3. Jebakan

10 4 1
                                    

Keempat anak itu pun mulai menyusuri kegelapan. Berbekal senter yang dibawa oleh Brithon dan Lana, mereka pun mulai menjelajah. Menilik dari konstruksinya, Jun yakin kalau dia kini sudah berada di tengah reruntuhan yang terlihat di tengah padang gurun. Namun, bagaimana ia bisa tiba-tiba berada di sana, sementara sebelumnya, tempat itu seolah mustahil dicapai karena semakin menjauh setiap Jun melangkahkan kakinya.

"Apa kalian tidak merasa aneh? Bukannya tadi masih sore saat terakhir kali kita melacak jejak Jun. Tapi tiba-tiba keadaan menjadi gelap. Dan tempat apa pula ini? Aku yakin sekali kalau tadi kita hanya melihat hamparan padang pasir," tanya Alex sembari menyorotkan senternya ke segala arah.

"Reruntuhan Oglyt," jawab Jun yang mengamati keadaan sekitar. Aneh. Biasanya dia bisa melihat roh-roh gentayangan di mana pun ia berada. Entah itu di jalanan, rumah, atau bahkan pasar yang ramai. Akan tetapi, tempat ini jauh lebih sepi dari pemakaman. Tidak ada satu pun roh gentayangan yang melintas.

"Reruntuhan ... apa?" Brithon menyahut penasaran.

"Situs kuno. Menurut legenda, Oglyt adalah sebuah kerajaan makmur di masa lalu. Tapi kerajaan itu hancur karena kekuatan misterius. Kabarnya ada artefak kuat yang tersembunyi di reruntuhannya. Tidak semua orang bisa melihat tempat ini, dan kurasa, karena kemampuanku melihat dan berkomunikasi dengan spirit, maka aku bisa sampai di sini," terang Jun.

"Jadi itu alasannya kau kabur dari asrama?" Brithon menyela. "Karena ingin mengambil artefak itu?" lanjutnya dengan nada menuduh.

Jun menghela napas pendek. "Aku hanya mencoba peruntungan," jawabnya ringan.

"Dasar konyol! Tidak bisakah kau melihat betapa berbahayanya tindakanmu itu. Kita bahkan tidak tahu apa yang harus dihadapi setelah ini," sergah Brithon keras.

"Maafkan aku. Aku tidak menyangka kalau kalian akan mencariku seperti ini. Apa Profesor Grayson yang mengirim kalian?" tanya Jun kemudian.

"Tidak disuruh pun aku tetap akan mencarimu, Bodoh. Seharusnya sejak awal kau memberitahu kami, jadi kau tidak perlu menderita sendirian," tukas Brithon serius.

"Aku benar-benar tidak ingin merepotkan kalian. Seperti yang sudah diketahui, kemampuanku tidak sekuat anak-anak lain. Jadi sebelum lulus, aku berharap agar bisa sedikit meningkatkan kemampuanku," ujar Brithon penuh penyesalan.

"Siapa bilang kau lemah? Memangnya bicara dengan hantu itu kemampuan yang sepele. Tidak semua orang punya keberanian sepertimu, Ranjun Sigh. Seharusnya kau bangga pada dirimu sendiri," ujar Brithon menepuk punggung pemuda itu.

"Brithon benar. Dalam banyak misi pun kau juga sangat berguna, Jun. Tanpamu, kita tidak bisa mendapat informasi mendetail dengan mudah. Peranmu cukup besar dalam tim." Alex menambahkan.

"Tapi tetap saja ... aku tidak punya kemampuan serangan sama sekali," desah Jun lemah.

Lana sontak mengarahkan senternya ke wajah Jun, membuat pemuda itu terbutakan selama beberapa detik. Jun mengangkat tangannya secara reflek untuk menutupi kesilauan cahaya senter.

"Memangnya itu penting? Kekuatanku juga tidak bisa digunakan untuk menyerang, tapi aku sudah cukup puas dengan itu. Setiap orang punya perannya sendiri-sendiri, Jun," ujar Lana tampak serius.

Jun menggaruk kepalanya yang tidak gatal, meringis penuh sesal. "Baik, baik. Maafkan aku. Ini memang hanya ambisi pribadiku," ujarnya.

"Jadi kita bisa segera pulang saja kan, meski kau tidak menemukan artefak entah apa itu?" tanya Brithon kemudian.

Sedikit kecewa, Jun dengan berat hati pun menjawab. "Bai–"

Belum sampai Jun menyelesaikan kata-katanya, mendadak tanah tempat mereka berpijak mulai bergetar. Suara gemuruh terdengar dari segala penjuru, diikuti jatuhnya debu-debu tipis dan beberapa reruntuhan batu halus.

"Apa yang–" Kalimat Brithon terputus oleh lesatan selusin anak panah ke arah mereka.

Alex dengan sigap mengangkat kedua tangannya, lantas menciptakan semacam perisai pelindung semi transparan di hadapan mereka. Anak-anak panah itu pun berhasil dipantulkan hingga patah dan jatuh ke tanah. Namun, masalah tidak berhenti sampai di sana. Dari sisi yang lain, serbuan anak panah kembali datang. Alex langsung membuat perisai baru berbentuk kubus yang melingkupi mereka semua. Seluruh terpaan anak panah pun berhasil ditangkis.

"Apa ini? Semacam jebakan?" tanya Brithon memastikan.

"Sepertinya begitu. Mungkin kita tanpa sengaja menginjak lantai yang salah, atau melewati batas aman sehingga mengaktifkan jebakan anak panah," kata Jun menimpali.

"Kau sudah belajar banyak rupanya. Apa ada semacam manual untuk turis yang mengunjungi reruntuhan kuno ini?" sindir Brithon sarkastik.

"Sudah, jangan bertengkar. Anak-anak panah ini tidak ada habisnya. Aku juga tidak bisa selamanya membuat perisai pelindung. Sebaiknya kita mulai berjalan pelan-pelan, dan jangan ada yang keluar dari kubus perisaiku," perintah Alex kemudian. Pemuda itu sudah menjatuhkan senternya karena buru-buru membuat perisai dengan kedua tangan. Benda itu rusak dan tidak bisa menyala lagi. Alhasil satu-satunya pencahayaan yang tersisa hanya berasal dari senter milik Lana.

Karena keadaan tak terduga itu, semuanya akhirnya menurut pada perintah Alex. mereka berjalan beriringan dalam dua baris menyusuri ruangan yang semakin sempit. Sepertinya mereka memasuki sebuah lorong. Cahaya senter tidak bisa menjangkau jarak yang terlalu jauh. Pandangan mereka hanya bisa melihat sepanjang dua sampai tiga meter ke depan.

"Apa ruangan jebakan anak panah ini masih panjang?" tanya Brithon yang berdiri di barisan belakang bersama Jun. Alex dan Lana memandu jalan di depan mereka.

"Seharusnya tidak. Tapi aku lebih khawatir pada jebakan-jebakan lain di tempat ini. Semoga kita tidak perlu menghadapi monster berbahaya," tukas Jun.

"Jangan mengatakan jinx seperti itu! Kalau kau membicarakannya, hal buruk itu justru akan terjadi!" seru Lana memperingatkan.

Brithon mendengkus. "Kau percaya hal semacam itu?" tanyanya mencela.

"Itu memang benar. Jadi berhenti membicarakan hal-hal buruk," pinta Lana menggenggam senternya erat-erat.

"Hei, anak-anak panahnya berhenti," potong Alex bersiap untuk menghilangkan perisai transparannya.

"Syukurlah. Di mana kita sekarang?" tanya Lana kemudian.

Di hadapan mereka, kini menjulang sebuah patung tanah liat setinggi lima meter. Patung itu berwujud perempuan dengan pakaian mesir kuno. Kepalanya berupa singa betina, dengan mahkota cakram matahari dan Uraeus berlapis emas.

"Sekhmet ... ini ruang pemujaan Dewi Pembalasan Dendam. Kita tidak seharusnya berada di sini. Ayo cepat pergi dari sini," gumam Jun mulai panik.

Sayangnya, belum sempat anak-anak itu beranjak, mendadak kepala singa patung raksasa itu bergerak menoleh ke arah mereka, menciptakan bunyi derak mengerikan. Keberadaan mereka sudah diketahui!


Uareus: kobra Mesir, simbol kedaulatan, keningratan, dietas, dan otoritas ilahi Mesir Kuno. 

The Magic LampTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang