahan dan sudah kehabisan air minum sejak tadi. Namun, letak reruntuhan tetap saja bergerak menjauh. "Sialan! Bagaimana cara sampai ke tempat itu," umpatnya sembari merebahkan tubuhnya di atas pasir gurun yang panas.

Matahari sudah condong ke barat, menandakan waktu yang cukup lama sejak Jun berjalan membelah padang gurun. Rasanya sudah berjam-jam yang lalu pemuda itu melewati selubung sihir. Akan tetapi ia tidak juga sampai di tujuan.

Rasanya ia ingin menyerah. Setelah satu bulan penuh perjalanannya membelah benua, meninggalkan semua kenyamanan di Akademi dan menantang diri hingga sampai di sini, Jun benar-benar tidak ingin berhenti begitu saja. Namun, rasa lelah, haus, dan kelaparan memancing segala bentuk emosi negatif dalam dirinya.

"Apa aku akan berakhir di sini?" gumamnya pada diri sendiri. Ia merebahkan tubuhnya di atas pasir, menatap arak-arakan awan di langit senja. Matahari tidak sepanas seperti sebelumnya. Angin malam yang dingin menggigit mulai berhembus sepoi-sepoi.

Mungkin Jun akan berakhir menjadi hantu pengembara. "Tapi itu lebih baik dari pada harus kembali ke Akademi dengan kekuatan lemah seperti ini," gerutu pemuda itu menimpali pikiran buruknya sendiri.

Jun menarik napas panjang, bersiap untuk menyerah pada takdirnya. Perlahan-lahan ia menutup mata, membiarkan tubuhnya mongering di tengah padang pasir. Namun, mendadak ia merasakan sensasi aneh seperti tersedot dari dua sisi. Tubuhnya rasanya seolah ditarik ke atas dan ke bawah. Jun mencoba membuka mata, tetapi pandangannya justru memburam. Hanya cercah-cercah cahaya kecokelatan yang berkelebat di matanya. Sisanya gelap.

Jun mencoba berontak, bergerak sekuat tenaga untuk bangun dari atas pasir. Akan tetapi, tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali. Ia lantas mencoba berteriak, mengerang, atau apa pun yang menimbulkan suara. Sia-sia. Teriakannya teredam, erangannya hanya berupa bunyi desis yang sangat pelan.

Apa yang terjadi? Kenapa ia mengalami sensasi aneh ini tiba-tiba? Apakah Jun akan mati? Beginikah rasanya ajal? Seperti jiwa yang sedang disedot keluar dari tubuh? Beragam pertanyaan dan pikiran buruk memenuhi benak Jun. Peristiwa itu terjadi selama beberapa menit, tetapi bagi Jun, rasanya sangat lama.

Setelah pergulatan yang seolah tak berujung, tiba-tiba tubuh Jun seperti dilemparkan ke sebuah permukaan lantai batu yang keras. Seperti kemunculannya yang mendadak, sensasi tersedot yang aneh itu pun juga menghilang sama cepatnya. Kini pemuda itu sudah bisa menggerakkan tubuhnya, mengerang, serta merasakan rasa nyeri di bagian punggung yang membentur lantai batu dingin.

"Apa yang terjadi ...," rintih Jun membuka mata.

Gelap. Jun mendapati dirinya berada di sebuah ruangan dengan pencahayaan minim. Matanya harus beradaptasi selama beberapa menit sebelum akhirnya pemuda itu bisa mengidentifikasi area. Lantainya jelas terbuat dari batu granit yang berdebu. Tak jauh dari tempatnya jatuh, Jun bisa melihat sebuah pilar raksasa yang menjulang tinggi hingga tak terlihat ujungnya. Jelas tempat itu adalah sebuah ruangan dengan langit-langit yang tinggi.

Jun bangkit berdiri sambil mengerang pelan menahan sakit punggungnya yang mulai mengganggu. Tiba-tiba tak jauh dari sana, ia juga mendengar suara-suara erangan lain, termasuk umpatan dan sumpah serapah yang terasa familiar.

"Sial! Tempat apa ini? Kenapa kita justru terbawa ke sini? Lagi pula kenapa si brengsek itu harus puny aide pergi ke tempat terkutuk seperti ini," seru suara pemuda penuh sumpah serapah.

"Lana? Kau baik-baik saja? Brithon? Di mana kalian?" sahut suara pemuda lain yang juga dienali oleh Jun.

"Aku baik-baik saja, Alex. Maaf karena aku gagal menarik energi Ranjun, dan justru membuat kita terbawa ke tempat ini." Kini suara seorang gadis yang menjawab.

Setelah itu bunyi kasak-kusuk pun terdengar. Ketiga orang itu sepertinya mulai berdiri dan berkumpul bersama. Sejenak Jun ragu, apakah ia hanya berhalusinasi tentang kedatangan tiga orang rekannya? Atau memang mereka bertiga, Brithon, Alex dan Lana, betul-betul datang kemari untuk mencarinya? Karena tidak yakin, akhirnya Jun mencoba memanggil nama teman-teman dari Akademinya itu.

"Brithon? Alex? Lana? Apa itu kalian?" seru Jun mencoba mendekat ke arah suara kasak-kusuk.

"Jun? Ranjun? Itu kau kan? Kau di mana?" Lana menyahut, terdengar lega.

Jun pun mulai melangkah cepat mendekati sumber suara gadis itu dan setelah beberapa meter, ia akhirnya menemukan sosok ketiga temannya. Brithon, pemuda bertubuh tinggi besar dengan jaket baseball. Ia dan Jun adalah teman satu tim di eskul baseball. Alex adalah teman seasrama Jun. Kamar mereka berdekatan dank arena itulah keduanya menjadi akrab. Sementara Lana, gadis berkekuatan energy tracking, adalah teman sekelasnya selama empat tahun terakhir. Mereka juga lumayan akrab.

Jun menghampiri ketiga temannya itu dengan antusias. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa mereka benar-benar ada di hadapannya saat ini, di tengah gurun antah berantah.

"Kenapa kalian ada di sini?" tanya Jun yang meski kelelahan, kehausan, kelaparan dan kesakitan, tetap merasa lebih bersemangat setelah melihat teman-temannya.

"Mencarimu, Bodoh! Apa yang kau pikirkan sampai pergi sendirian ke tempat semacam ini?" sembur Brithon memukul pelan kepala Jun, sikap lumrah si pemuda ringan tangan itu untuk menunjukkan perhatian.

Jun memekik pelan, pura-pura kesakitan lalu mengusap kepalanya sambil meringis. "Ini, kan liburan musim panas. Memangnya aku tidak boleh jalan-jalan?" sahut pemuda itu ringan.

"Jalan-jalan, Kepalamu! Memangnya tempat ini semacam obyek wisata, menurutmu?" sergah Brithon masih mengomel.

"Sudah, sudah. Yang penting sekarang kita sudah menemukan Jun. Sekarang, kita bisa kembali ke Akademi," Alex, pemuda berambut sebahu yang diikat ke belakang, mencoba menengahi.

"Whoa ... tunggu kawan-kawan. Aku tidak bisa kembali sekarang. Setelah susah payah sampai ke tempat ini, ada sesuatu yang harus kutemukan lebih dulu," sahut Jun buru-buru.

"Dasar anak ini ...." Brithon hendak menjitak Jun sekali lagi, tetapi dicegah oleh Alex.

"Kurasa, kita memang belum bisa kembali sekarang, teman-teman. Ada energi aneh di tempat ini yang membuat kekuatanku melemah. Saat melakukan tracking energi Jun tadi, kekuatan dari tempat ini juga justru menarik kita alih-alih membawa Jun keluar. Kurasa kita harus menemukan sumber kekuatan aneh itu dulu sebelum bisa meninggalkan tempat ini," terang Lana serius.

"Argh! Benar-benar ...," geram Brithon kemudian.

Meski begitu, dalam hati Jun mendesah lega. Setidaknya, ia punya waktu untuk mencari artefak tersembunyi di reruntuhan ini. Selain itu, ia juga punya teman perjalanan sekarang.

"Maafkan aku, teman-teman," ujar Jun yang dalam hati merasa bersalah. 

The Magic LampTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang